Oleh: Peri Sandi Huizche*
Jauh sebelum peraturan menteri dalam negeri nomor 11 tahun 1984 tentang pembinaan dan pengembangan adat istiadat di tingkat desa/kelurahan, yang kemudian melahirkan peraturan daerah kabupaten daerah tingkat II Lebak nomor 13 tahun 1990 tentang pembinaan dan pengembangan lembaga adat masyarakat Baduy, masyarakat Baduy sejatinya telah dipersepsi sebagai objek yang bisa disebut apa pun dan siapapun.
Hal tersebut bisa dilacak dalam tulisan Judhistira Gana, orang-orang Belanda menyebut dengan berbagai nama, seperti Badoe’i, Badoej, Badoewi, Orang Kanekes, dan Rawayan. Penamaan ini otomatis diikuti oleh definisi, klasifikasi bahkan tata kelola yang dicatatakan serta direkomendasikan oleh para pelapor, hanya karena mereka berbeda, unik, terasing dan mungkin dianggap aneh oleh masyarakat umum.
Proses internalisasi konsep yang dilekatkan pada masyarakat Baduy lamat-lamat menjadi institusi pemikiran umum, bahwa mereka perlu dibina dan dikembangkan, bahkan menjadi rujukan untuk membuat tafsir-tafsir baru. Fenomena ini terlihat dari kehebohan yang baru-baru ini muncul di platform media sosial, di mana Baduy dipersepsikan secara luas─baik kontrukstif ataupun dekonstruktif─ termasuk labelisasi atas konten tentang perempuan Baduy yang cantik-natural dan lain-lain itu.
Fenomena kunjungan orang-orang luar Baduy yang berujung pada logoisme bukanlah hal baru, hadirnya Peraturan Desa Kanekes nomo 01 tahun 2007, yang berisi aturan mengikat semua pihak disinyalir muncul sebagai respon pemerintah daerah di Banten, bahwa lema “Saba” yang dipinjam dari bahasa Sunda, dipilih untuk meregulasi kunjungan ke Baduy, dengan menganti kata wisatawan dan pariwisata menjadi tamu dan bertamu. Selain itu, buku “Saatnya Baduy Bicara” yang diterbitkan pada tahun 2010 ditulis untuk membentengi sekaligus menjawab persepsi orang-orang luar Baduy yang dianggap menyimpang dari definisi yang dimiliki masyarakat Baduy sendiri─meski buku tersebut mengundang polemik, karena disinyalir penulisnya lebih banyak bicara ketimbang orang-orang Baduy sendiri.
Dua regulasi ini seakan menunjukkan, bahwa masyarakat Baduy dan orang-orang luar seperti penglolaan seorang manager dalam peristiwa pertunjukan, di mana Baduy adalah pertunjukan dan pengunjungnya adalah penonton. Lebih spesifik, ini lebih mirip dengan tata kelola Teater Museum─istilah ini dipinjam Arifin C Noer dari Peter Brook, untuk menggambarkan pementasan yang hanya dikunjungi oleh para turis dan wisatawan─yang oleh Arifin C Noer dalam artikel “Teater Tanpa Masa Silam” dikaitkan dengan mentalitas masyarakat daerah yang selalu berhasrat untuk menunjukan kekuatan budayanya yang asli kepada orang luar, nasional bahkan global.
Tata kelola pertunjukan yang bisa dimaknai ulang sebagai penataan yang memiliki tujuan untuk diafirmasi dalam bentuk pujian, seperti “keren”, “mantab”, “top markotop”, “kaya sekali budayanya” dan atau “aku bisa”, atau tujuan lainnya hanya untuk mendapatkan konsekuansi material. Sedangkan konsekuansi konotatif dari tindakan tersebut secara otomatis membuka lembaran-lembaran psikologis orang-orang yang mengalami pengasingan, penindasan atau dalam kata lain membuka pintu hubungan antara yang tertindas dan penindas atau bangsa terjajah dan penjajah. Pendeknya tata kelola Show brain bangsa terjajah untuk menghibur penjajah dengan kekayaan budayanya.
Alih-alih menunjukan, justru mental pengelola tersebut lahir dari pengkondisian objek yang lemah, yang berada di bawah barisan adikuasa. Transaksi tersebut ekuivalen dengan pengondisian tuan dan budak, buruh dan majikan, buruh tani dan tuan tanah atau hal serupa lainnya.
Lantas apakah kita sebagai orang-orang yang berada di domain luar Baduy dan seolah-olah paling tahu Baduy akan memperpanjang tata kelola teater museum ini?
