Home Bahasa Jarak Antara Puisi Pamflet Rendra dan Deklamasi Dompet Butet

Jarak Antara Puisi Pamflet Rendra dan Deklamasi Dompet Butet

0
Rendra dan Butet | IST
Rendra dan Butet | IST
Aku tulis pamflet ini
karena pamflet bukan tabu bagi penyair
(Aku Tulis Pamflet Ini, Rendra)

Puisi di atas bisa jadi merupakan kredo sastrawan WS Rendra mengenai puisi pamflet (politis) yang kerap ditulisnya. Melalui puisi yang diberi judul “Aku Tulis Pamflet Ini” Si Burung Merak menegaskan bahwa penyair tidak diharamkan bahkan semestinya menulis puisi yang berbau politik untuk kepentingan rakyat dan bangsa.

WS Rendra menegaskan bahwa penyair juga bisa – atau bahkan harus – menulis pamflet, yaitu sebuah selebaran berisi kata-kata atau gambar tertentu yang erat kaitannya dengan aktivitas politik. Melalui penyataan “karena pamflet bukan tabu bagi penyair”, di atas, puisi pamflet Rendra tersebut mengemukakan apa yang selama ini dilupakan penguasa.

Sejarah mencatat, bagaimana Rendra sang penyair, turun ke kawasan akar rumput, kompleks kumuh, gang-gang, selokan, dan kolong jembatan, untuk menyuarakan apa yang pada waktu itu dihilangkan dalam program-program yang disebut penguasa sebagai pembangunan versi mereka.

Rendra berbaur dengan rakyat jelata, nongkrong di warung kopi, bertanya banyak hal hingga menyentuh permasalahan mendasar yang menghalangi harapan rakyat yaitu kekuasaan. Dari pengendapan pengalaman inilah akhirnya Rendra menuliskan puisi “Sajak Sebatang Lisong” (1977) yang kemudian menjadi simbol protes terhadap arogansi kekuasaan yang mengabaikan hak-hak rakyat. “tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet,” begitu tulisnya dalam sajak tersebut.

Selama rentang waktu 1975 – 1978, Rendra sangat aktif menulis puisi-puisi pamflet tersebut, bahkan sampai dirinya dipenjarakan. Setidaknya ada 27 puisi pamflet yang dituliskannya sebagai manifestasi perlawanan terhadap penindasan dalam berbagai hakikat dan bentuknya, juga perhatian kepada berbagai kalangan masyarakat yang disebutnya marjinal. Melalui puisi yang ditulisnya, Rendra memberi ruang kepada anak-anak putus sekolah, gelandangan, babu dan jongos, orang-orang miskin di jalanan maupun di selokan (yang disimbolkannya, selalu diledek impian), juga orang-orang pendosa yang berdosa karena didesak lapar.

Dari suasana kepedihan kaum marjinal tersebut, Rendra kemudian mengkritik dan memaki penguasa yang notabene wajib bertanggung jawab pada pemenuhan hak rakyatnya. Walau perjuangan melalui puisi tersebut nampak sia-sia karena sistem kekuasaan yang menurutnya terlalu bebal untuk mendengar, Rendra tidak pernah menyerah. “Aku bergerak menulis pamflet, untuk mempertahankan kehidupan” tulisnya pada bagian penutup puisi pamfletnya yang diberi judul Nota Bene: Aku Kangen.

Akhirnya puisi-puisi pamflet WS Rendra tersebut diterbitkan dalam kumpulan puisi berjudul Potret Pembangunan dalam Puisi yang terbit pada tahun 1993. Sebagai seorang penyair Rendra telah menegaskan posisinya sebagai penyair yang yang menulis tentang (pamflet) politik. Menurutnya puisi dan drama memiliki sandingan fungsi estetik juga politik. Karena itulah Rendra mengutarakan kegelisahannya terhadap persoalan sosial dan politik melalui bentuk narasi yang paling kuat dan dikuasainya. Hebatnya Rendra tidak terjebak untuk mendukung golongan tertentu, kecuali rakyat yang termarjinalkan semata.

“Saya ini saya, yaitu Rendra”, tandasnya dalam sebuah wawancara (Tjaraka, 1969). “Saya bukan angkatan ‘66, Saya bukan pahlawan, Saya tidak anti Orla, Juga saya tak ingin mengganyang Orba,” jelasnya.

