Home Bahasa GERAKAN PUISI TERPIMPIN (Skandal Puisi Esai DJA)

GERAKAN PUISI TERPIMPIN (Skandal Puisi Esai DJA)

1

Oleh Hikmat Gumelar *)

Akhirnya Denny Januar Ali (DJA) mengaku. “Kisah Puisi Esai dan Para Pendahulu”, tulisannya yang ditandai banyak sekali cacat penulisan, menyatakan, “Sejak awal memang diniatkan puisi esai menjadi genre baru. Sejak awal dimaksudkan puisi esai menjadi angkatan baru.”

Adapun awalnya tahun 2012. Pada tahun tersebut, DJA menulis teks yang disebut puisi esai oleh dia sendiri. Teksnya diniatkan sebagai alat untuk menyampaikan opini mengenai masalah sosial yang berbeda dengan kolom dan makalah.

Karena merasa sebagai “entrepreneur, aktivis”, DJA merasa “tak puas hanya menulis puisi”. DJA “mengajak komunitas lain untuk terlibat”, mengajak “sesama penulis, dosen, aktivis dan jurnalis”. Dikatakannya “ada cara baru menyampaikan opini. Tidak lewat kolom atau makalah. Tapi lewat puisi. Bukan puisi biasa, namun puisi panjang dengan drama dan catatan kaki”. Penyair sekutunya dihasut juga. “Hingga tahun 2016: sudah terbit sekitar 40 buku puisi esai. Penulisnya adalah penyair, kolomnis, jurnalis, dosen, peneliti,” tulis DJA.

Hal itu membuat DJA, seperti ditulisnya, ”Di tahun 2016, 2017 saya pertama kali diundang lembaga pemerintah sebagai sastrawan.” Baginya, ”Acara Munsi yang diselenggarakan badan bahasa cukup berkesan.” Bahkan kemudian, “di tengah jalan pagi yang rutin”, akunya, “entah dari mana, Jreeeng!!! Datang gagasan itu.” Yang dia maksudnya ialah gagasan merekayasa gerakan puisi dan angkatan puisi esai.

Dia lalu merumuskan “kisi kisi agar ini fenomenal. Dibuatlah empat patokan”: pertama, “ia harus kolosal. Tak boleh nanggung, seluruh provinsi dilibatkan. Indonesia punya 34 provinsi. Saya putuskan satu provinsi, satu buku, lima isu provinsi itu oleh lima penulis. Harus hadir serial 34 buku”; kedua, “program ini harus bangkitkan daerah. Jangan pusat menjadi determinator, tapi fasilitator saja. Isu yang ditulis harus dari provinsi itu sendiri. Para penulisnya, lahir atau tinggal di provinsi itu sendiri”; ketiga, “coraknya harus civil society”; keempat, “harus ada karakter yang sama dalam karya 170 puisi itu. Walau jumlahnya 34 buku, tetap perlu terasa benang merah. Walau diekspresikan 170 isu sosial, tetap terlihat nada dasarnya”.

Dari situ, yang diklaim DJA sebagai gerakan puisi esai dan angkatan puisi terang bukan seperti disebutnya “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Tetapi gerakan puisi terpimpin dan angkatan puisi terpimpin. Pemimpinnya siapa lagi jika bukan DJA. Kepemimpinannya bukan hanya karena gagasannya, namun terutama fulusnya. Ini memang tak pernah dikisahkan tulisan-tulisannya. Tapi sedikit saja kita berpikir akan kita temukan yang tidak pernah dikisahkan atau disembunyikan itu.

Sekitar empat puluh buku kumpulan puisi esai itu adalah buku-buku kumpulan teks yang para penulisnya diminta bukan saja dengan iming-iming teksnya akan diterbitkan dalam buku, tapi terutama honoraium yang diuar-uarkan jauh lebih besar daripada honorarium puisi yang umum di Indonesia. Buku-buku itu juga hasil lomba menulis puisi esai.

