Home OPINI KOLOM Kode-Kode dan Dunia yang Terbingkai

Kode-Kode dan Dunia yang Terbingkai

0
Salah satu pementasan Tetaer dalam Festival Teater Jakarta /Lab Aktor Jakarta

SENI.CO.ID – BANYAK yang mengatakan, salah satu ciri penting dari teater modern adalah penggunaan karya sastra berbentuk lakon (naskah, skenario). Naskah menjadi salah satu unsur utama pertunjukan.

Namun, apakah yang dimaksud dengan “modern” itu sebenarnya? Apakah penggunaan istilah “modern” itu mengacu ke gerakan kebudayaan dan gerakan kesenian “modernisme” yang dimulai pada abad ke-19 di masyarakat Barat sana? Lalu bagaimana dengan lakon “Oediphus”, misalnya, yang ditulis Sophocles dan telah dipentaskan sejak tahun 400-an sebelum Masehi di masa Yunani Kuno, yang justru merupakan bagian penting dari peradaban Barat?

Kini, kita hidup di abad ke-21. Hampir 20 tahun, kita hidup di Era Milineal—demikian sebutannya yang populer. Artinya, ada rentang waktu ribuan tahun sejak penggunaan pertama kali naskah sebagai bagian utama dari pertunjukan teater sampai sekarang, termasuk dalam pementasan kelompok-kelompok teater sekolah peserta Festival Teater Pelajar (FTP) Wilayah Administratif Jakarta Barat 2019. Itu artinya juga (sebenarnya) ada begitu banyak naskah yang bisa dipelajari, dijadikan bahan studi, dan kemudian dijadikan pilihan yang tepat untuk ditransformasikan ke bentuk pertunjukan teater.

Tentu kita mafhum, yang namanya pembelajaran, studi, membutuhkan disiplin. Bukan hanya disiplin waktu, tapi juga disiplin ilmu. Naskah sendiri sebagai karya sastra setidaknya memerlukan tiga kode untuk dapat dipahami dan didapat “harta karun”-nya, yakni kode bahasa, kode sastra, dan kode budaya.

Kode bahasa berkenaan dengan hal-ihwal bahasa, termasuk di dalamnya penggunaan tanda-tanda baca. Kode sastra meliputi konvensi sastra yang pernah berlaku atau sedang menjadi trend dan sebagainya, termasuk penggunaan gaya bahasa dan jenis-jenis karya sastra. Dalam hal bentuk lakon, kode sastranya yang utama tentu yang berkenaan dengan struktur dramatik, yang intinya dalam bentuk lakon konvensional berupa konflik.

Akan halnya kode budaya lebih luas lagi, jangkauannya meliputi tata nilai manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Sebagai individu umpamanya berkenaan dengan kondisi kejiwaan seseorang (psikologis) atau perjalanan spiritualnya (religiusitas). Sebagai anggota masyarakat, aspek-aspeknya dapat meliputi aspek sosial, politik, hukum, ekonomi, pertahanan, keamanan, dan sebagainya.

Jika naskah dijadikan unsur utama pertunjukan teater, penguasaan terhadap kode-kode tersebut menjadi keniscayaan. Seperti halnya kode-kode lain, ketiga kode itu juga masing-masing memiliki implikasi saat naskah akan ditransformasikan ke bentuk pertunjukan.

Misalnya ada naskah yang dialog tokohnya menggunakan bahasa Jawa. Harus dicermati benar, bahasa Jawa yang digunakan itu bahasa Jawa Banyumasan, Mataraman, Jawa Timuran, atau bahasa jenis yang lain. Pemahaman terhadap bahasa ini kemudian akan mengarahkan ke warna dialog, akting, bahkan mungkin bisa sampai ke pemilihan kostum dan properti,

Begitu pula dengan kode sastranya, misalnya struktur dramatiknya. Ada naskah yang dimulai dari pemaparan karakter tokoh, ada yang langsung masuk titik krisis persoalan, ada yang dimulai dari peristiwa masa lalu, dan sebagainya. Pemahaman terhadap struktur dramatik ini akan berpengaruh antara lain pada ritme pertunjukan dan sebagainya.

