Home AGENDA Catatan dari JUNE ART FESTIVAL 2024, EMBIE C. NOER ORASI BUDAYA YANG...

Catatan dari JUNE ART FESTIVAL 2024, EMBIE C. NOER ORASI BUDAYA YANG SUBLIME

0
Embie C Noer tampil di JUNE ART FESTIVAL 2024/AM

Loading

MASIHKAH R A S A DIBUTUHKAN

Rasa-rasanya – rasa masih dibutuhkan. Buktinya, kegiatan berkesenian yang terus semakin marak. Di setiap kota besar hampir bisa dipastikan pasti ada galeri seni. Di mana-mana berdiri gedung kesenian, pusat kesenian, dewan kesenian, sanggar kesenian, padepokan kesenian, komunitas kesenian, sekolah kejuruan seni, perguruan tinggi seni, kursus seni, pelatihan seni, kompetisi seni, festival seni. Saat ini Indonesia sudah memiliki beberapa perguruan tinggi seni.
Untuk karya seni, beragam bentuk karya seni terus dibuat para seniman; dari mulai karya yang bercorak purba sampai karya seni paling mutakhir. Seni klasik ada, pop melimpah, tradisi merata hampir di setiap propinsi. Karya seni kontemporer, eksperimental, seni spiritual, karya seni yang dimanfaatkan sebagai terapi juga bukan hal aneh. Teori tentang kesenian terus tumbuh. Pakar, sarjana, doktor, profesor, empu bidang kesenian banyak.
Cara publik pencinta kesenian menikmati karya kesenian pun kini banyak ragam caranya, termasuk cara menikmati karya kesenian yang canggih, kesenian yang menggunakan sarana teknologi baik pada saat proses kreatif dan pada cara untuk menyajikannya. Kesenian adalah karya kreasi ciptaan manusia, yang dibuat oleh seniman untuk dinikmati melalui indera perasa.
Dari sebuah karya kesenian publik penikmat dapat melihat dan mendengarkan lalu merasakan pesona kreasi seniman yang menggetarkan hati sanubari. Merangsang pikiran dan menumbuhkan daya imajinasi, inspirasi bahkan tak sedikit karya kesenian yang mampu menjadi pendorong semangat dan gairah hidup penikmatnya.
Dengan semakin tumbuh suburnya produktivitas karya kesenian, tumbuh subur pula berbagai corak kegiatan, dan berbagai bentuk usaha di bidang budaya kesenian. Kesenian sudah menjadi kebutuhan hidup sehari-hari. Saat ini bisa dikatakan hampir tidak mungkin hidup tenang tanpa bersentuhan dengan karya kesenian – terlebih di era serba internet serba medsos dan serba digital.
Digitalisasi dan otomatisasi merambah dunia kesenian, membuat produktivitas karya kesenian meledak jumlahnya disebabkan oleh daya kreasi yang semakin terampil dan daya sebarnya yang semakin luas menjangkau penikmatnya jauh melampaui batas hanya di sekitar kampung halaman, bahkan batas negara pun telah dilampaui. Kesenian kini mengglobal. Budaya Kesenian membanjir ke setiap pelosok.
Di mana saja asalkan di temoat itu ada sinyal komunikasi digital, kesenian datang menjelang. Inilah kesenian global. Sekalipun kesenian canggih mengglobal tetap saja kesenian masih dikerjakan seorang seniman. Dikarenakan permintaan pasar yang terus meningkat, maka produksi kesenian digenjot.
Kesenian pun lalu menjadi bagian dari sistem perekonomian. Industri kesenian terus berkembang pesat, beberapa usaha di bidang kesenian telah mampu mencapai sukses secara ekonomi dengan nilai keuntungan yang fantastis. Pesatnya pertumbuhan yang didorong keuntungan nilai ekonomi menginspirasi para kreator untuk melakukan berbagai modernisasi. Industri kesenian dengan cepat mempengaruhi secara signifikan ekspresi dan substansi karya kesenian, bahkan secara esensial. Kesenian yang semula berfungsi sebagai percakapan batin, saat ini prosentasi nilai kebatinannya terus semakin kecil.