Dialog Imajiner Gidden Ketika Menatap Baduy
Bila Anthony Giddens (sosiolog sekaligus filsuf dari Inggris) menatap Baduy, mungkin dia akan menawarkan dialog: “ya, problemnya terletak pada pembacaan dan pengelolaan yang terpelanting pada satu sisi. Karena Baduy hanya diinterpretasi sama elu-elu, dan gw udah memperkirakan bahwa hal tersebut hanya akan memperpanjang imperialisme elu-elu terhadap orang Baduy, sedangkan fungsionalisme dan strukturalisme terhadap Baduy hanya mengetengahkan imperialisme objek Baduy itu sendiri. Jalur strukturasi hanya satu cara untuk mengakhiri masing-masing imperialisme tersebut”. | Aku: “jadi mulainya dari mana, Dens?”
Giddens: “pertama-tama elu kudu mengurai praktik-praktik masyrakat Baduy yang terjadi disepanjang ruang dan waktu. Maksudnya, aktivitas-aktivitas mereka itu tidak dihadirkan hanya sesaat, melainkan terus menerus diciptakan oleh mereka melalui sarana-sarana pengungkapan diri mereka sebagai aktor dan agen. Masalahnya ada gak sarana mereka mengungkapkan dirinya?” | Aku: seharusnya ada, karena ada agen yang diposisikan sebagai Jaro Pamarentah dan satu acara Seba (ya meski satu tahun sekali), mereka biasanya mengutarakan pandangannya di situ” | Giddens: “good itu, karena melalui aktivitas-aktivitas orang Baduy, para agen memproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan keberadaan aktivitas-aktivitas itu, soalle banyak teori sosial, terutama yang berhubungan dengan sosiologi struktural, memandang agen tidak banyak memiliki pengetahuan, padahal yang benar sebaliknya, Bro. Bila perlu elu memperbanyak ruang untuk mengartikulasikan diri mereka. And kalau elu punya masukan gak usah marah-marah sama mereka, seolah-olah elu itu si paling tahu, biasa aja, and gak usah memonopali. Bukannya mereka jadi begitu, karena akumulasi panjang dari definisi, klasifikasi dan tata kelola elu-elu juga” | Aku: “iya, Dens. Ampun”
Giddens: “meski masyarakat Baduy awam, justru mereka adalah para teoritisi sosial yang teori. Kan mereka yang berperan membentuk aktivitas-aktivitas dan itu kan jadi insitusi yang akan jadi sumber kajian elu-elu, inilah yang dinamakan hermeneutika ganda, Bro. Tafsir pertama dilakukan oleh orang Baduy, sedangkan tafsir kedua dilakukan oleh elu-elu” |Aku: “iya, Dens. Kadang gw liat, kalau di seminar, mereka hanya dikasih satu kursi, doang pelengkap di jajaran kursi ahli, qiqiqi” | Giddens: “intinya, perbanyak ruang dan kesempatan mereka untuk mengartikulasikan dirinya, bahkan elu kudu tahu tindakan-tindakan yang tak terartikulasikan oleh mereka, ya gw mau ngomong.. kalau gagasan tentang kesadaran praktis, kesadaran diskursif dan motif motif tidak sadar sangat penting untuk elu-elu kelindankan dengan permen, perda end perdes itu, bagi gw itu penting loh”
Aku: “iya, gw juga bisa nangkep, kalau praktik-praktik masyarakat Baduy dan peraturan-peraturan tersebut dijalin secara terus-menerus, sehingga struktur yang elu maksudkan adanya hermeneutika ganda itu hadir secara intens” | Giddens: ya kedua struktur itu pada dasarnya harus terhubung. Nah gw jelasin di bagan nih..
