Home Bahasa Tanwujud

Tanwujud

0
Taufan S. Chandranegara/seni

Cerpen oleh: Taufan S. Chandranegara *)

“Kalau dibiarkan lama kelamaan hatimu akan terendam dendam. Lantas menjadi kawah magma berefek panjang, berpotensi penyakit akut skala luas, penasaran, acap kali api iblis menyala di kepalamu, kau gelisah, tak karuan seperti kerbau pandir di cocok hidungnya.”
“Dasar Katrol. Kau sahabatku, kasih aku solusi lah, jangan cuma bisa ngomel. Kau pikir dirimu makhluk suci?”
“Namamu Kubal kan, itu sebabnya pula kau tak percaya pada otak baikmu, tak percaya pada perbuatan baik sekitarmu, lama kelamaan rongga batok kepalamu berisi ular berbisa ganda. Paham?”
Perdebatan dua sahabat itu berhenti di angkasa dalam waktu lama, tanpa batas pula,
bahkan mungkin sirna digulung waktu peradaban. Perdebatan dua sosok sahabat itu tampaknya kurang nalar kreatif, selalu berkisar antara bara-api, tak pernah membahas embun atau pemandangan indah pegunungan, apalagi keindahan pantai
dari lautan biru sebuah negeri indah nian nun jauh di sana.
Meski kelihatannya, mereka berusaha beralih ketopik lainnya, akan tetapi tak pernah berhasil, laiknya bumerang menghantam kening mereka sekeras-kerasnya. Lantas terpental berputar lagi, kembali ketopik semula, bara-api.
Keduanya tak habis mengerti. Mengapa mereka tak mampu menggeser topik perbincangan, selalu kembali seputar itu lagi, bara-api atau sebaliknya.
Akhirnya mereka berani nekat, serentak menembak kepala masing-masing. Tak berapa detik kemudian, Katrol, melihat sosok Kubal, sahabatnya sedang meraung-raung menangis di sisi sosok terbujur, mungkin telah tak bernyawa.
“Loh, mengapa si pandir Kubal, menangis di sisi tubuhku? Loh, mengapa tubuhku tanpa kepala. Kemana perginya kepalaku?”
Katrol, sekarang melihat kelakuan Kubal, dengan jelas. “Jadi si pandir Kubal, barusan tak
menembak kepalanya. Hanya berpura-pura. Itu artinya, sekarang aku sudah mati, melihat tubuhku tanpa kepala. Sialan, dia, menangis pula di dekat jasadku meraung-raung seperti kesetanan, seolah-olah penuh penyesalan, apa iya, dia, menyesal?
“Katrol, mencoba lagi berteriak sekeras-kerasnya, di telinga Kubal” Dasar kepinding, tetap
kepinding!" Berkali-kali Katrol, berteriak di dekat telinganya. Tak jua Kubal, mendengar. “Oh!” Dasar kepinding tak punya telinga kau rupanya.”
Katrol, semakin jelas mendengar suara Kubal. “Maafkan aku Katrol. Oh! Sahabatku. Aku tadi menggunakan pistol plastik. Maksudku tak sungguh-sungguh. Kenapa kau benar-benar menembak kepalamu dengan pistol asli. Oh! Hoho. Kau memang sialan. selalu saja mengalahkan aku dalam segala hal. Matipun kau tetap jadi pemenang, Katrol karibku hoho.. Sedu sedan Kubal, mengiris jiwa, meluas keangkasa.
Katrol, makin dongkol berteriak lagi kuat-kuat. "Kubal! Kau atau aku si pandir itu. Hahaha kau lah Kubal, si pandir itu. Matipun kau takut menghadapinya. Apa pun perbuatanmu di masa
hidupmu, kelak sekalipun. Haacch! Aku akan menghantui sepanjang hidupmu.
“Tetiba terjadi ledakan dahsyat berapi-api “Blarr!” Katrol tak melihat lagi sosok Kubal juga jasad dirinya, tadi bersisian dengan Kubal sedang menangis meraung-raung. Raib! Katrol pun gemetar hebat. Katrol, serta-merta tersedot angin panas. Raib pula.
Banten, Tangsel Indonesia, Februari 3, 2022.
*)praktisi seni.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here