Eksistensi kesenian, khususnya kesenian yang bersifat eksklusif beralih fungsi, kesenian sebagai investasi, kesenian sebagai simbol status sosial, kesenian sebagai alat pencucian uang, 3 kesenian untuk menjalin kekerabatan politik dan sebagainya dan seterusnya. Kesenian yang berupa produk masal juga laris manis, terus diproduksi karena semakin digemari.
Kesenian dalam strata ini dipersepsi publik penggemarnya sebagai sarana penetralisir rasa lelah setelah seharian bekerja. Karena tingginya kebutuhan untuk menikmati kesenian maka menikmati kesenian bagi masyarakat umum kini telah menjadi sejenis pekerjaan baru; pekerjaan menikmati kesenian dengan berbayar. Kesenian sebagai gaya hidup; untuk mensugesti diri dalam mimpi harian menjadi seorang pangeran ganteng kaya raya atau ‘cinderella’. Dua pola dan gaya budaya kesenian terbentuk; kesenian yang mahal elitis eksklusif, dan kesenian yang murah meriah, instan, dan bertubi-tubi.
Apresiasi karya seni yang awalnya bersifat ritus perenungan penjelajahan kedalaman imajinasi, menjadi bersifat kegiatan yang bersifat refleks, rasional, pragmatis, prestise. Oleh kebutuhan pasar, kesenian dikoreksi direkayasa dimensi dan durasinya. Perlahan tapi pasti dimensi kedalaman pada kesenian yang terus diotak-atik oleh publik sudah dianggap biasa biasa saja, bahkan karya yang tidak berulah dianggap kedaluwarsa dan ditinggalkan. Publik luas semakin terbiasa menikmati kesenian dengan dimensi baru yaitu kandungan berupa dimensi kecepatan dan kekuatan (speed and power).
Kesenian akhirnya menjadi semakin panas sekaligus dingin, dan beku. Sinar kreativitas dan keindahan yang dipancarkan kesenian pancarannya semakin tajam tapi durasinya hanya sekilas, dan sekalipun sekilas tapi menguras segalanya. Ketajaman kesenian yang diasah di ruang budaya ekonomi tak lagi meladeni tuntutan jaman ketika dari sekian karya kesenian akan lahir karya yangabadi. Kesenian dinilai abadi hanya jika telah dikonfirmasi dan dinyatakan eksitensinya sebagai karya kesenian memiliki potensi nilai investasi yang bagus, diukur dari nilai tukarnya pada likwiditas pada rentang waktu jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
Budaya global yang didominasi ekonomi kuantitatif dengan buas melipatgandakan produktivitas. Kerakusannya terus mengikis mengiris tipis tipis nilai ketulusan kejujuran, kemurnian rasa pada kesenian, yang lalu menambalnya dengan rasionalitas pragmatis berbentuk label label khasiat khasiat yang dinarasikan sebagai yang lebih nyata, lebih kongkrit. Lalu kesenian yang indah dimaknai sebagai kesenian yang berkhasiat nyata yang dapat dibuktikan dalam bentuk – terutama, berkorelasi dengan jumlah target capaian kekayaan yang jumlahnya dapat menjamin keberlimpahan materi, untuk bekal hidup yang tak habis sampai tujuh turunan. Maka akhirnya tibalah saat para seniman saling berebut, saling sikut, saling sikat. Silat lidah mulut melompat ludahnya muncrat membasahi wajah ibu pertiwi. Pada kondisi tragis ini pasti rasa tetap masih ada.
Rasa yang ada rasa secara rasional. Nasionalisasi rasa rasional. Rasa bahagia, menderita, sedih, gembira, tenteram, takut, bangga, malu, muncul di pergaulan sosial dengan wajah baru; tubuh berjiwa dengan rasa rasional. Inilah jaman ‘Kalabendu’ yang tengah memasuki era tinggal landas. Panggung dipenuhi orang yang bicara dengan beragam bahasa tentang kesenian merakyat, dan rakyat kesenian. Bicara lantang menggunakan semua mulutnya. Mulut bagian atas dan mulut mulut bagian bawah semua rampak berbunyi sumbang tanpa harmoni saling mendistorsi. Rasa rasional adalah rasa artifisial, rasa 5 yang kering kerontang, rasa yang dengan kecerdasannya sangat tega membiarkan kebingungan kebudayaan terus terjadi.
