Home Bahasa Mengenang Ajip Rosidi (31 Januari 1938-29 Juli 2020), PROFESOR-SASTRAWAN TERHORMAT YANG SMA...

Mengenang Ajip Rosidi (31 Januari 1938-29 Juli 2020), PROFESOR-SASTRAWAN TERHORMAT YANG SMA PUN TAK TAMAT (Penggal ke-6: pamungkas)

0
Mengenang Ajip Rosidi (31 Januari 1938-29 Juli 2020)
PROFESOR-SASTRAWAN TERHORMAT YANG SMA PUN TAK TAMAT
(Penggal ke-6: pamungkas)
Tahun 1955 istimewa betul bagi Ajip Rosidi. Tidak hanya karena dia yang masih siswa kelas 2 Taman Madya (SMA) menikah waktu itu. Tapi juga karena kemudian, tak lama berselang, ia menjadi nakhoda majalah yang didirikannya, ‘Prosa’. Pengalamannya sejak 1953 sebagai pemimpin redaksi ‘Suluh Siswa’ ia manfaatkan dalam menjalankan terbitan sastra yang dijual untuk umum ini.
Lantas, masih di tahun 1955, kepengarangan dia mendapat garis bawah tebal. ‘Tahun-tahun Kematian’, kumpulan 5 cerpen yang kemungkinan ia tulis saat dirinya masih 13 tahun, diterbitkan Gunung Agung. HB Jassin, redaktur perusahaan penerbit tersebut yang meloloskannya. Kendati telah banyak menulis di koran dan majalah terkemuka, bagi dia kelahiran kitab perdananya yang diawasi tokoh yang kelak bersebutan ‘paus sastra’ tentulah sebuah pengakuan penting.
Ternyata umur ‘Prosa’ pendek saja. Ajip yang masih 17 tahun berpaling ke Balai Pustaka. Sejak November 1955 ia bekerja di sana.
Menjadi pegawai rupanya tak membuat dirinya jenak. Baru seumur jagung, penulis yang juga menghasilkan karya dalam bahasa Sunda ini sudah tak kerasan. Hingga Februari 1956 saja ia di sana.
Hidup sepenuhnya sebagai pengarang, itulah keputusan dia. Agar bisa menafkahi keluarga, ia lantas menulis banyak-banyak. Kalau semula cerita pendek dan puisi yang dihasilkannya, sekarang ia merambah esei dan kritik.
Begitupun, penghasilannya kecil saja. Salah satu penyebabnya adalah banyak juga karyanya yang ditolak media massa. Bukan mutu yang kurang semata masalahnya tapi juga daya tampung surat kabar dan koran yang kecil. Jumlah media di zaman itu masih sedikit dan yang membuka ruang untuk karya sastra segelintir saja. ‘Mimbar’, ‘Siasat’, ‘Indonesia’, dan ‘Zenith’ yang acap memuat buah pena dia.
Di paruh pertama 1950-an itu perekonomian kita baru saja menggeliat sehingga daya beli masyarakat rendah untuk apa saja. Membeli lepas suratkabar atau majalah pun merupakan sebuah kemewahan di masa itu; apalagi berlangganan. Perlu kita ingat bahwa kendati proklamasinya pada 17 Agustus 1945, Indonesia ‘de facto’ baru merdeka setelah penyerahan kedaulatan, tahun 1949.
Di tahun 1956 kembali ia mendapat penawar hati. Balai Pustaka menerbitkan karya prosanya lagi yakni ‘Di Tengah Keluarga’. Menurut taksiran HB Jassin, Ajip masih 17 tahun saat menulis karya bernuansa otobiografi ini.
Dalam buku ini, kata HB Jassin, Ajip memaparkan silsilah keluarga sendiri. Si anak Jatiwangi masih kecil sewaktu papi dan maminya cerai. Maminya kawin 3 kali lagi dan papinya 2 kali lagi.
Satu saja saudara kandung Ajip yaitu adiknya [Ayatrohaedi]. Keduanya sempat ikut sang ayah yang merupakan guru sekolah rakyat (SD). Mereka hidup dengan para saudara tiri dan ibu baru yang bukan pengasih. Nestapa panjanglah yang mereka rasakan sebagai imbas perpisahan mami-papi.
