SENI.co.id – Kelompok Mainteater Bandung akan mementaskan pertunjukan monolog teater Tan Malaka “SAYA RUSA BERBULU MERAH” karya Ahda Imran. Seperti kita tahu sosok misterius Tan Malaka dalam sejarah pergerakan dan revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949) nama Tan Malaka adalah sebuah narasi ihwal revolusi yang menyimpan banyak ruang gelap dan tragik; ketika revolusi harus memakan anaknya sendiri.
Pertunjukan monolog disutradarai oleh Wawan Sofwan, dimainkan oleh Joind Bayuwinanda dan Iskandar Loedin sebagai penata artistiknya.
Pertunjukan akan berlangsung pada 23 & 24 Maret 2016 di IFI Bandung, Jalan Purnawarman no. 32 Bandung.
Dalam rilisnya panitia menyampaikan sebuah sinopsis yang tidak ada salahnya sebagai pengantar Anda dalam menonton ini silakan menyimaknya sinopsisnya:
Tan Malaka, Revolusi, Kesepian
Maret 1946, di tengah panasnya revolusi, Tan Malaka ditangkap di Madiun lalu dijebloskan ke penjara. Di bawah pemerintahan PM Amir Syarifudin ketika itu, pemerintah Republik menuduh Tan Malaka, bersama Persatuan Perjuangan yang didirikannya, telah bersikap oposisi serta merongrong jalannya revolusi; mengganggu politik diplomasi yang dijalankan Republik dan menimbulkan ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah. Bersama Tan Malaka ditangkap pula sejumlah tokoh Persatuan Perjuangan.
Ternyata tak hanya sekadar itu. Setelah PM Amir Syarifudin jatuh dan pemerintahan Republik digantikan oleh kabinet pimpinan PM Sjahrir, meski ketika itu ia telah dalam penjara Republik, Tan Malaka pun dituduh terlibat dalam penculikan Sjahrir demi menggulingkan pemerintah yang sah. Uniknya, semua tuduhan terhadap Tan Malaka tidaklah pernah disampaikan dalam suatu pengadilan. Bahkan hingga pemerintah membebaskannya dua setengah tahun kemudian, Tan Malaka tak pernah diadili. Sebelum kemudian pada 1949, di Kediri, Jawa Timur, kaki Gunung Wilis, sekelompok tentara mengadili Tan Malaka. Ia ditembak mati.
Apa sebenarnya yang terjadi di balik penangkapan Tan Malaka? Apa sebenarnya yang terjadi di balik kematian Tan Malaka? Siapa yang memerintah penangkapannya, dan siapa pula yang berada di belakang penembakan Tan Malaka, atau mengapa ia harus dilenyapkan?
Ada banyak pertanyaan tentang Tan Malaka, sebanyak pertanyaan tentang berbagai peristiwa yang terjadi selama Revolusi Kemerdekaan (1945-1949). Dan sebagaimana tabiatnya, revolusi kerap tak pernah menyediakan jawaban apa pun, seakan pertanyaan-pertanyaan itu jauh lebih penting ketimbang jawabannya. Demikian pula dengan Tan Malaka sebagai sebuah narasi yang tak bisa dipisahkan dari narasi pergerakan kemerdekaan Indonesia—sejak periode 1920-an hingga Revolusi Kemerdekaan.
Seperti lumrahnya revolusi, Revolusi Kemerdekaan Indonesia juga adalah sebuah panggung drama. Di dalamnya berbagai sosok—dengan kecenderungan ideologi mereka—tampil mengambil dan memainkan perannya. Sejak kemunculannya kembali di rumah Dr. Soebadyo di Jakarta, sepekan setelah proklamasi, Tan Malaka bukan hanya tengah mulai mengambil perannya. Seperti juga Soekarno, Hatta, Sjarir, kehadiran Tan Malaka ke tengah kancah revolusi merupakan fase selanjutnya dari perjuangan ide-ide politiknya.
Meski sejak 1920-an mustahil dipisahkan dari Marxisme, namun ide-ide Politik Tan Malaka ihwal kemerdekaan dan nasionalisme akan menjadi terlalu kecil bila hendak dibatasi pada idelogi tertentu. Alih-alih menelan begitu saja suatu paham idelogi, ide-ide politiknya merupakan interpretasi yang kerap berselisih jalan dengan garis politik yang dianut kebanyakan orang. Pidatonya dalam Sidang Komintern di Moskow 1921, penentangannya terhadap rencana pemberontakan PKI 1926, penolakannya pada politik diplomasi yang dijalankan pemerintah Republik dalam revolusi demi apa yang disebutnya sebagai “Kemerdekaan 100%” ; menjelaskan Tan Malaka memilih jalan perjuangannya sendiri yang keras kepala.
Akibatnya, seperti disebut banyak sejarawan, Tan Malaka adalah seorang revolusiner yang kesepian. Bahkan sejak masa kolonialisme ia telah berada dalam situasi tersebut. Seorang kesepian sekaligus pelarian yang terus diburu oleh pemerintah kolonialis di berbagai negara Asia. Termasuk kebencian yang dialamatkan padanya oleh partai komunis, yang memandangnya sebagai pengkhianat dan Troskys. Termasuk manakala kesepian itu mesti ditemukannya dalam penjara Republik. Penjara yang menuduhnya tanpa pengadilan, di sebuah negara yang berpuluh tahun kemerdekaannya ia perjuangkan.
Dan puncak Tan Malaka sebagai drama revolusi, terjadi ketika ia “dilenyapkan”, ditembak mati oleh tentara Republik. Kematian yang melengkapi kesepiannya. Kematian yang melengkapi betapa panjangnya lorong-lorong gelap dalam revolusi. (rls/SENI.co.id)