Ahmadun Yosi Herfanda melontar bocoran. Orang kepercayaan DJA tiba-tiba memintanya untuk menulis satu puisi esai dengan honorarium Rp 3.000.000. Ahmadun menolak. Tetapi orang itu mendesak dan terus mendesak dengan memkai fasilitas telepon genggam. Ahmadun pun nyeletuk menyanggupi tapi dengan syarat honorariumnya Rp 10.000.000. Celetukan Ahmadun ternyata ditanggapi DJA. Tawar menawarlah mereka. Ujungnya ajuan Ahmadun dikabulkan. Ahmadun menerima honorarium di atas honorarium puisi esai yang diterima para penulis lain sebelum kemudian dia mengembalikannya.

Begitulah cara buku-buku kumpulan puisi esai dengan puisi-puisi yang penulisannya atas permintaan pihak beruang. Begitu pula buku-buku kumpulan puisi esai dengan puisi-puisinya yang didapat melalui lomba. Tentu boleh saja membukukan puisi-puisi hasil lomba. Bahkan buku begitu bisa bagus, bisa berisi karya-karya bermutu. Tapi ini baru mungkin jika lomba puisi itu didasari oleh dan bertujuan mementingkan puisi, kriterianya berkualitas dan jelas, para jurinya kompeten dan berintegritas, serta penjuriannya objektif dan penjurian itu kemudian didedahkan dengan jujur kepada khalayak. Meski hadiahnya kecil secara ekonomi, lomba menulis puisi seperti itu sangat mungkin berhasil mengumpulkan puisi-puisi baru dan bermutu. Sebaliknya, jika lomba menulis puisi itu hanya mengandalkan pukau uang besar, teks-teks yang muncul kemungkinan besar yang ditulis nafsu beruang.

Buku-buku tentang puisi esai tidak berbeda. Baik yang tulisan-tulisannya diminta maupun hasil lomba yang disebut lomba menulis kritik puisi esai sama seperti buku-buku kumpulan puisi esai. Semua dibuat dengan uang besar dan berasal dari yang beruang.

Tentu itu pun boleh saja. Tak ada hukum yang melarang mengeluarkan uang besar untuk menerbitkan buku kritik sastra. Itu bahkan bisa menerbitkan kritik-kritik sastra yang merupakan buah pembacaan yang luas, dalam, dan peka. Kerja sama unsur-unsur karya sastra terungkap. Lapis demi lapis maknanya tersingkap. Pertaliannya dengan sejarah, agama, politik, ekonomi, dan lain-lain terdedahkan. Ragam-ragam bahasa sastra juga dihadapi bukan hanya sebagai sarana, tapi juga sasaran. Sosiolog dan marketing, misalnya, memperlakukan bahasa sekadar sarana untuk mencapai kepentingan mereka. Penyair menghadapi bahasa lebih dulu sebagai bahan mentah. Lebih dulu membersihkannya, mencucinya, memasaknya hingga benar-benar ia rasakan matang sudah. Dengannya, kemungkinan lenyaplah berbagai pernyakit yang menjangkiti bahasa. Kata-kata jadi sehat, lentur, dan berstamina prima hingga menarilah mereka. Menari bersama para pembaca menciptakan makna-makna yang melampaui kenyataan dan sekaligus mengubahnya.

Itulah yang dilupa DJA dan sekutu-sekutunya. Mereka mengimani sastra terdiri dari bentuk dan isi yang terpisah. Bentuk itu sekadar alat. Tugasnya seperti kuli memanggul dan menyampaikan isi yang didongkrak hingga jauh melambung bobotnya. Dan isi demikian bagi DJA adalah isu sosial yang benar-benar terjadi serta mesti diinformasikan. Maka, catatan-catatan kaki diwajibkan. Juga puisi mesti lebih dari 2.000 kata biar bisa mengungkap seperti cerpen, novel, atau film.