Giddens: “Tabel ini adalah dimensi dualitas stuktural yang gw anggep bisa menguraikan masalah yang muncul dan akan muncul pada masyarakat Baduy dan elu-elu yang peduli bahkan masyarakat umum. Cara kerjanya, Dualitas struktur memandang masyarakat Baduy dan luar Baduy (elu-elu yang peduli dan tamu/pengunjung) beriniteraksi dalam proses produksi dan mereproduksi institusi─katakanlah peraturan Saba itu─dan hubungan-hubungan sosial lain di antara keduanya. Artinya, masyarakat Baduy dan Luar Baduy (elu-elu yang peduli dan tamu) merupakan hasil dari pengaturan yang disepakati dalam regulasi Saba, akan tetapi para aktor (masyarakat Baduy, tamu dan elu-elu yang peduli) tersebut juga menjadi mediasi bagi pembentukan struktur yang baru, baik kini atau di kemudian hari, ya karena gw bilang, ini akan menjadi seperangkat aturan dan sumber daya yang terorganisasikan secara rutin sehingga menyimpan koordinasi dan instansiasinya dalam bentuk jejak-jejak ingatan di antara tamu, elu-elu yang peduli dan masyarakat Baduy. Sebaliknya, sistem-sistem sosial akan secara rutin melibatkan aturan Saba, yang terdiri dari aktivitas-aktivitas kunjungan dan dikunjungi, direpoduksi sepanjang ruang dan waktu oleh tamu dan masyarakat Baduy yang elu-elu bisa monitor dan evaluasi bersama-sama. Dan jangan lupa, elu-elu juga tamu, sampai di sini elu paham?” | Aku: “remang-remang” | Gidden: “gw belum jelasin Tabel loh”
Giddens: “jadi kalau ada tamu/pengunjung yang menciptakan kehebohan kek kemarin di medsos, elu-elu dan masyarakat Baduy bisa sama-sama evaluasi dan bisa membuat catatan, untuk di kemudian hari bisa disisipkan dalam pengaturan ulang Saba, dengan bijak. Dan elu-elu gak usah pakek marah-marah dengan dalih cinta end bla bla bla loh ya. karena pemaknaan Saba selalu harus dipahami dalam kaitannya dengan dominasi. Karena bila timpang, misal elu kebanyakan ngomong beginilah..begitulah.. itu akan menciptakan klaim-klaim kek model tata kelola yang terbukukan dalam Pengembangan Indigenous Ecotourism Pada Masyarakat Adat Baduy atau konten-konten medsos yang mengklaim masyarakat Baduy, atau klaim serupa lainnya, karena dari sanalah muncul legitimasi: Baduy adalah…kudu inilah..dst. yang kalau divalidasi pada masyarakat Baduy, mereka akan bicara: atuh teu apal, kami mah” | Aku: “terus, Dens”
Giddens: “Modalitas pun perlu disusuri secara cermat dan cerdas, misalkan nih ya.. fenomena konten-konten medos itu perlu dipertanyakan kredibilitasnya, karena akan terkait dengan kerangka pemaknaan yang digunakan para tamu dan elu-elu yang peduli terhadap kelangsungan masyarakat Baduy, kalau ini berjalan sesuai kesepakatan, masyarakat Baduy akan menciptakan otomatisasi tindakan, mereka akan dengan sendirinya mengidentifikasi dan mengklasifikasi motif-motif para tamu itu dan para tamu juga bisa dengan bijak selayaknya bertamu. Baik elu-elu yang peduli, masyarakat Baduy dan tamu adalah fasilitas untuk menciptakan norma bertamu, norma penerima tamu. Intine deret modal pemaknaan akan menciptakan dinamika sadar kawasan” | Aku: “iya, ya.. bahkan kalau modal fasilitas itu disusur dengan cermat dan cerdas, PILKADA bisa digunakan sebagai salah satu fasilitas untuk mengartikulasikan dan mengkomunikasikan pentingnya mendudukan masyarakat Baduy dan Pemerintah dalam menciptakan sistem yang rahmatan lil alamin. Jadi power yang keren tuh”. | Giddens: “tul, Bro”.
Alienasi Aku dan Giddens: problem yang kini muncul dalam fenomena kunjungan ke Baduy, terletak pada masyarakat umum yang selalu ingin membuat regulasi untuk masyarakat Baduy, karena masyarakat umum mengira, dengan membuat penelitian dan peraturan seolah-olah merepresentasikan masyarakat Baduy dan akan menjawab permasalahannya. Nyatanya, hanya menciptakan praktik dominasi melalui fasilitas dan kekuasaan. Artikulasi dan partisipasi masyarakat Baduy mengalami penyempitan bahkan mungkin argumennya kini simpan di lubuk hati yang terdalam. Barangkali kita perlu memaknai puisi Peringatan Widji “Kalau rakyat bersembunyi | Dan berbisik-bisik | Ketika membicarakan masalahnya sendiri | Penguasa harus waspada dan belajar mendengar”. Kalau pun mereka ramah, memang mereka mumpuni untuk “Ngasuh Ratu dan Ngajayak Menak”. Bukankah kita tak menginginkan mereka terus-terusan pentas dan kita terus-terusan memfasilitasinya sebagai pertunjukan yang layak ditonton oleh penonton yang hari ini sudah pandai mengacungkan handphone.
*Seniman Banten, kini berdomisili di Solo.
Gidens marah marah