Tak lagi ada yang pasti yakin, mana yang baik mana yang buruk, mana siang mana malam, mana yang jahat mana sehat, mana tuhan mana hantu. Jika tidak segera dilakukan penyadaran, kebingungan kebudayaan akan menyebabkan setiap bidang budaya gaduh panik saling berdesakan berebut bansos dalam pasar bebas. Memperdagangkan apa saja yang bisa dijual.
Kesenian diperdagangkan diobral. Agama diperdagangkan diobral. Hukum diperdagangkan diobral. Politik diperdagangkan diobral. Pendidikan diperdagangkan diobral. Adat istiadat diperdagangkan diobral. Martabat dan harga diri diperdagangkan diobral. Kebudayaan transaksional. Jaman kembali seperti jaman ketika manusia saling memangsa. Kehidupan semakin soliter.
Sebagai bangsa yang menang melawan penjajahan dan berhasil membuahkan konsep gagasan budaya persatuan melahirkan bahasa persatuan yang adalah ruh kebudayaan bangsa. Sebagai bangsa yang telah berhasil memproklamasikan kemerdekaan politik.
Sebagai bangsa yang turut menyuarakan kebangkitan semangat pembangunan dan terbukti mampu menjadi bangsa yang berkemajuan dan dihormati bangsa bangsa di dunia. Keadaan kini tengah kembali merosot, menyeret hampir semua modal sosial hasil dari tabungan perjuangan seluruh rakyat. Kebodohan yang sombong telah menjerumuskan kebudayaan bangsa terancam masuk ke dalam kubangan kebudayaan yang malukan, yang dampaknya akan menyengsarakan generasi yang akan datang.
Ternyata ada yang luput dari penglihatan bangsa Indonesia, yang lupt lalu lolos dari penjagaan, yaitu menjaga sesuatu yang sesungguhnya sangat mudah dan sederhana, budaya rasa agar tidak 6 gelap mata, tidak gegabah mudah pindah keyakinan pada budaya yang menyilaukan, yang mengajarkan bahwa semakin banyak memiliki harta maka kepastian kebahagiaan semakin nyata. Ajaran yang menyatakan setiap kemiskinan harus dilawan dan hanya bisa dilawan dengan meniadakan tuhan. Keyakinan pada segalanya harus semakin keras karena semakin keras akan menjadikan semuanya semakin jelas – Padahal keras bukanlah jelas. Semua itu adalah budaya sosial yang cabul dan anti kemaluan, tak boleh dibiarkan terus menggerogoti karenanya kebingunan kebudayaan harus segera dihentikan sekarang juga. Kembalikan rasa pada harmoni alam.
Kembalikan kepala sebagai kepala. Dada sebagai dada. Tangan sebagai tangan. Lambung sebagai lambung. Kaki sebagai kaki. Kembalikan semua ciptaan tuhan pada derajat fungsinya. Tak ada yang lebih hebat tak ada yang lebih rendah. Jika semuanya bekerja dengan panduan kemrunian rasa, tak perlu semuanya berlomba ingin menjadi kepala. Tak perlu kepala ingin dijadikan kaki. Lambung bukan kepala. Kaki bukan tangan dan tangan tak berguna jika tanpa dada dan kepala – juga sama, dada dan kepala tak ada artinya tanpa kaki dan tanpa tangan yang bersemangat dan rajin bekerja. Kembalikan Indonesia pada kemurnian rasa yang menggerakan rakyat, yang menghasilkan para pemimpin yang cerdas berselera, melahirkan para pejuang tangguh yang tak takut hidup dan berani mati demi terwujudnya cita cita kebudayaan yang bermartabat dan luhur.