Jadilah sudah puisi esai. Jadi sebelum ditulis. Penulisnya seperti juru tulis yang didikte sang pemimpin. Pendikteannya pun ditegaskan dalam perjanjian kontrak yang tanpa klausul pembatalan kontrak. Proses ini memang memungkinkan puisi esai jadi proyek sesuai target. Tapi ini berarti menjadikan nalar instrumental sebagai jenderal.

Tubuh disekap. Panca indra dimatikan. Imajinasi dikebiri. Penemuan di jalan diharamkan. Spontanitas dan kewajaran pun jadi korban. Ini dianggap bukan masalah. Bahkan dihalalkan DJA demi menghadirkan berbagai isu sosial yang benar-benar terjadi di 34 provinsi, sehingga itu semua jadi potret batin Indonesia. Jamal D Rahman mengukuhkan DJA dengan dalih berbau puisi. Dia sengaja menafsirkan penamaan puisi pamflet untuk puisi-puisi Rendra yang dikumpulkan dalam buku Potret Pembangunan sebagai kesediaan Rendra mengorbankan estetika demi mengartikulasikan komitmen sosialnya.

Tapi Rendra memang kuat komitmen sosialnya. Dan yang dilakukanmua adalah memilih cara pengucapan yang berbeda dengan pengucapan kebanyakan puisi-puisi dia sebelumnya. Pemilihan ini pemenuhan tuntutan yang menyeruak dari dalam dirinya, bukan didesakkan pihak yang membayar. Wajar jika kebanyakan puisi dalam Potret Pembangunan itu tetap terasa padu, segar, dan penuh daya. Sementara puisi-puisi esai, seperti yang ditulis DJA, adalah teks-teks penuh ungkapan klise, retak-retak, mengangkat masalah sudah lumrah, dan dengan sudut pandang yang pula lumrah sudah. Walhasil apa yang diuar-uarkan puisi esai itu jadi sebagai bentangan tandus gurun pasir.

Itulah buah dari gerakan puisi terpimpin. Teks begitu mana bisa memperkaya dan memberdayakan puisi. Bisa jadi malah memiskinkan dan menghisap daya puisi. Ini sebetulnya bisa dihindari jika DJA tidak besar kepala dan tertutup, tapi rendah hati dan terbuka sehingga sedia untuk membaca perjalanan sastra Indonesia dari mula ada hingga kini dengan telik, jernih, dan peka. Jika ini dia lakukan, dia akan beruntung berguru kepada Gerakan Puisi mBeling misalnya.

Gerakan yang protagonisnya Jeihan Sukmantoro, Remy Silado, dan Sanento Yuliman ini bermula di Bandung, pada awal 1970-an. Jeihan dan Sanento memang tak seperti Remy. Remy dikenal publik sebagai sastrawan. Jeihan dan Sanento lebih sohor dan dihormati di seni rupa. Selain mengajar di Seni Rupa ITB, Sanento seorang kritikus seni rupa berwibawa. Jeihan sohor sebagai pelukis sosok manusia dengan mata berlubang. Juga sebagai sang pemula dalam melambungkan harga lukisan. Ini bukan saja menjadikannya pelukis kaya, tetapi juga sedikit banyak menjadikan dunia seni rupa berkembang dan dihuni banyak pelukis makmur. Namun, kenyataannya keduanya pun para penyair tangguh.

Bisa saja, memang, Jeihan dan Sanento disebut penyair tak produktif. Mereka memang tak menulis ratusan puisi. Sampai akhir hayatnya bahkan Sanento tidak menerbitkan satu pun kumpulan puisi tunggal. Tapi ukuran kepenyairan bukan sedikit banyak puisi yang ditulis dan ada atau tidak ada kumpulan puisi tunggal. Ukurannya ialah kualitas puisi. Dan, untuk saya, puisi-puisi Sanento hampir semua berkualitas. Terlebih yang bertajuk Laut. Jeihan pun demikian. Puisi-puisinya, sebagaimana puisi-puisi berkualitas, menembus timbunan almanak. Dan banyak puisinya tak tergantikan karena kekuatan visualnya. Jeihan malah juga seorang penggerak sastra yang penuh mau dan tulus.

