Mahkota Sang Ibls
Cerpen
Wahyu Ari Wicaksono
Di kedalaman neraka, tempat api dan asap bercampur jadi satu, sebuah aula besar penuh dengan tawa cekikikan setan-setan kecil. Mereka berkumpul, berlomba-lomba melaporkan kesuksesan mereka kepada sang Raja Iblis yang duduk di atas takhta dari batu bara yang menyala. Matanya merah berkilat, taringnya panjang, tapi raut wajahnya menyiratkan keanggunan seorang pemimpin yang bijak… dalam seni kejahatan, tentunya.
Satu demi satu setan anak buah berdiri, melaporkan tugas hariannya.
“Aku berhasil membuat manusia mencuri sekarung uang dari bank!” seru Setan Bertanduk Lima, menyunggingkan senyum lebar.
Sang Iblis mengangguk pelan, lalu mengangkat jempolnya. “Baik. Bagus. Tapi… meh, biasa saja. Pencurian? Itu sudah kuno.”
Setan lain berdiri dengan semangat, kali ini Setan Berekor Dua. “Aku membuat manusia mabuk sampai lupa jalan pulang, lalu menabrak pohon! Dua orang tewas!”
Iblis kembali mengangkat jempolnya, sedikit lebih tinggi kali ini. “Hmm, lumayan… lumayan. Tapi… sudah berapa kali kita lihat manusia melakukan itu? Kreatif sedikitlah!”
Kemudian datanglah Setan Berjari Panjang, dengan langkah penuh percaya diri. Ia merapikan tanduknya dan berkata, “Aku, wahai Raja Iblis, berhasil membuat seorang manusia berzina dengan sahabat istrinya.”
Sang Iblis bertepuk tangan. “Oh, ini baru menarik! Zina! Mungkin ada sesuatu yang lebih besar di sini.”
Namun, di sudut ruangan, berdiri setan yang tampak tenang, tidak terburu-buru menyombongkan diri seperti yang lain. Setan ini bernama Sepal, kecil tapi tajam, dengan mata yang mencerminkan kecerdasan licik. Ketika ia maju ke depan, suasana ruangan tiba-tiba terasa berubah.
Sepal berbicara dengan suara rendah namun jelas, “Wahai Raja Iblis, aku punya laporan yang mungkin akan membuatmu tersenyum.”
Mendengar itu, sang Iblis mengangkat satu alis. “Oh? Coba katakan.”
Sepal tersenyum sinis. “Aku berhasil memisahkan sepasang suami istri. Mereka sekarang dalam proses perceraian, penuh kebencian satu sama lain. Cinta yang dulunya mengikat mereka kini hancur, dan anak-anak mereka tidak akan pernah merasakan kehangatan rumah lagi.”
Suasana menjadi sunyi, seolah-olah api neraka meredup hanya untuk memberi ruang bagi kata-kata Sepal.
Dan saat itu juga, Sang Iblis meledak dalam tawa yang panjang dan menakutkan, tawa yang mengguncang neraka hingga ke fondasinya. Dia bangkit dari takhtanya, melangkah turun dengan anggun, dan berjalan mendekati Sepal.
“Ah, anakku yang cerdas!” seru Sang Iblis dengan suara penuh pujian. “Inilah prestasi sejati. Bukan pencurian, bukan mabuk-mabukan, bahkan bukan zina. Tapi perceraian! Ketika kau memisahkan suami istri, kau memecahkan unit terkecil dan terkuat dari kemanusiaan, keluarga.”
Setan-setan lainnya terdiam, takjub, bahkan sedikit iri.
Iblis mengeluarkan sebuah mahkota yang berkilauan dari balik jubah hitamnya. Mahkota itu terbuat dari api dan duri, menyala dengan kekuatan penghancur. “Untukmu, Sepal, penghargaan tertinggi di kerajaan kita. Kau adalah juara sebenarnya. Karena, dari semua dosa yang bisa kita tanamkan di hati manusia, tidak ada yang lebih manis daripada memisahkan dua jiwa yang dulunya satu.”
Sepal tersenyum lebar saat menerima mahkota itu. Setan-setan lain bertepuk tangan, meski dengan raut muka masam, sadar bahwa tidak ada yang bisa mengalahkan penghancuran cinta sejati.
Sang Iblis berbalik ke arah semua setan di aula. “Ingatlah ini, anak-anakku,” katanya, dengan suara dalam yang menggema. “Mencuri, membunuh, mabuk-mabukan… itu hanyalah gangguan kecil. Tapi memisahkan pasangan, meruntuhkan pernikahan? Itu adalah karya seni sejati. Karena ketika cinta hancur, dunia manusia runtuh bersamanya.”
Di ruangan itu, tawa cekikikan setan-setan berubah menjadi tepukan gemuruh, dan Sepal, dengan mahkota di kepalanya, merasa di puncak dunia. Di neraka, tentu saja.
Tapi entah bagaimana, di tengah semua tepuk tangan itu, ada ironi yang terasa. Bahwa mahkota penghargaan terbesar di neraka diberikan bukan untuk dosa yang paling besar, melainkan untuk penghancuran hal yang paling sederhana, paling manusiawi—cinta.
###