Home AGENDA CATATAN 40 TAHUN TEATER PAYUNG HITAM BANDUNG: MILITANSI & ETOS YANG TAK...

CATATAN 40 TAHUN TEATER PAYUNG HITAM BANDUNG: MILITANSI & ETOS YANG TAK PERNAH HENTI

0

Loading

OLEH AENDRA MEDITA KARTADIPURA*)
RUANG besar dan sebuah disiplin penuh militansi adalah merupakan prasyarat perjuangan sebuah kelompok seni. Adalah Kelompok Teater Payung Hitam (KTPH) Bandung yang punya pengaruh besar untuk teater modern kotemporer saat ini di Tanah Air. KTPH juga punya disiplin penuh dan kekuatan Etos yang kuat. Etos berasal dari bahasa Yunani yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok  dan semua terjadi di KTPH.
Selain itu nilai besar dari KPH adalah kompetensi yang sangat kuat dalam perjalanan di KPH ada panduang etos dan makna sebagai ruang proses dan menjadikan ini dasar dan power yang hakiki. Saya mengenal KTPH sejak 1991. Saat itu saya menyaksikan Teater Payung Hitam asuhan Sutradara Rachman Sabur dalam lakon Menunggu Godot (Waiting For Godot) drama karya Samuel Backett. Pentas drama hasil saduran naskah aslinya berbahasa Prancis dan pertama kali dipentaskan di Paris pada tahun 1953. Kemudian naskah ini diterjemahkan ke dalam banyak bahasa termasuk bahasa Indonesia, dipastikan banyak sekali kelompk tetaer di dunia banyak membawakan lakon ini.
Dan kesan yang saya ambil dari pertunjukan Menunggu Godot (Waiting For Godot) karya KTPH membuat satu tafsir bahwa KTPH adalah teater masa depan. Pementasan yang penuh absurditas diolah Rachman Sabur menjadi pertunjukan yang penuh taksu dan bermakna kuat bahkan membawa rasa penasaran semua yang menyaksikan. KTPH berhasil membangun semua karakter pemain, Nur Rachmat, Karsa, Tony Broer dan Toni Kurniawan.
Saat itu masih dalam KTPH masih kuat dengan naskah teks dan narasi, namun sudah sampaik bahwa cara mini kata sudah tersampaikan dengan pola dan sajian tiap adegan. KTPH memang kini berulang tahun ke 40, (1982 – 2022) lahir dari sebuah kisah bernama Payung Hitam dimana dari kisah Prof Arthur S Nalan bahwa saat itu sejumlah pendiri sering berkolaborasi bahwa kelompok ini belum ada nama karena Bandung sering hujan maka sejumlah seniman melihat kita perlu nama untuk sebuah kelompo jika ada pentas atau ada kerja kolaborasi maka yang terlintas adalah nama payung hitam. Saat itu yang dikenal dengan pembawa payung hitam adalah sastrawan dan budayawan Indonesia Mh. Rustandi Kartakusuma, (20 Juli 1921 – 11 April 2008), untuk kisah Payung Hitam ini akhirnya sampai kini dan jika soal kisah ada yang kurang Prof Arthur bisa mengkoreksinya.
Dalam usia ke 40 tahun adalah kedewasaan yang ada sbeuah kelompok yang setia akan jalurnya yaitu teater. Tajuk kuat dalam sajiannya di 40 tahun adalah “DARI KATA MENUJU TANPA KATA“ pada Sabtu, 03 Desember 2022 malam itu  di Gedung Kesenian Sunan Ambu ISBI Bandung Jl. Buah Batu No. 212 Bandung.
Bagi saya melihat KTPH memiliki ruh yang dahsyat. Perjalanan KTPH adalah sebuah kisah yang punya Value Added jika kita jadikan KPH sebuah brands dan harusnya akan jadi punya nilai utuh menuju branding positioning dimana pasar yang ditawarkan konsumen (penonton) atau bisa saja para supporting sejati yang akan jadi value tadi. KTPH adalah juga telah di stempel paling punya kekuatan dan kompetensi bagi kelompok teater saat ini. 