Dua kumpulan puisi Ajip Rosidi juga menjadi buku di tahun 1956. ‘Pesta’ diterbitkan oleh Pembangunan. Sedangkan ‘Ketemu di Jalan’ oleh Djembatan. Ketemu di Jalan merupakan karya dia bersama sahabatnya sesama anak Taman Madya (SMA) di Taman Siswa: Sobron Aidit dan SM Ardan. Tiga remaja yang dekat dengan Seniman Senen ini berkoloborasi dengan meniru tiga senior berdarah Minang—Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin—yang melahirkan buku puisi ‘Tiga Menguak Takdir ‘ pada 1950.
Lumayan tinggi sudah pun pencapaiannya sebagai pengarang, jenuh juga Ajip menjalani kehidupan di Ibukota yang sumpek-semrawut. Ingin mereguk kembali indahnya kehidupan desa di masa kanak-kanak, pada Maret 1956 ia pulang untuk menetap di Jatiwangi, Majalengka.
Ternyata baru 5 bulan ia sudah tak jenak di sana.
Sesungguhnya, selama 5 tahun ia tinggalkan Jatiwangi praktis sedikit saja berubah; seperti desa lainnya, gerakannya masih saja melata. Yang berubah banyak adalah diri Ajip. Ia bukan lagi anak berumur 12 tahun seperti waktu meneruskan sekolah ke Jakarta. Ia telah menjadi lelaki dewasa. Selain berstatus suami sejak tahun sebelumnya (1955), wawasan dan berpergaulan dia sudah luas. Pula, dirinya telah ternama sebagai penulis.
Seperti yang selalu terjadi pada mereka yang telah jauh (tak hanya secara geografis) rantaunya, terasing sudah dia dari tanah kelahiran. Raganya saja yang pulang; jiwanya tidak.
Ia laksana anak lama ditunggu (dan baru tiba hari itu dari Eropa) yang dilukiskan penyair Sitor Situmorang dalam sajak ‘Si Anak Hilang’ yang terbit pada 1955:
………
Anak diam mengenang lupa
Dingin Eropa musim kotanya
Ibu diam berhenti berkata
Tiada sesal hanya gembira
Malam tiba ibu tertidur
Bapa lama sudah mendengkur
Di pantai pasir berdesir gelombang
Tahu si anak tiada pulang
BERBAHAYA
Kembali lagi Ajip ke Jakarta. Begitupun, hingga sekian lama berselang ia tetap terombang-ambing di antara Jatiwangi dan Jakarta yang disebutnya tempat kelahiran yang pertama dan kedua. Di sajak ‘Dua Kota’ yang ditulisnya tahun 1958 itu ia gambarkan.
‘DUA KOTA’
Suatu kota dalam bayangan bulan, cintaku
Nyanyian masa kanak yang telah jauh
Iringan suling mengombaki sepi abadi
Merayap pelan mengetuk jendela setiap hati
Yang terbuka bagi petualangan jiwa
Suatu kota mandi sinar matahari
Impian jauh harapan jauh
Derak kendaraan tanpa istirah
Yang terbuka bagi desah manusia
Menghela beban besi
Karyanya, baik puisi maupun prosa, untuk seterusnya banyak yang diilhami kedua tempat.
Hidup dari mengarang. Keputusan sejak meninggalkan kedudukan sebagai pegawai di Balai Pustaka, ia jalani dengan teguh. Jika tak menulis, yang ia lakukan adalah membantu penerbitan dalam urusan kepenulisan. Dari segi keuangan, jalan ini berat baginya. Jangankan dia. Pramoedya Ananta Toer yang namanya sudah jauh menjulang pun, saat itu masih saja kelimpungan dalam soal duit.
Pada 1958 kumpulan cerpen Ajip, ‘Perjalan Pengantin’, disuguhkan ke publik oleh Pembangunan. Lebih mengemuka lagi kedudukan dia sebagai penulis prosa.
