Home Bahasa Interlud di Antara Ego Peradaban

Interlud di Antara Ego Peradaban

0
Interlud di Antara Ego Peradaban

Loading

Oleh: Taufan S. Chandranegara *)

Pencuri nasib tetap menjadi pasir dapat dihempas, oleh sekadar angin sepoi-sepoi. Tak perlu badai, sebab badai, mungkin, telah menjadi kepura-puraan pada suatu kepentingan tersirat sekalipun tersurat, seperti syair dalam wacana lagu seakan-akan sendu atau alih-alih sedih amat.

Mendayu semakin ragu kata syairnya, ketika mencurigai cinta atau bukan, takut jatuh menjadi cinta tersia-sia, tersirat sekali lagi sekalipun tetap alih-alih tersurat. Apakah itu merupakan sekadar kisah kata syair dari sebuah grup musik berlabel anonim. Berdendang dari balik suara sumbang.

*

Kebenaran tetap kokoh dikebaikan. Relativitas, tetap menimbang pikiran terjaga, tetap mengawasi, mewaspadai aklamasi pertimbangan penasihat bayang-bayang. Perlu kehati-hatian. Perlu tetap meningkatkan kewaspadaan, senantiasa. Melihat darat, laut, udara, memastikan tanda-tanda semafor dengan cermat, teliti, sebab, mungkin saja, hipokrisi, tengah membidik kesempatan, berakrobat di batas horizon.

Mewaspadai krisis mata air di musim kemarau, di keping-keping nurani tak jadi cahaya pelangi kemaslahatan, sebab musababnya, mungkin, akibat pola makan senantiasa terlalu kenyang. Hingga akhirnya memelihara kecurigaan pada perutnya sendiri, barangkali pula, akibat sembelit oleh ‘ego’ di dalam peradaban tubuh.

Kadang-kadang keinginan tak sesuai harapan, itupun kalau mau menyadari sebagai salah satu ujian kelulusan alami, semacam, meski tak serupa benar dengan anomali klise perumpamaan, ketakutan, terhadap perubahan cuaca hingga fobia pada kehancuran bima sakti, sebagai salah satu sebab, tersadar maupun tidak, akibat nuklir-isme dari tangan sendiri, meski telah berganti tangan berkali-kali, itupun bukan salah satu jalan keluar, karena langkah salah acuan gelombang telah tertulis di frekuensi, akan muncul ber-abad kemudian, menjadi catatan historis. Jika cita-cita tak mufakat dengan makrifat iman ilahiah.

*

Rasanya, mungkin, tak perlu ketakutan terhadap pikiran-pikiran cemerlang terang benderang, terbuka tanpa pretensi, itupun salah satunya, di antara misteri ketakutan hantu-menghantui, itu sebabnya jangan jadi hantu siang bolong ataupun hantu gulita malam, jadi sari bunga terindah juga boleh, memberi manfaat pada kupu-kupu, sebab realitas pilihan menunjukan kualitas daya juang persepsi keadaban, semoga kuantitas tak serupa benda-benda angkasa beterbangan simpang siur.

Pretensi tak serupa, nepotisme-terkebiri, memotong tujuan cita-cita independensi dari pertumbuhan benih sebagai pilihan dari generasi alami. Nepotisme? Tinggalan kaum feodal kala musim monarki absolut berpihak pada kolonialisme-imperialisme, berkembang di ranah ‘neo-isme‘, bukan soal melanggar hak asasi manusia atau tidak, ada sejarah monarki di dunia maupun di negeri utopia mimpi-mimpi.

Biarkanlah benih tumbuh sebagaimana diinginkan secara natural setara usia tetumbuhan, perlahan, membentuk dahan kokoh, berserentak dengan ranting-ranting dedaunan, bertahapan menjadi teguh beriman berakar kuat, menghadapi sikap cuaca-cuaca alami, telah memberi hakikat pada kehidupan, patah tumbuh hilang berganti, merupakan sebuah kepastian moral semesta.

Tak ada satupun abadi termasuk ruh di badan, sekalipun, tubuh tak menghendaki, luka, terasa perih, namun jika kehendak natural telah menyatakan, tubuh tak akan mampu menolak. Sebab cuaca-cuaca, universal, terus menguji ketahanan tetumbuhan, semisal, lewat gempa, gelombang tsunami, gunung meletus, badai taifun, dengan berbagai bentuk tata cara tak terhingga, setelahnya alam, kembali menata ekosistem dalam frekuensi bersama gravitasi.