Saat saya sempat bersilaturahmi dan berbincang panjang dengan pemimpin KPH yang juga Doktor Seni, Rachman Sabur mengatakan dalam dunia teater khusus tentang Teater Tubuh ia punya pola pikir kedepan dan memaknai bahwa KPH adalah sebuah perjalanan dan pilihannya adalah mengungkap apa yang dicari dan harus menemukan yang beda sebab yang dicari akan jadi tolok ukur. “Itulah yang saat ini KPH dan saya jalani dalam ruang ekspresi kesenian,”jalasnya.
EKSISTENSI KPH
KTPH dalam masa situasi Pandemi Covid 19 menyajikan C19 dalam wujud pertunjukan. Pandemi Covid 19 yang sangat berpengaruh terhadap seluruh elemen tak terkecuali para kreator semua terdampak.
KTPH terus berekplorasi dan bagi KTPH kreativitas harus terus jalan. Dalam data yang saya terima berbagai cara mengakali dan siasat untuk mempertahankan kreativitas berkesenian terus berlanjut, bagi KTPH  sehingga kesenian tidak mati suri. Kemajuan teknologi modern era globalisasi dunia digital jejaring internet cukup membantu sebagai informasi, komunikasi dan transformasi dalam mengapresiasi seni budaya bagi KTPH.
Eksplorasi  jalan terus dan KTPH tanpa henti memainkan peran terus, dan teater tak pernah putus berperan. KTPH sudah berjalan dalam 40 tahun dengan kekuatan militan tadi.
KTPH konsisten dan terus melakukan giat untuk pencapaikan eksistensi menjaga keseimbangan serta pemeliharaannya agar kebutuhan arus kreatifitas selama perjalanan panjang berkeseniannya terus hadir. KTPH punya keutuhan keyakinan memperkukuh dalam bentuk usaha inovasi suatu kegiatan yang saling menguntungkan dengan kecerdasan kreativitas, eksplorasi berkarya tanpa batas, itulah KTPH.
Jika kita mengulas perjalanan KPH maka saya ingin mengungkap dalam proses Teater Payung Hitam dari awal sejak 1982 yang sering mementaskan naskah konvensional dari naskah karya dramawan Indonesia, dan dunia, kita sebut “Dag Dig Dug” karya drama karya Putu Wijaya, itu awal pertama berdirinya KTPH dipentaskan.
Proses garapan naskah konvensional dan karya dramawan Indonesia dengan disiplin dan kerja keras, mulai menggarap lakon dari penulis tanah air hingga karya- karya naskah dunia dilakukan terus sesuai proses dan menjadi beberapa karya penyutradaraan yang banyak dilirik para apresiator teater.
“Menunggu Godot” karya Samuel Beckett (1991) suatu proses yang luar biasa. Begitu juga pada tahun yang sama karya Metateater (1991) dicoba sebagai teater eksperimental kolaborasi bersama dengan sejumlah seniman seperti Harry Roesli, Herry Dim, Joko Kurnain. Pementasan Teater Musik Kaleng kolaborasi dengan Rumah Musik Harry Roesli di Graha Bakti Budaya, TIM dan juga Rupa Gerak Bunyi Kolaborasi, Setiawan Sabana, Inggrid Heuser, Y. Hititsuyanagi. “Dalam Metateater itu mengejutkan dan menjadi kekuatan baru bagi KTPH.
KTPH dalam pertunjukan Kaspar adalah yang fenomena besar bagi jagat teater tanah air. Mengejutkan dan sekaligus mencatat peristiwa bersejarah, ini tak bisa dipungkiri. Mungkin hanya KTPH yang mampu menjadi catatan puncak atas naskah ini di panggung teater Indonesia, jadi ibarat puncaknya saat drama “King Lear” W.Shakespeare yang dimainkan Studiklub Teater Bandung (STB) — kelompok teater modern tertua di Indoensia — dimana  itu Suyatna Anirun menjadi Raja Lear- nya adalah puncak kekuatan Suyatna dan STB bagi panggung Indonesia.