Di tahun 1959 terbit lagi 2 buku karyanya yakni ‘Cerita Pendek Indonesia: Sebuah Tinjauan’ (Djembatan) dan ‘Tjari Muatan’. Yang pertama ini, seperti yang disiratkan oleh judulnya merupakan sekumpulan hasil ulasan. Kitab ini memerlihatkan bahwa Ajip bukan hanya penulis yang bernas tapi juga pembaca yang banyak melahap karya serta yang rajin pula mencerna-menelaah isinya Kelak, hingga setelah sepuh pun ia tetap rajin membuat ulasan dan timbangan (resensi).
Dihiasi coretan Oesman Effendi— seperti halnya ‘Sajak Sajak Anak Matahari’ yang terbit 20 tahun kemudian—‘Tjari Muatan’, memuat juga puisi-puisi awal Ajip. Di sana termaktub puisi panjang berjudul ‘Jante Arkidam’. Kisah ihwal jagoan yang merajai dunia kegelapan. Si perkasa yang selalu mampu membuktikan ucapannya, “Tubuh kalian batang pisang. Tajam tanganku lelancip pedang.”
Thema serupa digarap juga oleh Sitor Situmorang dalam ‘Matinya Juara Judi’ (1955), Mansur Samin (‘Sibaganding Sirajagoda’), dan WS Rendra (‘Balada Terbunuhnya Atmo Karpo’). Pula, jauh hari kelak, oleh Iwan Fals tapi dalam lagu tentang bromocorah: ‘Sugali’.
Kumpulan puisi ‘Surat Cinta Enday Rasidin’ yang terbit pada 1960 semakin memerlihatkan produktivitasnya sebagai penulis.
Dalam tempo kurang dari 5 tahun sudah 8 buku karangan dia yang terbit. Terkait dengan pencapaian ini, HB Jassin pun membuat sebuat tulisan berjudul ‘Ajip Rosidi Tunas Harapan’. Dalam artikel yang dibuat di awal 1960-an ini ia antara lain mengatakan:
“….Orang mengikuti perkembangannya yang pesat itu setengah-setengah dengan perasaan kagum, tapi juga dengan kuatir dan curiga melihat nilai hasil-hasilnya. Dan apabila orang menerima juga kehadirannya, maka senantiasa dengan harapan semoga hasilnya yang berikut akan lebih memenuhi pengharapan-pengharapan sebelumnya (HB Jassin, 1985).
Dalam tulisan itu HB Jassin menyoroti pelbagai kelemahan prosa dan puisi Ajip dalam 5 tahun tersebut. Kalaupun ada kemajuan, menurut dia, itu hanya dalam puisi. Sebuah jeweran yang memerahkan kuping Ajip, tentunya. Tapi, berdasarkah kekhawatiran HB Jassin? Waktu akan menjawab.
KARYA YANG MENDERAS
Sejak buku pertamanya, ‘Tahun-tahun Kematian’, terbit tahun 1955 karir Ajip Rosidi sebagai penulis terus melesat. Dia, seperti kata Prof. Andries Teeuw (1989), hampir tidak pernah absen dalam percaturan sastra di negeri kita. Di sepanjang waktu ia menjadi orang penting di segala bidang sastra. Sehingga, lanjut guru besar Universitas Leiden itu, “orang cenderung tidak mau tahu betapa muda ia sebenarnya—baru lewat 40.”
Teeuw mengingatkan pembaca bahwa Ajip yang namanya sudah sangat lama berkibar (sejak awal 1950-an) di kancah sastra Indonesia sesungguhnya lebih belia dari Subagio Sastrowardojo dan Iwan Simatupang. Sedikit lebih muda dari Umar Kayam, NH Dini, WS Rendra, Budi Darma, dan Taufik Ismail. Hanya 2 tahun lebih muda dari Sapardi Djoko Damono dan Danarto serta 3 tahun lebih belia dari Sutardji Calzoum Bachri dan Darmanto Jatman.
Tak berlebihan apa yang dikatakan pengamat terkemuka sastra Indonesia, Teeuw, yang kelak (1993) menjadi penulis kata pengantar ‘Terkenang Topeng Cirebon’ (karya terpilih dari 8 kumpulan sajak Ajip Rosidi).
