Home AGENDA Ananda Sukarlan, Mariska Setiawan dan Melbourne Symphony Rayakan 75 Tahun Indonesia –...

Ananda Sukarlan, Mariska Setiawan dan Melbourne Symphony Rayakan 75 Tahun Indonesia – Australia

0

Loading

Ananda Sukarlan, Mariska Setiawan dan Melbourne Symphony Rayakan 75 Tahun Indonesia – Australia

Tahun 2024 menandai 75 tahun hubungan diplomatik Australia dan Indonesia, sejak Australia mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949. Itu sebabnya tanggal 4 Juli 2024, kuartet gesek dari Melbourne Symphony Orchestra (MSO) mengunjungi Jakarta untuk konser memperingati kejadian signifikan ini. Perayaan ini disempurnakan dengan keterlibatan dua seniman Indonesia, soprano muda Mariska Setiawan yang telah menimba ilmu di Broadway, New York dan komponis dan pianis Ananda Sukarlan yang pada tahun 2000 telah ditahbiskan oleh harian Sydney Morning Herald sebagai “one of the world’s leading pianists, at the forefront of championing new piano music”. Untuk memperingati peristiwa bersejarah ini Ananda menciptakan karya “Two Australian Songs” yang diperdanakan Mariska dan MSO, sebuah karya untuk soprano dan string quartet berdasarkan puisi Henry Lawson (berjudul “On The Night Train”) dan Judith Wright (“Woman and Child”), dua penyair legendaris Australia.

Ananda Sukarlan

Ananda Sukarlan memang dikenal sebagai komponis Indonesia yang paling produktif menciptakan Tembang Puitik, yaitu karya-karya berdasarkan puisi yang sudah ada. Tidak kurang dari 400 karya untuk vokalis diiringi piano atau instrumen lain telah ia ciptakan dalam bahasa Spanyol, Inggris dan Indonesia. Pada konser yang mengambil tempat di Aula Simfonia Jakarta dan diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Australia di Jakarta itu ia bersama Mariska Setiawan juga mempersembahkan 4 tembang puitik dari penyair Indonesia. Keempat lagu itu adalah : “Bapak” (puisi Julia Utami), “Ibu Selalu Terdiam” (puisi Mustari Irawan), “Kado Natal untuk Jokpin” (puisi Okky Madasari) dan puisi paling terkenal dari Joko Pinurbo sendiri yang wafat 11 Mei tahun, “Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya” dimana Ananda dengan cerdiknya memasukkan motif ringtone dari ponsel. Apa yang dilakukan Ananda bukanlah “musikalisasi puisi” melainkan mengambil esensi dari puisi-puisi tersebut dan mencoba menterjemahkannya melalui musik, sehingga ia mengakui bahwa rima dan fonetik dari bait-bait puisi tersebut tidak sepenting apa yang ingin diekspresikan oleh puisi itu sendiri. Contohnya adalah suara kereta api di “On the Night Train” (Henry Lawson) dan “Bapak” (Julia Utami), karena penyair yang juga dikenal sebagai Julia Daniel Kotan (setelah menikah dengan putra Lembata (NTT), Daniel Boli Kotan ini memang dijuluki “penyair kereta” karena sering menulis puisi di kereta api karena ia sendiri tinggal di Bogor dan selalu naik kereta untuk bekerja di Jakarta. Bahkan ada buku kumpulan puisinya yang berjudul “Kereta dan Penyairnya”. Mariska Setiawan tampil spektakuler, baik dari segi musikalitas dan juga penampilan, menggunakan baju hitam spektakuler hasil desain Peggy Hartanto.

Karya lain Ananda Sukarlan yang signifikan mempersatukan musik Australia dan Indonesia ditampilkan malam itu adalah “I Wish Matilda Had Waltzed to Minang”, untuk piano solo.

“Karya ini saya ciptakan sekitar tahun 2017 dan ide aslinya memang agak ‘nakal’. Dengan menjalin dua melodi asal Australia dan Minangkabau, Waltzing Matilda dan Kampuang Nan Jauh di Mato, bayangannya si Matilda menjalin hubungan dengan orang Minang. Pacaran dengan cowok Minang? Eh bukan saya yang bilang loh. Tergantung interpretasi pendengar saja. Nah, versi diplomatik, dan “intelek”nya adalah hubungan kian erat antara Australia dan suku Minang yang mewakili bangsa Indonesia, gitu. Kedua lagu yang saya persatukan dan saya bikin variasinya di karya ini adalah lagu favorit saya, keduanya lagu yang sedih. Mungkin suasana hati saya saja saat itu … dan memang karya ini bernuansa sedih, walaupun virtuositasnya cukup tinggi” jelas Ananda sambil berseloroh.