Rendra tidak berpuisi mewakili ideologi tertentu, melainkan sekedar atas dasar kemanusiaan. Kredo kebebasan Rendra menjadi kekuatan puisi pamflet politiknya. Mampu menghadirkan realita sosial dan politik secara akurat dan mendalam dalam kemasan bahasa yang sederhana, nakal, serta tidak mendayu-dayu atau berbunga-bunga. Puisi pamflet Rendra berhasil mengungkapkan kegeraman, kesedihan, kegalauan, ketertekanan, dan kearoganan kekuasaan yang menimpa masyarakat.

Rendra selalu berani menempatkan dirinya sebagai lawan dari kekuasaan penguasa ketika kepentingan rakyat diabaikan. Ia menempatkan dirinya sebagai oposisi dari siapa pun yang mengangkangi keadilan. Sikap oposisi inilah yang membuat puisi pamflet Rendra terasa kuat, mengusik arogansi penguasa dzalim dan mengena ke dalam hati rakyat. Bahkan Rendra terus menyuarakan kritik ketika ia ditahan dan dibungkam. Rendra menolak untuk diam – karena menurutnya: Tanpa oposisi? Sumpek!.

Deklamasi Dompet Butet

Sang legenda puisi pamflet sudah tiada. WS Rendra telah pergi meninggalkan teladan keberanian pada kita. Setelahnya belum pernah ada puisi pamflet yang mampu mengguncang sebuah kekuasaan yang mengabaikan harapan keadlian bagi rakyatnya. Tak ada gelombang besar, hanya buih-buih riak gelombang.

Sampai akhirnya, pada puncak peringatan Bulan Bung Karno (BBK) yang dirayakan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat (24/6), Bambang Ekoloyo Butet Kartaredjasa membacakan puisi pamfletnya yang mengguncang jagad dunia maya Indonesia.

Bukan karena kekuatan pesan dalam kekuatan kata-kata puitis yang dibacanya, melainkan karena pesan keberpihakan yang membuatnya jadi bulan-bulanan cemoohan. Pasalnya bukan menempatkan diri sebagai oposisi dari kekuasaan seperti yang dilakukan Rendra, Butet justru mendeklarasikan keberpihakan yang menjerumuskan.

Karena mendekati penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Presiden 2024, Puncak Peringatan Bulan Bung Karno (BBK) yang seharusnya bernuansa nasionalis ini berubah menjadi sangat bertendensi politis. Bukan lagi terselubung, acara ini secara terang-terangan telah menjadi ajang kampanye dukungan terhadap Bakal Calon Presiden (Bacapres) PDIP, Ganjar Pranowo.

Sialnya Butet turut membacakan puisi pamflet karyanya yang berisi nyinyiran terhadap bacapres pihak partai lain yang menjadi lawan Ganjar. “Disini semangat meneruskan, disana maunya perubahan. Oh begitulah sebuah persaingan,” baca Butet menggambarkan persaingan antara bacapres dari kalangan pro pemerintahan dan bacapres dari oposisi pesaingnya.

Lebih parah lagi, tanpa canggung Butet mengadopsi diksi-diksi olok-olok yang sering dijadikan bahan nyinyiran para influencer di sosial media terkait perdebatan sengit mengenai banjir dimana satu kelompok disebutkan mengatakan sekedar ‘air yang parkir’.

“Di sini nyebutnya banjir, di sana nyebutnya air yang markir. Ya begitulah kalau otaknya pandir,” lanjut Butet membacakan puisinya. Demi mengejar rima dalam bait ini Butet berani menggunakan kata pandir yang terkesan kasar dan arogan.

Makin tendensius lagi Butet tak segan untuk mengangkat perdebatan yang lebih aktual antara dua kubu tersebut dengan mengangkat permasalahan tuduhan penjegalan yang melibatkan peran KPK.

“Pepes ikan dengan sambel terong, semakin nikmat tambah daging empal. Orangnya diteropong KPK karena nyolong, eh lha, kok koar-koar mau dijegal,” baca Butet.

Tak puas mencela satu kandidat bacapres dari oposisi semata, Butet pun juga mendeskreditkan bacapres yang mungkin ada di wilayah abu-abu.