Karya Ajip masih akan terus berlahiran, termasuk novel. Kebernasan suami Fatimah Wirjadibrata ini sebagai penulis, baru berkurang sejak ia berkegiatan di sejumlah lembaga. Pada 1968 ia terpilih menjadi anggota Dewan Kesenian Djakarta. Di tahun yang sama ia menjadi redaktur majalah ‘Budaja Djaja’ (hingga 1981). Pada 1971 dia juga menjadi redaktur ruang kebudayaan ‘Matahari’ di majalah ‘Mimbar’.
Sedari 1973 ia malah memimpin 2 lembaga sekaligus yakni Dewan Kesenian Jakarta (hingga 1981) dan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI, sampai 1979).
Kegiatannya menjadi seabreg karena harus mengurusi sepenuh waktu sejumlah institusi sekaligus. Jelas, kesempatannya untuk menulis menjadi sangat tipis. Apalagi pada 1978-1980 ia pun menjadi staf ahli Menteri Kebudayaan Fuad Hassan.
Kelelahan akibat beban pekerjaan, terkadang ayah 6 anak ini sampai sakit (bronhitis, biasanya). Kalau sudah begitu, dokter akan bersaran agar ia rehat.
Tatkala bersitirahat akibat sakit, seleranya untuk menulis bakal terbit. Dia akan pulih dengan sendirinya seiring lahirnya puisi dan yang lain. Jadi, menulis adalah obat mujarab baginya.
Setelah sedekade lebih bersibuk ria mengurusi lembaga, akhirnya tiba juga masanya bagi dia untuk bisa kembali bertekun menulis. Sangat panjang malah waktu tersebut.
Kendati sekolahnya hanya sampai kelas 2 Taman Madya, Ajip ternyata dipercaya juga sebagai pegajar di perguruan tinggi. Pada 1967-1970 ia menjadi dosen luar biasa untuk mata kuliah Sejarah Sastra Indonesia dan Sunda di Universitas Padjajaran, Bandung.
Lebih hebat lagi, sejak 1981 ia menjadi guru besar tamu di Osaka Gaidai (Universitas Osaka untuk Kajian Asing). Ia kemudian mengajar juga di Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa-Bahasa Asing Osaka), Kyoto Sangyo Daigaku (Universitas Industri Kyoto), dan Tenri Daigaku (Universitas Tenri).
Tak kurang dari 20 tahun ia bermukim di negeri sakura. Kesempatan emas ini tidak ia lewatkan begitu saja. Di sana ia leluasa menulis karena seusai mengajar waktunya masih banyak tersisa. Hasilnya berlimpah. Buku ‘Orang dan Bambu Jepang’ dan ‘Yang datang Telanjang—Surat-Surat Ajip Rosidi dari Jepang 1980-2002’, termasuk yang ia tulis di negeri matahari terbit.
Alhasil, dalam karir kepengarangannya yang sangat panjang—sejak usia 13 tahun hingga umu 82 tahun—ia menghasilkan ratusan—kalau bukan ribuan—tulisan ihwal sastra, bahasa, budaya, perkisahan tentang hidup orang (biografi dan obituari), dan yang lain. Sebagian darinya termaktub dalam pelbagai kitab.
‘Roro Mendut’ (novel), ‘Anak Tanahair, ‘Puisi Indonesia Modern’, ‘Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia’, ‘Sastra dan Budaya’, ‘Kamus Istilah Sastera Indonesia’, ‘Kapankah Kesusasteraan Indonesai Lahir’, ‘Bahasa Indonesia Bahasa Kita’, ‘Bus Bis Bas—Berbagai Masalah Bahasa Indonesia’, ‘Ibu Haji Belum ke Mekah—Bahasa dan Perilaku Bahasa’, ‘Badak Sunda & Harimau Sunda—Kegagalan Pelajaran Bahasa’, ‘Korupsi dan Kebudayaan’, ‘Lekra Bagian dari PKI’, ‘Tanya Jawab Diri Sendiri’, dan ‘Hidup Tanpa Ijazah—Yang Terekam dalam Kenangan’ merupakan sebagian dari buku yang ia tulis.