Kaspar dari Payung Hitam adalah langkah besar sehingga pada era ini nampaknya Rachman Sabur mulia ingin melepas diri dan mandiri sehingga pada 1997 ia menulis dan menyutradarai “Merah Bolong”. Rachman Sabur mulai mendekonstruksi teks bahwa teater bukan sekadar teks, tapi tubuh adalah bagian yang perlu diasah. Bahkan Rachman Sabur sampai pada tingkat yang sangat “destruktif” sebuah drama itu menjadi kekuasaan sutradara dan kebebasan ada di aktor saat pentas. Rachman adalah aktor dan sutradara dibalik nama Teater Payung Hitam. Inilah karya yang kuat dan membuat perbendaharaan teater di Indonesia makin kuat. Ia memiliki kepekaan, power, energi, emosi, disiplin, kerja keras, dan perfeksionis dalam mewujudkan setiap pementasannya. Kegigihan dan militansinya dibangun bersama Kelompok Teater Payung Hitam tak usah diragukan.
Setiap sajian karyanya penuh makna dan kini ia dikenal sebagai ruang pentas atau panggung yang mana mampu menggantikan verbalitas teks dengan komposisi tubuh erangan, lengkingan, dan desah nafas memacu adrenalin yang tinggi, bukan saja bagi aktornya, namun kita sebagai penonton akan merasa larut. Bayangkan kekuatan aktor bisa diadukan dalam memotong dan menabraknya dengan berbagai benda, kekerasan, kesakitan di atas pentas bagian dari ruang ekspresi yang dahsyat. Nyaris tak percaya jika ini satu pertunjukan yang sublim karena pentas Teater Payung Hitam menentang bahaya bahkan menyakiti diri secara garang dan riuh, dan ini nampak dalam sejumlah pertunjukan yang dipantik awal dari Kaspar (1994) dan Merah Bolong (1997), DOM, Kata Kita Mati dan masih banyak lagi sampai pada pertunjukan lainnya.
KTPH  merupakan sebuah organisasi non-profit yang didirikan pada tahun 1982 dan disahkan secara Akta Notaris dengan nama Yayasan Payung Hitam pada tanggal 29 November 2007, No 52.
Dari data yang didapat dari Tim KTPH bahwa sejak berdiri hingga sekarang, Teater Payung Hitam (KTPH) telah memproduksi lebih dari 100 pertunjukan baik yang bersifat mandiri maupun kolaborasi, serta telah mengikuti berbagai festival teater baik di dalam maupun luar Negeri, diantaranya; International Festival And Seminar On Contemporary Performing Arts (ART SUMMIT INDONESIA VII) Jakarta – Indonesia, BRISBANE POWERHOUSE THEATRE FESTIVAL, Australia, Das Kampnagel- Sommer festival Hamburg – Jerman, Festival Air Bandung, Migration Musik Festival, Taipei – Taiwan, Tainan Art Festival Tainan – Taiwan, Borobudur Writers and Cultural Festival, Borobudur – Magelang. Selain produktif dalam memproduksi pementasan- pementasan teater, Kelompok Teater Payung Hitam juga aktif menyelenggarakan seminar, festival dan workshop serta membuka ruang magang teater (kerjasama dengan Yayasan Kelola).
Teater Payung Hitam lebih banyak menyoroti persoalan-persoalan kebangsaan seperti Politik, Ekonomi, Sosial-Budaya dan Hak Asasi Manusia seperti; Kaspar, Gendjer-Gendjer, Merah Bolong, DOM, Kata Kita Mati dan masih banyak lagi. Dalam karya-karyanya TPH juga mengangkat atau menyoroti isu-isu fenomena sosial-lingkungan, politik dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang direpresentasikan melalui karya-karyanya seperti “Relief Air Mata” karya dan sutradara Rachman Sabur, “Blackmoon” karya dan sutradara Rachman Sabur, “Perahu Noah” karya dan sutradara Rachman Sabur, “Segera” karya dan sutradara Rachman Sabur , “Margin” karya dan sutradara Rachman Sabur “POST HASTE” karya dan sutradara Rachman Sabur yang telah dipentaskan di kota besar Indoensia; Pekanbaru, Riau, Solo, ISBI Bandung, Cirebon, Graha Bhakti Budaya Jakarta, GK. Rumentang Siang Bandung,
Pada BLACKOUT karya dan sutradara Rachman Sabur yang telah dipentaskan di beberapa kota di Indonesia serta HANTU PLASTIK yang dipentaskan di Studio Teater ISBI Bandung.
Tentang Rachman Sabur
Ia lahir di Bandung, 12 September 1957. Mengajar di Jurusan Teater ISBI Bandung. Menyutradarai pertunjukan Teater Payung Hitam selama 38 tahun. Sebanyak 100 pertunjukan lebih yang telah disutradarainya yang tertulis diatas.
