Home AGENDA SUKU TEATER RIAU PENTASKAN MANUSIA PARADOKS DALAM TEATER-PUISI “DILANGGAR TODAK”

SUKU TEATER RIAU PENTASKAN MANUSIA PARADOKS DALAM TEATER-PUISI “DILANGGAR TODAK”

0

Loading

SENI.CO.ID – “DILANGGAR TODAK” adalah sebuah pertunjukan untuk menandai lahirnya sebuah kelompok teater baru di Riau, yang diber nama SUKU TEATER RIAU, sekaligus penanda bagi berdirinya sebuah kantong budaya di Pekanbaru bernama Rumah Kreatif Sukuseni Riau. Kelompok ini didirikan oleh Marhalim Zaini, S.Sn., M.A, yang juga sekaligus menjadi penulis naskah dan sutradara dalam pertunjukan perdana ini, yang akan digelar di Anjung Seni Idrus Tintin Pekanbaru pada tanggal 22, 23, 24 Februari 2018.

Pertunjukan teater-puisi “Dilanggar Todak” adalah sebuah tafsir bebas dari mitos (cerita rakyat) bertajuk “Singapura Dilanggar Todak” yang terdapat dalam kitab Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu). Sebuah kisah tentang bencana yang menyerang Singapura, berupa ribuan ikan todak yang terbang dari laut, menikam bagai anak panah, dan membunuh banyak orang. Bencana disebabkan oleh kecemburuan Paduka Sri Maharaja terhadap ulama dari Aceh bernama Tun Jana Khatib, yang telah dituduh “bermain mata” dengan permaisurinya. Paduka murka, dan kemudian memerintahkan untuk membunuh Tun Jana Khatib. Tak lama berselang, todak pun menyerang. Paduka memerintahkan rakyatnya memasang pagar betis di sepanjang pinggir pantai sebagai benteng. Namun, korban justru semakin banyak berjatuhan. Sampai kemudian tiba-tiba seorang anak kecil bernama Hang Nadim muncul (yang dalam versi cerita BM. Syamsuddin, anak ini bernama Kabil). Anak ini pun berkata (sebagaimana versi BM. Syam);

Hamba bernama Kabil, datang dari hulu Bintan Penaungan. Hamba hidup di pinggir laut, Hamba tahu betul sifat ikan todak. Yang dapat melumpuhkan serangannya bukan betis manusia, tetapi batang pohon pisang. Olah karena itu, hamba mohon agar Singapura ini dipagar dengan batang pohon pisang, Tuanku…

Saran itu, dilaksanakan oleh Paduka Sri Maharaja. Dan ikan todak pun tertancap di batang pohon pisang. Ribuan ikan todak mati. Berpesta poralah orang senegeri Singapura. Namun, setelah semuanya aman, Raja justru menerima hasutan dari orang-orang dekatnya, yang mengatakan bahwa anak yang pintar itu kelak akan berbahaya bagi kerajaan. Dalam Sulalatus Salatin disebutkan,

Tuanku, budak ini jikalau sudah besar niscaya besarlah akalnya. Baiklah ia kita bunuh….

Maka Raja pun termakan hasutan. Satu versi menceritakan, anak ini memang dibunuh. Versi yang lain menceritakan bahwa anak ini tidak langsung dibunuh, akan tetapi dimasukkan terlebih dahulu ke dalam sebuah kerangkeng besi dan diikat dengan rantai besi, lalu dibuang ke perairan Selat Sumbu, yang terletak antara Singapura dan Pulau Batam.

***

Dalam pertunjukan teater “Dilanggar Todak” kisah tersebut tidak secara utuh diceritakan kembali di atas panggung. “Todak” adalah sumber konflik, sumber bencana, sumber masalah, yang ada di mana-mana. Todak, dalam “Dilanggar Todak” telah menjelma sesuatu yang misterius, kadang ia tak kasat mata, dilihat tiada, tapi dirasa terus merajalela. Namanya terus disebut orang-orang. Orang-orang merasa dikejar-kejar oleh todak, dihantui oleh todak, tapi pada waktu yang sama orang-orang justru tak bisa lepas dari ketergantungannya terhadap todak. Maka todak menjadi semacam “marwah” yang mesti dijunjung tinggi, sekaligus juga todak menjadi “musuh” yang mesti dilawan. Dunia pradoks dihuni oleh manusia-manusia paradoks, yang bermuka dua, bermuka seribu. Lalu siapakah atau apakah “Todak” itu sesungguhnya? Entahlah.

Sebagaimana sebuah tafsir bebas, cara kerja penciptaan teks dan panggung “Dilanggar Todak” adalah proses keluar-masuk, dari sejarah ke mitos ke realitas kekinian. Proses tersebut, bisa jadi, berkelindan dalam keliaran yang jauh, tapi tetap kembali ke muara: oto-kritik atas diri orang Melayu, atas diri umat manusia. Oto-kritik itu bisa jadi berbunyi; “Jangan membunuh masa depan hanya karena hendak kembali ke masa silam.” Atau boleh jadi juga berbunyi, “jangan cari todak di luar dirimu, karena todak ada di dalam dirimu…”

Maka simbol-simbol bermain sangat dominan dalam peristiwa pertunjukan teater-puisi ini. Kata-kata (teks verbal) kadang hanya lalu-lalang untuk sekedar menyambung narasi, memperkokoh peristiwa, atau bahkan ia menjadi simbol itu sendiri. Sebagaimana teks puisi yang kerap menampilkan citraan dan imaji, boleh jadi penonton akan menyaksikan puisi yang bergerak sunyi penuh citraan di panggung “Dilanggar Todak”.\

Maka, sebutan “teater-puisi” secara konsepsional dapat merujuk ke sana. Selain bahwa pertunjukan ini juga bersumber dari puisi “Dilanggar Todak, Mitos-mitos Kota Pendurhaka” karya Marhalim Zaini (dimuat di Kompas). Berikut cuplikannya:

todak, todak, todak,

suara siapakah

yang bergelombang itu, nelayan tak melaut

seribu tahun lalu, maka takutlah sejarah,

pada dayung patah, pada sampan terbang,

ikan-ikan yang tak pandai berenang

tapi si gladius menombak,

menyibak air birahimu, ini jantan atau betina,

pada puncak arus ikan-ikan kecil berdansa,

si tuna atau brakuda, tak penting pada siapa

ia memangsa, makan, makan, makan

 

Boleh jadi, “teater-puisi” adalah juga sebuah ruang pencarian bentuk-bentuk estetika baru dalam wilayah yang lebih luas, yang mencoba mempadu-padankan antara puisi dan teater. Boleh jadi juga, “teater-puisi” adalah sebuah istilah untuk kemudian saling  meniadakan, dan melebur menjadi satu entitas baru, yang mungkin belum bernama. | RE/SN

 

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here