Rumah Jeihan di Gang Mesjid, Cicadas, Bandung, adalah tempat mangkal mereka yang sebagiannya kemudian jadi sastrawan ternama, seperti Wing Kardjo, Abdul Hadi W.M., Sutardji Calzoum Bachri, Hamsad Rangkuti, Ikranagara, dan W.S.Rendra. Di situ, mereka bukan saja bercanda, membaca, dan berdebat, tapi pun sering menginap sampai berhari-hari dan menulis karya sastra dengan kebutuhan sehari-hari dipenuhi Jeihan yang ketika itu kehidupan ekonominya masih kembang kempis. Di situ, lahir juga serangkaian debat perihal kondisi Indonesia dan perpusian Indonesia.

Rangkaian debat itu sama sekali tidak direncanakan. Terlebih dipersiapkan dengan dana puluhan atau ratusan juta rupiah. Debat demi debat terjadi begitu saja. Buahnya mencengangkan dan mengguncangkan. Buahnya bukan saja rumah Jeihan saat itu terhitung umum disebut sebagai Pusat Kebudayaan Bandung, tetapi juga sesuatu yang baru dan bermutu.

Indonesia tahun 1970-an memang sebuah tanah air yang subur bagi kreativitas. Orde Baru belum digerogoti paranoia. Kebebasan berekspresi masih punya ruang yang lapang. Misalnya, Taman Ismail Marzuki merupakan ruang yang terbuka bagi berbagai eksperimen berbagai jenis seni. Teater dan tari tak menyia-nyiakannya. Sastra juga begitu. Pentas sastra dan diskusi sastra berkualitas kerap benar diadakan. Ini selaras dan menguatkan temuan-temuan pencarian yang dilakukan para penulis di Horison, majalah sastra yang saat itu merupakan ruang pergulatan rupa-rupa gagasan.

Namun, ketika itu, Orde Baru juga tengah sibuk membangun. Aliran deras utang luar negeri terutama dipakai untuk membangun industri-industri besar. Birokrasi dibentuk untuk memuluskannya. Bahasa juga begitu. Pembentukan bahasa Indonesia hingga jadi intrumen industrialisasi kapitalistik dilakukan dengan terstruktur, sisitematis, dan masif. Akibatnya, bahasa Indonesia mengalami pemiskinan, makin jadi bahasa teknis yang kaku dan kering.

Pada saat bersamaan, gairah berkesenian makin meluap. Berbagai eksperimen dalam berbagai jenis seni makin marak. Militansi berkesenian modern pun menguat. Tak sedikit seniman berikrar senilah agamanya. Dan berkesenian terkesan ekslusif. Seni terkesan sebagai ruang segelintir orang terpilih. Mereka tampak sebegitu menggebu memburu yang mereka idealkan belaka.

Para penyair dipandang banyak kalangan bukan kekecualian. Kebanyakan mereka memburu puisi yang melampaui karya para pendahulunya. Puisi lirik jadi puisi dominan. Puisi jenis lain tak jarang diperlakukan tak sepatutnya. Daya puisi mengartikulasikan pluralitas dan kompleksitas pun seperti pohon meranggas.

Itulah lebih kurang yang mendorong Jeihan, Remy, Sanento, Abdul Hadi W.M. dan lain-lain menulis puisi-puisi yang kemudian dinamai pusi mBeling. Penamaan Gerakan Puisi mBeling baru dilakukan di Aktuil, majalah tempat Jeihan, Remy, dan Abdul Hadi bekerja.

Penulisan puisi mbeling tersebut tanpa dibayar jutaan rupiah. Dan tidak ada penerbitan serempak puluhan buku puisi mBeling. Tapi puisi mBeling yang memandang puisi sebagai permainan yang menghargai pluralitas dan kompleksitas ternyata selaras dengan cita-rasa beragam kalangan.