Pula, biografi: S. Sudjodjono, Affandi, Salim, M. Natsir, Sjarifuddin Prawiranegara, Haji Hasan Mustapa (dalam bahasa Sunda). Beberapa karyanya sudah diterjemahkan ke pelbagai asing, termasuk Inggris, Belanda, Jerman, Rusia, dan Jepang.
Dalam hal stamina menulis, kebernasan, dan keluasan bidang cakupan, kukira hingga sejauh ini sang penerima gelar doktor kehormatan bidang ilmu budaya dari Fakultas Sastra Universitas Padjajaran (pada 31 Januari 2011) belum ada tandingan di Indonesia. Untuk beberapa tahun ke depan pun rekornya akan sulit dilampaui orang sebab pencapaiannya begitu fenomal.
Lantas, apa gerangan yang membuat dirinya tak jemu-jemu menulis dalam rentang waktu yang begitu panjang? Untuk cari makan belakakah? Jelas tidak. Ia pernah menjelaskan musebabnya.
Menulis, bagi Ajip Rosidi, adalah menyatakan kebenaran. Adapun karya sastra, menurut dia, adalah bentuk kesaksian penulisnya yang jujur, yang ditulis karena dorongan yang bersifat rohani.
“Menulis buat saya bukanlah semata-mata dorongan ingin memperoleh kepuasan batin, lantaran telah melahirkan sesuatu yang indah atau atau ganjil. Ia lebih merupakan dorongan untuk membuat kesaksian,” tulis dia pada 1985.
Dengan prinsip seperti ini, ia tegaskan, dirinya lebih mementingkan isi daripada bentuk pengungkapan. Alhasil bahasanya pun serba lugu dan langsung.
Memang, kalau kita cermati, karya-karyanya, baik yang prosa maupun yang puisi, jauh dari canggih. Sebaliknya, sederhana dan gamblang karena memang tidak dimaksudkan untuk menghasilkan efek yang lain yang lain. Dalam hal ini sejak dulu ia berbeda dari sejumlah sastrawan di Tanah Air yang melakukan aneka eksperimen termasuk mengabsurdkan cerita atau membebaskan puisi dari beban makna.
Tentang yang terakhir ini memang bisa muncul pertanyaan. Larik-larik tanpa arti yang jelas pada sebuah struktur berbentuk sajak masih puisikah namanya? Bukankah puisi itu cetusan suasana hati penulisnya sehingga merupakan pelukisan penuh makna?
Prinsip menyatakan kebenaran itu pula yang membuat dirinya konsisten untuk tidak menghasilkan apa yang ia sebut sebagai ‘fiksi hiburan’ yakni karya yang lahir atas pesanan pasar. Pun karangan ‘picisan’.
Selalu berusaha memberi karya yang terbaik. Demikianlah prinsip Direktur Penerbit Duta Rakyat periode 1965-1968 ini, sedari dulu. Pada sisi lain ia juga selalu meminta imbalan yang paling maksimal. Bahwa para penerbit menganggap dirinya rewel, ia tak ambil pusing.
PENGGELIAT SASTRA DAERAH
Sejak masih belia, senantiasa terombang-ambing di antara 2 kota: Jatiwangi dan Jakarta. Sebab itulah Ajip Rosidi selalu memberi perhatian khusus pada sastra daerahnya, Sunda. Jagat Parahyangan banyak ditulisnya baik dalam bahasa Indonesia maupun Sunda. Dalam hal menggeluti 2 jenis sastra sekaligus (Indonesia dan daerah) ia juga pengarang yang tak tertandingi di negeri kita.
Buku yang dihasilkannya terkait dunia Sunda antara lain adalah ‘Jante Arkidam jeung salikur sajak lianna’ (1967), ‘Sajak Sunda’, ‘Ensiklopedi Kebudayaan Sunda’, ‘Manusia Sunda’, ‘Mencari Sosok Manusia Sunda’, ‘Gerakan Kesundaan’, ‘Mengenal Kesusasteraan Sunda’, ‘Apa & Siapa Orang Sunda’, ‘Masa Depan Budaya Daerah’, dan ‘Candra Kirana—Sebuah Saduran atas Cerita Panji’. Kalau puisi dan buku anak berbahasa Sunda dimasukkan, daftarnya akan panjang betul.