Ananda juga memainkan karya piano solo oleh dua komponis Australia paling terkemuka di dunia yang ditulis khusus untuk Ananda setelah kejadian bom Bali, 12 Oktober 2002.  Karya-karya ini sekaligus merupakan “kartu ucapan dukacita” mereka terhadap Ananda dan bangsa Indonesia pada umumnya. Karya Betty Beath, kelahiran 1932, berjudul “Bali Yearning” (Merindu Bali). Di beberapa bagian karya unik ini menggunakan melodi pentatonik khas Bali. Karya ini adalah ungkapan kesedihan Betty Beath yang pernah tinggal di Bali bahkan sempat belajar bahasa Indonesia, setelah mendengar kabar bom Bali 12 Oktober 2002. Sang komponis perempuan asal Brisbane, Queensland saat itu langsung menghubungi Ananda dan menyatakan kesedihannya dari lubuk hati yang paling dalam yang ingin ia ekspresikan melalui musik. Begitu juga dengan Peter Sculthorpe (1929-2014) yang menulis karya yang sederhana, penuh keheningan tapi sangat dalam, berjudul “Little Passacaglia”

Sedangkan kuartet gesek MSO yang terdiri dari Sarah Curro (Violin 1), Anne-Marie Johnson (Violin 2, Acting Assistant Concertmaster), William Clark (Viola yang menggantikan Lauren Brigden hanya beberapa hari sebelum keberangkatan ke Jakarta dikarenakan masalah kesehatan) dan Michelle Wood (Cello) menampilkan karya String Quartet karya Giacomo Puccini dan dua lagi kuartet gesek komponis Australia, Ella Macens (berjudul “Resting with Angels”) dan Deborah Cheetham-Fraillon (berjudul “Long Time Living Here”)

 Ananda, Mariska and String Quartet bergabung semua menampilkan Aria terakhir dari opera “I’m Not For Sale” (libretto oleh Emi Suy). Opera Ananda yang sedang taraf pengerjaan ini direncanakan akan diperdanakan tahun depan. Sang penulis teks untuk opera ini, Emi Suy, berkomentar “Sebagai “mata uang” diplomasi musik dan puisi tidak bisa dipisahkan, keduanya akan digunakan bersamaan untuk “membeli” kemungkinan-kemungkinan, mencapai puncak-puncak makna dan ketinggian peradaban manusia yang manusiawi, yang insyaf akan dirinya, yang telah “menerima” hidup sebagai anugerah bukan sebagai bencana, yang bersikap adil dan tidak melakukan kekerasan demi ambisi kekuasaan. Singkatnya manusia berbudaya yang menjaga perdamaian di mana-mana dengan pikiran dan laku, sehingga tercipta kesejahteraan di mana-mana. Akhirnya, dialog perdamaian melalui musik dan puisi dapat disimpulkan sebagai dialog kebudayaan bukan polemik kebudayaan, dan hasil dari dialog-dialog intens itu akan menjadi laku bukan saja bunyi atau kata-kata di atas kertas, tapi perjuangan melaksanakan nilai-nilai dan memecahkan persoalan mendasar kita, menciptakan harmoni jiwa dan harmoni sosial.”

Konser ini ditutup dengan karya Ananda berjudul “Annanolli’s Sky”, untuk piano quintet (piano dan kuartet gesek). Karya ini ditulis Ananda atas permintaan Arnuero International Chamber Music Competition di Spanyol tahun 2017. Ananda mendapatkan inspirasi dari karya-karya visual artist dari Finlandia, Tero Annanolli yang kebetulan pameran di Jakarta di sekitar periode tersebut. Ujaran Ananda Sukarlan tentang proses kreatif karya ini sebetulnya mencerminkan proses kreatif keseluruhan karirnya sebagai komponis:

“Yang mengesankan saya adalah caranya Tero Annanolli menciptakan langitnya yang sangat unik dan tidak romantis sama sekali.  Lukisannya berdasarkan bahan kanvas. Saya ngobrol dengannya, menanyakan teknik ini, pandangan artistiknya, dll., dan saya menuliskan apa yang saya dengar darinya sebagai berikut:  Proses kreatifnya sendiri cepat dan intuitif. Ia menggunakan teknik tinta, tempera, cat minyak, akrilik dan bolpoint serta arang. Sang seniman juga menggunakan lembaran logam dalam lukisannya untuk membuat beberapa lapisan dan corak. Ia juga menggunakan bahan daur ulang seperti tirai, taplak meja, seprai. Bahan daur ulang memberikan arti penting pada karya ini.Bahan dasar merupakan bagian dari warna dan pesan lukisan. Isu yang menarik perhatian seniman menarik ini adalah tumbuhan, bunga, pemandangan alam, perahu, dan figur manusia. Dalam mewakili kemanusiaan, Tero sangat tertarik dengan hubungan antara manusia dan lanskap serta ruang di sekitarnya.  Jadi, Anda lihat, dia tidak benar-benar menyebutkannya langit sebagai langit.Ruangnya ya, karena merupakan bagian dari “kanvas”. Ya, kami para komposer menggunakan keheningan sebagai kanvas musik kami. Dan ruang itulah yang membuat saya terpesona. Saya mencoba membuat musik tanpa melodi yang signifikan, tidak seperti musik yang saya tulis sebelumnya. Saya mencoba mengedepankan ruang itu, langit yang membuat lukisannya terlihat sangat berbeda dari lukisan-lukisan lain yang pernah saya lihat. Ini adalah langkah lain dari pencarian saya tentang bunyi dan kesunyian yang persis seperti cat di atas kanvas. Langit yang indah dan sunyi dan kemudian kami para seniman menorehkan sesuatu yang harus lebih berarti daripada kesunyian.” *

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here