Home AGENDA Kemerdekaan Adalah Waktu Kini, Akan Datang dan Semua Milik Kita Bukan Yang Lain

Kemerdekaan Adalah Waktu Kini, Akan Datang dan Semua Milik Kita Bukan Yang Lain

0
Aendra Medita saat membaca orasi budaya kemerdekaan di Festival Cingised 2023/andi

Kemerdekaan adalah waktu kini, Akan datang dan  semua milik kita bukan yang lain

ORASI BUDAYA KEMERDEKAAN AENDRA MEDITA KARTADIPURA*)                        DISAMPAIKAN DALAM FESTIVAL CINGISED 2023 #INDONESIAMERDEKA78TAHUN

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Sebelumnya marilah kita panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas nikmat dan rahmat yang telah dianugerahkan kepada kita semua, sehingga khususnya pada hari ini kita semua diberi kenikmatan berupa kesehatan jasmani dan rohani, berada disini di tempat yang sejuk dekat dengan sawah. Kota Bandung yang selalu indah. Aamiin
Tentang Kemerdekaan
Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara
janganlah takut kepadanya
Kemerdekaan ialah tanah air penyair dan pengembara
janganlah takut padanya
Kemerdekaan ialah cinta kasih yang mesra
Bawalah daku kepadanya.
1953
Puisi karya Toto Sudarto Bachtiar penyair dan sastrawan Indonesia selalu saya  ingat dan akan terus ingat puisinya itu selain puisi yang saya kutip di sebelum akhir nanti.
Saya ucapkan terimakasih atas dukungan juga kepercayaan semua yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk bisa menyampaikan hal ini. Ini tak mungkin terjadi selain karena Allah dn juga dukungan dorongan dan motivasi yang tulus mencintai bangsa ini selamanya.
Insya Allah saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang saat ini adalah soal #INDONESIAMERDEKA78TAHUN telah kita raih adalah berkah yang luhur. Para Pahlawan yang terdepan di perjuangan merebut kemerdekaan itu adalah derajat tinggi.
Maka jika kita dengar kata penyair Toto tadi, Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara janganlah takut kepadanya jelas bahwa kita kaya raya alamnya tanah air laut luas. Janganlah kita punya semua lepas, tapi jadi benar-benar bahwa merdeka milik kita untuk anak cucu dan semua.
Aendra Medita saat membaca orasi budaya kemerdekaan di Festival Cingised 2023/andi
Hadirin ibu/bapak juga saudara-saudara sekalian yang saya hormati.
Mungkin pernyataan ini saya berdiri disini hanya secuil harapan untuk bangsa ini #INDONESIAMERDEKA78TAHUN adalah harapan besar dan kita tahu  bahwa baiknya bersama-sama kita menjalankan amanat kemerdekaan ini, terus didukung dari semua pihak, tidaklah mungkin saya yang bukan siapa-siapa. 
Sekali lagi. Saya sangat  penuh harap bangsa ini kuat dan sejahtera rakyatnya alam yang kaya jadi bagian penting untuk rakyat jadi makmur.
#INDONESIAMERDEKA78TAHUN marilah kita saling koreksi, kita sudah beri apa untuk bangsa ini? Bila diantara kita masih berpikir kesalahpahaman atau berbeda pendapat adalah wajar tapi kita akan indah dan saling koreksi lebih santun dan wibawa.
Insya Allah segala sesuatu jika dibangun dari rasa memiliki akan bisa kita jalankan berkesinambungan. Katanya kita saling jaga demokrasi sesuai dengan landasan hukum yang kita bangsa ini. Jadi hendaknya kita tegakkan hukum yang adil. Adil untuk semua tanpa pandang bulu tanpa kepentingan apapun. Nilai luhur bangsa kita adalah martabat makan junjung tinggi juga rasa tanggung jawab yang ujungnya adalah keadilan dan semua itu untuk rakyat.