“Jagoan Pak Jokowi rambutnya putih, gigih bekerja sampai jungkir balik. Hati seluruh rakyat Indonesia pasti akan sedih jika kelak ada presiden hobinya kok menculik,” baca Butet dengan tetap berusaha mengejar rima.

Meski bait ini dimaksudkan untuk menunjukkan dukungannya kepada Jokowi, banyak pihak menafsirkan ini sebagai sebuah penghinaan terhadap Jokowi sendiri. Pasalnya sosok yang dipuisikan Butet sebagai hobi menculik tersebut sekarang ini tengah menjadi kepercayaan Presiden Jokowi untuk membantunya di pertahanan negara.

Lebih sial lagi, blunder Butet kembali terjadi di bait terakhir puisi pamfletnya. Dalam bait terakhir puisi yang dibacanya, Butet menyempatkan menyindir soal pemimpin yang bermodal transaksional semata. Mungkin Butet lupa, diksi itulah yang biasa dijadikan tuduhan dari kalangan oposisi untuk menyindir transaksi-transaksi kursi kekuasaan seperti halnya bagi-bagi kursi menteri dan jabatan tinggi lainnya yang konon terjadi di pemerintahan sebagai balas jasa atas dukungan yang diberikan pada pencapresan.

“Cucu komodo mengkeret jadi kadal, tak lezat digulai biarpun pakai santan. Kalau pemimpin modalnya cuman transaksional, dijamin bukan tauladan kelas negarawan,” sindir Butet dalam puisinya. Bukankah bisa jadi meskipun Butet bermaksud lain, namun dalam bait ini, bisa saja khalayak menafsirkannya sebagai bentuk pemimpin yang dijuluki petugas partai, pelaku oligarki, boneka asing dan sebagainya.

Boleh jadi melalui puisi pamflet ini Butet berharap simpati seperti WS Rendra. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Justru kejatuhan yang didapatnya. Dari seorang budayawan yang dianggap kritis, Butet terjun bebas didaulat sebagai budayawan sampah.

Kasihan Butet, boro-boro berhasil menghadirkan puisi yang mewakili suara rakyat, puisinya justru disebut pakar semiotika, Acep Iwan Saidi, sebagai puisi yang mengotori politik. “Bukanlah puisi, melainkan hanya rangkaian kata sarkas yg disusun dlm rima sajak sehingga ia bernada. Dengan itu, Butet pun berdeklamasi,” tulis Acep dalam IG-nya.

Menurut Acep, meskipun berupaya memberikan rima (persajakan), rima Butet tidak bisa disebut puisi sebab “melampaui batas” licentia poetica, yang bukan melulu soal bentuk, melainkan substansi. Rima Butet memaksa bahasa untuk mengeksploitasi persepsi dan menggiring publik masuk ke ruang gelap prasangka.

“Alih-alih mencipta puisi, dengan rima itu Butet justeru telah merusaknya. Butet melakukan semacam tindakan anarkis terhadap bahasa. Ditepuki berpuluh ribu massa, anarki terhadap bahasa dapat berubah menjadi anarki demokrasi,” tegasnya.

Acep menyesalkan, puisi yang sejatinya dibayangkan bisa membersihkan politik yang kotor, dus meluruskan yang bengkok sebagaimana diteriakkan Kennedy, justeru dengan rimanya Butet telah membetot puisi untuk kian mengotori dan membengkokkan politik.

Bukti kekotoran politik yang dipicu ulah Butet ini pun nyata terjadi. Segera dunia sosial media diramaikan oleh puisi-puisi balasan yang memperkosa bahasa untuk meluapkan emosi dan ambisi semata. Apa yang dituliskan Fadli Zon dalam cuitannya ini salah satunya.

“Butet lagi kepepet
biarlah dia sedikit cerewet
untuk mengisi dompet”

Tentu saja masih banyak lagi cuitan-cuitan berima yang seolah-olah nampak seperti puisi, namun isinya hanya sindiran dan caci maki tanpa makna yang seharusnya berguna. Butet benar-benar berhasil memelopori pembuangan sampah di dunia politik kita.

Tabik.

|Wahyu Ari Wicaksono, peminat puisi & pengamat humaniora

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here