Sambutan terhadapnya di luar dugaan. Yang menulisnya bukan saja mereka yang biasa mangkal di rumah Jeihan, tapi pun mereka yang sebagiannya kemudian jadi sastrawan ternama seperti Yudhistira M. Masardi, Noorca M. Masardi, F. Rahardi, dan Seno Gumira Ajidarma. Media massa yang memuatnya pun kemudian bukan saja Aktuil dan Mahasiswa Indonesia, tapi juga, seperti yang antara lain dicatat Sudjarwo (1979), di majalah Astaga, Stop, Top, Midi, Yunior, Gadis, dan Semangat (Yogyakarta). Puisi mBeling juga bermunculan di ruang-ruang kebudayaan surat kabar seperti antara lain Waspada (Medan), Eksponen (Yogyakarta), Pelita (Jakarta), dan Suara Karya (Jakarta).

Teranglah berarti puisi mBeling menyebar luas di Indonesia. Bahkan puisi mbeling tak berlebih bila disebut membentuk banyak tradisi kepenyairan. Tradisi kepenyairan Yudistira, Noorca, F. Rahardi, dan Seno, misalnya, terang menunjukkan terpengaruh kuat puisi mbeling. Maka, bila ditelisik dengan telik, pastilah sudah terbit ratusan buku kumpulan puisi mBeling. Pasti pula tak ada satu pun dari ratusan buku itu yang penerbitannya didanai oleh para pelopor gerakan puisi mbeling.

Hal itu tak mengherankan. Huizinga menulis bahwa manusia adalah mahluk bermain. Dan dia tak melihat main-main berseberangan dengan sungguh-sungguh. Main-main dan sungguh-sungguh malah berkelindan. Sepakbola misalnya. Ini jelas permainan. Tetapi sepakbola berlangsung dengan aturan. Para pemainnya pun bukan saja mengacu pada aturan, mengerahkan tenaga, rasa, pikir, dan imajinasi, tapi juga berlatih dengan disiplin serta merawat kesehatan fisik dan fsikis. Ini berarti dalam sepakbola ada keseriusan. Begitu halnya dengan pengadilan. Ini keruan serius.

Tapi para hakim di situ memakai jubah, toga, dan ketuanya dilengkapi dengan palu. Mereka bagai para pemeran permainan sandiwara. Maka di situ, di kegiatan yang serius itu, jelas ada permainan. Jelas juga jadinya main-main dan serius itu setara. Pun jelas bahwa penyair itu bukan bebek atau beo, tapi sama seperti Huizinga: Manusia.

Maka, sangat wajar jika sangat banyak yang suka cita menulis puisi mBeling. Sangat wajar juga jika puisi-puisi mBeling sangat beragam dan sangat banyak yang mencipta makna bersama pembaca dengan cara khas serta mengejutkan. Misalnya, ”Doa”, puisi mbeling karya Jeihan Puisi “Doa” tahun 1970.

doaPuisi begitu bukan saja belum pernah ada dalam sastra Indonesia, tapi pun mengeksplisitkan ruang batin penyair saat berdoa dengan cara yang unik, mengejutkan, dan terbuka terhadap berbagai kemungkinan tafsir. Keterbukaannya terhadap berbagai kemungkinan tafsir berarti Doa merupakan jenis teks yang oleh Roland Barthes disebut teks produktif, teks yang menghormati dan mendorong pembaca mengerahkan daya kreatifnya untuk mencipta makna. Pembaca tidak diposisikan sebagai ember penampung segala yang dianggap penting oleh penyair.

Masih banyak tentu segi-segi seksi puisi mbeling dan gerakan puisi mbeling. Tapi itu saja, hemat saya, sudah cukup memperlihatkan perbedaan gerakan puisi mbeling dan gerakan puisi esai. Juga sudah cukup alasan buat DJA dan sekutunya untuk terjun menyelaminya dengan hati penyelam mutiara, bukan dengan hasrat saudagar atau politikus yang tidak suci hatinya.***

*) Ketua Institut Nalar Jatinangor

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here