Tak banyak yang dapat saya sampaikan. Saya hanya berharap dengan saat ini soal kepemimpinan bangsa adalah penentu masa depan dan Indonesia perlu memberikan contoh untuk pemimpin dunia yang dampak positif yang membuat kita lebih maju  bangsa ini  kedepannya.
Akhirnya saya kembali kutip puisi karya Toto Sudarto Bachtiar dibawah ini dimana penyair menulis puisi  “Tentang Kemerdekaan”  saat lima tahun setelah merdeka. Berikut puisinya. 
Pahlawan Tak Dikenal
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang
Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapan
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang
Wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku ditengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda
Hari itu 10 November, hujanpun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya
Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda.
Toto Sudarto Bachtiar (TBS) adalah penyair Indonesia (1929-2007). Puisi diatas bagi saya sebagai penyemangat itu dihari 78 tahun Indonesia Merdeka. Sajak TSB itu diambil dari Kumpulan Sadjak 1950 – 1955 (Balai Pustaka, Jakarta, 1962).
TSB dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, 12 Oktober 1929. Penyair yang dikenal dengan dua kumpulan puisinya: Suara (1956) dan Etsa (1958) ini, juga dikenal sebagai penerjemah yang produktif. Toto dikenal sebagai catatan sejarah sastra tahun 1950-an, yang pada zamannya penuh perjuangan, sehingga karya-karya Toto selalu berisi perjuangan dan perlawanan melawan penjajah, seperti sajak “Pahlawan Tak Dikenal”, “Gadis Peminta-minta”, “Ibukota Senja”, dan yang ini dirasa cocok untuk saat jelang 69 tahun Indonesia Merdeka, “Ode I”, “Ode II”, “Tentang Kemerdekaan”.
Saat terjadi Clash I, ia bergabung dalam Polisi Tentara Detasemen 132 Batalyon 13 di Cirebon. Pada waktu menjadi mahasiswa di Jakarta, pernah menjadi redaktur majalah Angkasa dan menjadi redaktur Menara Jakarta. Turut pula mendirikan majalah Sunda di Bandung bersama Ajip Rosidi tahun 1964 dan pernah menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. Puisinya banyak dimuat media pada tahun 1950-an dan tersebar di beberapa media di Indonesia.
TSB seorang penyair yang luar biasa, Tahun 1950-an namanya muncul yang diperkenalkan pertama kali oleh adalah paus sastra Indonesia yaitu H.B. Jassin lewat sajaknya “Ibu Kota Senja”.
TSB juga adalah penerjemah yang baik dari karya sastra dan dramawan dunia. Karya ternama dari drama “Pelacur” (Jean Paul Sartre, 1954), Sulaiman Yang Agung (Harold Lamb, 1958), Bunglon (Anton Chekhov, 1965), Bayangan Memudar (1975) novel Breton de Nijs yang diterjemahkan bersama Sugiarta Sriwibawa, Pertempuran Penghabisan sebuah novel Ernest Hemingway, 1976, dan Sanyasi drama Rabindranath Tagore, 1979. 
TSB juga dikenal sebagai penyair dengan dua kumpulan puisinya yakni Suara (1956) dan Etsa (1958). Untuk kumpulan puisi Suara, Toto memenangkan Hadiah Sastra BMKM pada tahun 1957.
Subagio Sastrowardojo menyebut Toto dengan “Hati Sabar Toto Sudarto Bachtiar”. Nada-nada duka yang hampir mewarnai di seluruh puisinya. Toto adalah tokoh yang sabar dan penerima menghadapi nasib, tangan nasib yang sering tidak terduga-duga dan tidak berperasaan juga diterimanya dengan sabar, bahkan sering dengan tersenyum atau malahan tertawa terbahak-bahak.
Toto merupakan lirikus yang kental dan jernih, kepekaan dan kesadaran personal dan sosialnya kuat dan tajam, tanpa menjerumuskan puisinya ke dalam jurang gelap atau menjadikannya serupa slogan yang sekadar pidato. Puisi Toto membangun dan menempatkan posisinya sebagai puisi yang baik dan terasa wajar.