Lalu, mungkin saja ada sebuah pertanyaan, dilahirkan oleh kebimbangan klise-isme, barangkali karena keraguan pada perubahan cuaca silih berganti, benarkah tanpa pretensi, perlukah pretensi, dihadirkan, seperti layaknya sebuah sidang dalam aturan hukum pidana ataupun perdata, menghadirkan saksi-saksi, kultus dari dogma textbook dalam pola runtut berbagai jenis pertanyaan-penuntutan. Seiring berjalannya waktu akumulatif, lahirlah pertanyaan alam raya. Telah pudarkah ketulusan?

*

Perubahan, barangkali, akan melahirkan banyak hal positif, baik dalam laku teks, oral ataupun verbal, jika lahir dari buah pemikiran sebening embun pagi. Itupun, jika nalar mampu menerima sebagai aturan kritik, maka akan menjadi kritik positif, atau akan menjadi stimulus, menuju pola kesepadanan, kebersamaan, kesetaraan-kemanusiaan, menuju peradaban baru.

Dipola istilah kini bisa juga, kritik, kalau ikhlas, yaa, bisa juga disebut diskursus demokratisasi pendapat, sebagaimana bentuk pustaka acuan edukatif pikiran-pikiran, barangkali. Meskipun, ada juga, mata memandang hati tertutup mendung, seolah-olah hanya terlihat sisi negatifnya saja, atau mungkin, cuek aje deh bye-bye love, bak film lama diputar ulang berulang-kali.

Sebuah pandangan dapat menjadi keseimbangan absolut bisa juga tidak, bergantung pada kebijaksanaan komunikasi antar mega-mega dengan angin, langit akan meredam badai, memberi pencerahan. Mungkin saja, jika berani melihat langit sebagai pemikiran ‘akal budi’ menuju suatu perubahan.

Menyongsong pagi nan indah, sore nan adem, menggelar tikar kebahagiaan melihat perubahan, sebagai pencerahan, harmoni antar waktu, menuju publik negeri pesona harmonisasi cinta teramat tulus, semoga tak langka pada zaman kontemporer kini. Maka malam memberi peraduan mesra kasih sayang. Semoga.

Interlud, menjadi aksara panjang ketika keinginan telah dinyatakan. Konsonan tak tepat akan masuk tong sampah akibat takut pada kritik? Tidak. Tidak boleh takut pada kritik bijaksana untuk kemaslahatan bersama.

Sebab, kritik, tentu positif, kalau negatif, tentu abaikan saja, tentu pula tak guna bagi dunia. Menyongsong perubahan dalam keseimbangan hasil dari kemufakatan di nurani makrifat. Jika telaah telah ditetapkan oleh pilihan publik, dilindungi moral hukum-hukum positif.

*

Cuaca senantiasa cerah. Bangun pagi dengan segar. Melihat ‘Sang Dwiwarna’ berkibar gagah menggapai cuaca, awan-awan berarakan. Lalu seakan-akan melintas, bagai mimpi, begitu cepat, begitu indah, pesawat R-80 (Regio Prop 80) rancangan Presiden ketiga RI, B.J. Habibie, melintas di angkasa biru, bangga menjadi Indonesia Keren, begitu banyak pencapaian dari lampau hingga kini. Semoga senantiasa.

Kini sudah tiba waktunya pula, tak perlu lagi menunggu, kelanjutan rentang waktu pencapaian impian Indonesia Keren, di rentang waktu pendidikan modern, maupun di bidang sains-supertekno, produksi dari keahlian anak negeri sendiri, selanjutnya, sebagaimana kini? Menuju akan datang.

Ingin rasanya memiliki selusin kapal induk hipertekno, supercanggih, helikopter tempur, jet tempur buru sergap mandiri, buatan sendiri, menjaga stabilitas keamanan di teluk-teluk kepulauan ‘Indonesia Indah’, menyergap si teror, mafia perompak, mafia penyelundup, mafia illegal fishing, invasi militer-sipil, maupun, sparatis pengacau keamanan negeri tercinta ini.

*

Negeri ini gudangnya ilmuwan, cendikiawan, sekaligus budayawan sains, telah memberikan sumbangsih ideal, pemikiran-pemikiran, baik langsung maupun tak langsung, lewat pengajaran di sekolah-sekolah tingkat pelajar, akademi, universitas.

Optimis. Wajib. Itulah iman, dari persatuan-persaudaraan keren, sebagaimana, keberagaman keyakinan, mengajarkan kedisiplinan dalam kepatuhan moral.

Maju terus Indonesia, dari yakinku teguh, semoga saja, menjadi realitas berbudi kelak. Menjadi contoh keteladan para pelajar negeri tercinta ini. Salam Indonesia Keren-Anti Korupsi. Negeri para sahabat.

Jakarta Indonesia, September, 2020.

*) praktisi seni.

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here