Ia memiliki disiplin dan kerja keras, mulai menggarap lakon dari penulis tanah air hingga karya- karya naskah dunia. Beberapa karya penyutradaraan yang banyak dipuji adalah Menunggu Godot (1991), Metateater (1991), Kaspar (1994), dan Merah Bolong (1997). Mulai mendekonstruksi teks bahkan sampai pada tingkat yang sangat “destruktif”. Mengganti verbalitas teks dengan komposisi tubuh erangan, lengkingan, dan desah nafas. Memotong dan menabraknya dengan berbagai benda, kekerasan, kesakitan yang menentang bahaya, menyakiti diri secara garang dan riuh, seperti pertunjukan Kaspar (1994) dan Merah Bolong (1997). Rachman Sabur bersama Kelompok Teater Payung Hitam nyaris tak pernah absen tiap tahunnya dalam produksi teater. Membuat kolaborasi teater tiga Negara, yaitu Indonesia-Philipina-Jepang di Sibuya, Jepang (1997) juga dengan The Lunatics Theatre dari Belanda untuk pertunjukan di Oerol Festival dan di Terschelling, Holland (2005), dengan Tikka Sears (Amerika), Takeshi Yamada Hitotsi Yanagi (Jepang), Inggris P Hauser (Jerman), dengan Camille Boite (Perancis), dari Teater Sirkus Kontemporer I’mmediat (2012), Lary Reed (Amerika), tokoh Shadow Light Master (2013), kolaborasi dengan beberapa seniman di Taiwan Inka, Shirong dalam acara Migration Music Festival di Cloud Gate Theatre Taipei Taiwan (2015), Rachman juga memberikan workshop dan berkolaborasi di University of Washington Seatle (Amerika) dan membawa pertunjukan Red Emptiness (2015), Perform tubuh di Pabriek Fikir bersama (Sardono W. Kusumo) di Colomadu, Surakarta (2015) dan mementaskan pertunjukan Cak dan Pohaci di Tainan Art Festival (Taiwan-2016). Selain diundang pentas di berbagai festival Negeri, juga memandu Workshop antara lain di Festival Perth Australia, di Universitas Murdoch dan Black Swan Theatre, memberikan Workshop Tubuh Realis di Akademi Teater Aswara, Malaysia (2006), memberikan Workshop penyutradaraan Teater Tubuh di Pandaan, Jawa Timur (2013), memberikan Workshop Ketubuhan Aktor IKJ (2014), Workshop Teater Tubuh “Hari Teater Sedunia” di Teater Besar ISI Surakarta (2015), Workshop Tubuh di Sorong, Papua (2016). Beberapa kali diundang untuk jadi penguji pada ujian akhir di Akademi Teater Aswara, Malaysia.
Menyelesaikan studi Penciptaan Seni S3 di ISI Surakarta tahun 2017 (Tubuhku Ingin Menjelma Padi yang Merunduk). Teater Tubuh Payung Hitam berangkat dari pengembangan spirit tubuh tradisi nusantara. Berwawasan pada ketubuhan; Mengenal tubuh sendiri, mengenal tubuh orang lain, dan mengenal tubuh lingkungan.