Bangsa Indonesia telah berhasil bersatu, berhasil membangun budaya dengan politik sebagai panglimanya, kemudian dilanjutkan membangun percepatan budaya moderen dengan ekonomi sebagai panglimanya. Sungguh tragis – saat ini, di era reformasi yang 7 sangat dibanggakan, perekonomian kita yang terlihat mengkilat hebat dan kuat sesungguhnya kondisinya justru sedang menjadi bangsa yang bangga melaksanakan penjajah – sesuatu yang dilakukan dengan bangga tapi ganas dan jahat memporak-porandakan seluruh sendi kehidupan budaya bangsa. Jika kita bersatu sudah, berpolitik sudah.
Pembangunan ekonomi terus gencar dilakukan di mana-mana. Mengapa yang terjadi semuanya malah terus porak-poranda. Semua karena rasa. Bangsa Indonesia kehilangan budaya rasanya, rasa yang mampu menopang seluruh gerak keluhuran budayanya. Yang terutama dibutuhkan budaya politik dan ekonomi untuk menjadi landasannya.
Bangsa Indonesia membutuhkan Budaya Seni. Seni yang dimaknai sebagai hidup, bekerja, dengan kesadaran tinggi, kompetensi tinggi, ketepatan tinggi. Untuk menanamkan budaya seni kedalam jiwa bangsa, tak ada sarana yang lebih ampuh dari Kesenian. Ini tugas Budaya Kesenian, budaya yang selain hidup bekerja dengan kesadaran tinggi, kompetensi tinggi, ketepatan tinggi, kesenian memiliki dua kompetensi dasarnya yang dahsyat, yaitu: Kreativitas dan Keindahan. Tak lama lagi bangsa Indonesia memiliki Presiden dan Wakil Presiden baru. Gubernur, Wali Kota, dan Bupati baru.
Mari kita wujudkan semuanya untuk dan dengan tujuan membangun kemurnian rasa. Rasa yang murni karena pamrihnya yang wajar tanpa kabut gelap tipu daya. Yang semangatnya cerdas tapi tak jumawa. Rasa yang tenang, jelas, konsisten, dan komitmen menjaga esensi citacita bangsa, jernih memilih substansi, dan tidak sibuk mencari efek hanya demi mengejar eksistensi. 8 Akhirnya, sangat perlu saat ini merenung bersama-sama… Bagaikan Malaikat, air diutus Tuhan agar hidup bahagia Maka hujan menjadi sungai menuju laut memisahkan daratan Jasad renik dan pohon purba menari menanti manusia Lalu Adam bersama Hawa muncul di dada lewat kepala Sorga dosa bumi adalah perjalanan kembali ke suci Benua kini dipenuhi bendera berkibar-kibar Semua berkoar-koar,”Inilah Tanah Air Tercinta!” Mengaku cinta tanah tapi kalah cintanya oleh cacing Yang sejak lama tak pernah lelah memberi tanah makna Merasa memiliki cinta pada air tapi tak mampu menjaga Agar sumur tak tercemar percikan darah airmata dosa Bahkan hujan pun kadang diusir dan dipaksa ada Tunas yang kita punya butuh bumi berudara cinta Bukan muntah hitam dari cerobong asap mesin dusta Bukan gemuruh bising deru roda pembinasa Bukan senyap kuburan tua tanpa sanak keluarga Tunas yang kita punya butuh bumi beraroma sorga Alirkan air kehidupan yang jernih tanpa kepalsuan Dendam masa silam dan bius kebanggaan keturunan Sungai darah dari sumur amarah
Menguapkan aroma iblis kegelisahan Dalam ruang sempit berdinding granit Manusia disekap kesombongannya sendiri Tapi ludahnya masih saja lantang berkata “Gelap hilang terang menjelang!” Padahal cahaya matahari hampir punah Digerus untuk menerangi pesta di kota-kota 9 Aku malu pada singa yang kerebut buasnya Aku malu pada buaya yang kumakan bangkainya Aku malu pada kobra yang kuhisap racunnya Aku malu pada kuman yang kusadap taktiknya
Telah kurampas keseimbangan jiwa di bumi Niatku kini kembali menyiangi tanah retak Mengisi sungai, pantai, air sumur nan sejuk Agar tunas negeri tumbuh subur berseri Lalu kita mengembara lagi dalam impian suci***
Jakarta, 19 Juni 2024
Embi C Noer

 

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here