Dan yang menarik adalah tahun  1950 A. Teeuw menuliskah Toto Sudarto Bachtiar dengan kalimat:
What makes this poetry so difficult to understand is the obscurity of its syntactical connections. … and in addition to this there is his strongly associative, often symbolic use of words. … Altogether this makes reading these poems very much a matter of groping in the dark. … However, Toto Sudarto Bachtiar is one of the few really original Indonesian poets since 1950. Ya TBS adalah penyair asli Indonesia. A Teeuw tepat menyebut TSB demikian.
TSB merupakan generasi penerus penyair Chairil Anwar pada dasawarsa 1950-an. Nama TSB memang tak bisa dilupakan dalam sejarah sastra Indonesia. TBS juga saat itu menulis untuk majalah Siasat (dalam lembaran Gelanggang), Pujangga Baru, Indonesia, Zenith, dan Mimbar Indonesia. TSB juga pernah menjadi redaktur majalah AURI Angkasa, redaktur Menara Jakarta.
Bersama dengan Sitor Situmorang, Harijadi S. Hartowardoyo, Ramadhan KH, Rendra dan Sapardi Joko Damono yang disebut Subagio Sastrowardoyo sebagai generasi Kisah dan dikenal sebagai salah satu tonggak sastra Indonesia pada periode 1950-an dengan ciri masing-masing. Namun nama Toto Sudarto Bachtiar kemudian seolah-olah terlupakan “sejarah”.
Saya ingin menyebut TSB di hari kemerdekaan ini, karena saya ingin mengatakannya dan sempat beberapa kali berdialog dengan TSB di rumahnya di kawasan Buah Batu Bandung dekat kampus Seni dimana saya menimba ilmu dan tentu waktu itu saya masih mahasiswa sampai lepas saya menjadi jurnalis.
Saya juga pernah meminta TSB diskusi Sastra saat itu di CCF (IFI-Kini) Francis di Bandung dimana TSB bicara sastra bersama Ayu Utami yang saat awal-awal dia muncul sebagai pemenang Sayembara Roman DKJ.
Saya juga dekat sekali dengan  Mohamad Sunjaya (alm) aktor teater yang juga sahabatnya TSB, menurut Kang Sunjaya bahwa sosok Toto Bachtiar adalah figur yang sederhana dan yang terpenting dia anti suap. Ia juga menyebutkan, Toto merupakan salah satu pejuang kemerdekaan karena sempat menjadi tentara. “Meski demikian diakhir hayatnya TBS tidak memiliki pensiunan,”kenang Kang Sunjaya saat itu. Toto Sudarto Bachtiar wafat di usianya yang ke-78 tahun, di Desa Cisaga, Kota Banjar, Jawa Barat.
Dalam 78 tahun #INDONESIAMERDEKA saya terbayang jika ada baiknya akan ziarah ke makam TSB yang ada di TPU Gemuruh Bandung.
Ada kesamaan 78 tahun Indonesia merdeka dan TSB meninggal saat usia 78 tahun. Inilah yang ingin sampaikan bahwa kembali pada puisi kerdekaan itu isinya:
Kemerdekaan ialah tanah air penyair dan pengembara
janganlah takut padanya
Kemerdekaan ialah cinta kasih yang mesra
Bawalah daku kepadanya.
Jadi bawalah daku padanya….jadi Kemerdekaan adalah waktu kini, Akan datang dan  semua milik kita bukan yang lain. Dan inilah Indonesia harga mati, secara nyata adalah bangsa penuh martabat tanpa tawar menawar untuk siapa pun. MERDEKA…..!!!!!!! 
Bandung, 17 Agustus 2023
*) adalah seorang jurnalis, sempat mengenyam pendidikan dunia seni teater dan tulis menulis, Komunikasi media, fotografi dan kini lebih suka dunia komunikasi media strategi. Menetap di Jakarta dan Bandung sedang asyik berkebun Paprika di  Lembang Agri dengan #Sayurmakmur234. Kini membantu para petani kopi juga sejak 5 tahun belakangan.
Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here