Kecintaan pada budaya leluhurnyalah yang membuat dia mendirekturi Penerbit Kiwari (ia dirikan di Bandung tahun 1962) dan Penerbit Tjupumanik yang berbasis di Jatiwangi (1964-1970), memimpin ‘Mingguan Sunda’ (kemudian menjadi ‘Madjalah Sunda ‘) pada 1965-1968, mengetuai Paguyuban Sastra Sunda (1966-1975), mengepalai proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda (sejak 1970), dan mengajar di Universitas Padjajaran.
Sepulang dari Jepang, dia banyak mencurahkan waktu dan pikiran untuk budaya daerahnya. Untuk melestarikan sastra-budaya Sunda, pada 1993 dia, bersama Erry Ryana Hardjapamekas, Edi Suhardi Ekadjati, dan yang lain, mendirikan Yayasan Kebudayaan Rancage.
Saban tahun sejak 1989, yayasan ini memberi Hadiah Rancage kepada mereka yang bersumbangsih dalam memajukan sastra Sunda. Mulai tahun 1994 penerima penghargaan ini diperluas sehingga bukan hanya orang Sunda lagi tapi juga Jawa, Bali, Lampung, dan yang lain.
Begitulah, pegiat sastra Batak pun ikut menjadi pemenangnya yakni Saut Poltak Tambunan dan pastor penerjemah kamus Batak: Leonardus Egidius Joosten (2015), Rose Lumbantoruan (2016), Tansiswo Siagian dan Soekiman Ompu Abimanyu (2017), serta Panusunan Simanjuntak (2018).
Sastra daerah, termasuk Batak, tentulah menjadi lebih menggeliat setelah tertular virus positif Hadiah Rancage. Inilah salah satu jasa penting Ajip, pendiri perusahaan penerbit Girimukti Pustaka dan Kiblat Buku Utama.
Setelah Ajip menghembuskan nafas terakhir di Magelang pada 29 Juli 2020, banyak orang—termasuk aku—yang serta-merta tersadar betapa raksasanya sebenarnya dia. Sajak ‘Penyair’ yang ditulisnya di tahun 1954 laksana menubuatkan ketersadaran itu.
‘PENYAIR’
i
adapun penyair lahir
membangkitkan kematian para penyihir
lalu dengan mantra kata-kata
menjelmakan kehidupan manusia
menyanyikan kelahiran cinta
atau menangisi kematian bunda
melagukan kesia-siaan rindu, kau pun tahu
segala yang beralamat duka
ii
siapa menjelajahi pagi
mendapat pertama sinar mentari
lagu kunyanyikan kini
akan dimengerti nanti
lagu kusajakkan kini
suara lubuk hati
yang selalu sunyi
AJAIB AJIP
Anak Jatiwangi, Majalengka, bernama Ajip Rosidi sudah berstatus sastrawan nasional saat masih berumur 13 tahun. Ia telah menjadi suami dan pimpinan masalah Prosa yang dijual untuk umum, di umur 17 tahun. Sekolahnya hanya sampai kelas 2 Taman Madya (SMA). Begitupun sejak 1981 ia menjadi profesor terhormat di sejumlah perguruan tinggi di Jepang. Di sana ia bermukim tak kurang dari 20 tahun. Karya tulisnya (dalam 2 bahasa: Sunda dan Indonesia) ratusan, kalau bukan ribuan. Pernah pula ia memimpin beberapa lembaga terkemuka.
Lantas, di usia 78 tahun ia menikahi bintang film Nani Wijaya yang sudah berumur 72 tahun. Itu terjadi pada April 2017.
Istri Ajip, Fatimah Wirjadibrata, berpulang pada 2014; sedangkan suami Nani Wijaya, Misbach Yusa Biran, tahun 2012. Misbach adalah kawan Ajip, Sobron Aidit, dan SM Ardan saat mereka menjadi siswa pegiat sastra, yang berkarib dengan kaum Seniman Senen. Jadi, di usia yang sama-sama sudah sangat lanjut Ajip menikahi jandanya sahabat.
Memang ajaib kan, Ajip? (Tamat)
Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here