Rachman adalah orang konsisten dalam dunia panggung dan dirinya memiliki niat suci yang mengabdi dalam kehidupannya sehingga tubuh adalah bagian penting dalam dunia teater yang diperolehnya dengan perjalanan panjang hingga gelar Doktor SENI TUBUH disematkan di dirinya. Pertunjukan Teater Tubuh yang pernah disutradarainya antara lain :
Tuhan dan Kami (1985) • Metateater (1991)
• Menunggu Godot (1991) • Kaspar (1994)
• Dunia Tony (1995)
• Caligula / Aku Masih Hidup (1996) • Anak Bapak Kapak (1997)
• Etalase Tubuh yang Sakit (1998)
• Tiang Setengah Tiang (1999)
• Bersama Tengkorak (2000)
• Kata Kita Mati (2000)
• Merah Bolong (2000)
• Dom dan Orang Mati (2001) • Blackmoon (2002)
• Relief Air Mata (2004)
• Air Mata Air (2004)
• Awasawas (2004)
• Putih Bolong (2005)
• Biografi Bunga (2005)
• Batu, Tanah, Air (2006) • Adinda(2006)
• Red Hole (Australia 2007)
• Dzikir Bumi (2007)
• Requim Antigone, Produksi Studio
Teater STSI Bandung (2007)
• Perahu Noah (2007-2008)
• Puisi Tubuh yang Runtuh (2008) • Genjer-genjer (2008)
• Tubuh Tanah Air (2009)
• Membaca Tanda-Tanda (2012) • Margin, Produksi Jurusan Teater STSI Bandung (2013)
• Sangkuring, Produksi Jurusan
TeaterSTSIBandung(2015) • Cak dan Pohaci (2015)
• Tubuh, Bunyi, Kesakitan (2015)• Red Emptiness (University of Washington, Seattle Amerika 2015)
• POSTHASTE (2016)
• Semua Sakit Juga, Produksi Jurusan Teater ISBI Bandung (2016)
• Tubuhku Ingin Menjelma Padi yang Merunduk (2017)
• Tubuh Lumping (2018)
• Semua Sakit Juga II (2018)
• Hantu Plastik (2018)
• Blackout Munir (2017-2018)
• Monotubuh Hantu Plastik (2018)
• Godot Menunggu (2019-2020) • Rumah C-19 (2020)
Rachman Sabur seorang pemimpin Teater Payung Hitam secara dunia pendidikan adalah Sarjana Muda Teater ASTI Bandung S1- STSI Surakarta Penciptaan Tari, S2- IKJ Penciptaan Teater, S3- ISI Surakarta Penciptaan Seni. Ia mendapat penghargaan seni dari Walikota Bandung, mendapat penghargaan seni dari Gubernur Jawa Barat, mendapat penghargaan seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Dalam credo Tubuh ia katakan bahwa: “Bukan tak percaya pada kata-kata, namun kata telah banyak kehilangan makna. Maka biarkanlah tubuh bicara dengan bahasanya yang jujur dan lebih bermakna. Yang terkandung dalam spirit dan filosofi tubuh tradisi nusantara,” jelasnya saat saya wawancara di muat SENI.CO.ID dan Majalah SENI
Penyelenggaraan “KELOMPOK TEATER PAYUNG HITAM” yang ke 40 tahun saya melihat menjadi spirit bagi para anggotanya, dan bagi seluruh penggiat teater serta apresiator seni pertunjukan di tanah air Indonesia. Dan inilah sejarah yang tidak bisa dilepaskan dalam benak kita yang memiliki banyak tokoh budaya dan karyanya menjadi abadi.
Dan malam itu Prof Sardono W Kusumo dalam orasi budaya yang disampaikan dengan performance art yang menawan dan apik berkisah kemanusian, mengkritik perang yang terjadi (Ukraina vs Rusia) dan pola penyampaikan yang sublim tentang Baduy dan juga kisah wayang. Kita patut bangga dan menghargai nilai-nilai luhur karya menjadi satu peristiwa penting dalam setiap keragaman budaya yang ada.
“Sisi Ekosentris dalam karya Rachman Sabur adalah mendorong lahirnya pendidikan seni berbasis lingkungan hidup,” tulis Sardono dalam katalog 40 tahun Teater Payung Hitam dimana Sardono menyoroti karya Sabur dalam merspon alam.
Teater Payung Hitam adalah sebuah momentumnya dalam menghadapi penghargaan di usianya yang ke 40 Tahun pada bulan Desember 2022. DARI KATA MENUJU TANPA KATA  adalah cara TEATER PAYUNG HITAM (1982 – 2022) yang mana telah memberikan apa yang namanya militansi & etos yang tak pernah berhenti didalam drama. Inilah drama yang sebenarnya panggung keberadaan hidup yang senatiasa menjadi cara kita menjalani dengan tulus tanpa harus banyak bicara. Dan gerak tubuh adalah jiwa-jiwa para yang setia dalam warna hidupnya. Congratulations KTPH…Tabik!!!

*) adalah Pemimpin Redaksi MEDIA SENI.CO.ID dan MAJALAH SENI, pencinta Kopi dan pernah kuliah teater.

FOTO-FOTO ANDI S/SENI.CO.ID

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here