Demikian halnya dengan kode budaya. Kondisi masyarakat perkotaan dari kelas atas, umpamanya, akan berbeda dengan kondisi masyarakat dari kelas sosial atas atau menengah.

Selain itu, mentransformasikan naskah ke bentuk pertunjukan juga membutuhkan disiplin, termasuk disiplin latihan, untuk mempersiapkan jiwa-raga agar mampu mengusung beban yang ada di naskah ke atas pentas, sebuah dunia yang juga punya aturan main sendiri—serta menyimpan kerumitan tertentu, termasuk dalam prosesnya karena umumnya melibatkan banyak orang.

Dari sana, kita pun dapat memaklumi, baik sastra maupun teater adalah hal yang serius. Itu sebabnya sastra dan teater kemudian dijadikan ilmu dan diajarkan di banyak sekolah dan perguruan tinggi di hampir seluruh dunia.

Sastra dan pentas teater pada dasarnya adalah “dunia yang terbingkai”. Bedanya, karya sastra bisa “dinikmati” kapan saja, tapi pentas teater itu real time, “di sini dan saat ini”. Kita memang bisa melihat rekaman videonya, tapi kemungkinan besar kita kehilangan atmosfer pertunjukannya secara keseluruhan, apalagi bila “mata kamera” juga telah dibebani tafsir juru kameranya.

Sebagai dunia yang terbingkai real time, apa yang terjadi di atas pentas atau panggung akan langsung menjadi perhatian penonton. Pada gilirannya, ini akan berpengaruh pada sikap penonton: menikmati, penasaran, bingung, mengantuk, atau merasa bosan. Bukan tak mungkin pula ada penonton yang merasa ditipu karena telah meluangkan waktu, berjuang mengatasi kemacetan lalu-lintas untuk menuju tempat pertunjukan, dan kemudian mengeluarkan uang untuk membeli tiket tapi kemudian disajikan tontonan yang mengecewakan hatinya.

Bagaimana agar suatu pertunjukan teater bisa menjadi menarik, tak mengecewakan penonton? Kini sudah ada banyak referensi yang bisa dipelajari untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Yang pasti: dunia yang terbingkai adalah dunia rekaan, dunia yang dirancang. Tak seperti dunia keseharian kita yang centang-perenang dan sering tak logis, dunia rekaan sudah semestinyalah tertata dan logis. Yang dimaksud logis atau masuk akal bukan berarti harus selalu sesuai dengan realitas keseharian, tapi semua hal yang terjadi di atas panggung dapat dijelaskan hubungannya satu sama lain. Kalau tidak tertata, apalagi tidak logis, penonton akan menjadi bingung. Pada peran penataan dan upaya menjaga logika itulah sutradara berperan penting, karena sutradara pada dasarnya adalah “penonton ahli”.

Di sisi lain, logis juga bisa berarti ada kesesuaian dengan tata nilai atau tata budaya dari peristiwa yang sedang diusung di atas pentas. Karena, biasanya, aspek sosiologis di suatu naskah begitu kental. Dalam pementasan beberapa kolompok teater di FTP 2019, ihwal ini ada yang diabaikan.

Padahal, hampir sebagian besar naskah yang dipentaskan kelompok-kelompok teater sekolah di FTP 2019 itu memuat kandungan sosiologis yang kental. Sebagian lagi kental aspek psikologis dan historis.

Pada hari pertama festival: Teater Tuas (SMAN 17) membawakan lakon “Pinangan”, yang diadaptasi dari lakon yang ditulis Anton Chekov dan Teater Kawan (SMA Kesatuan) membawakan lakon “Kisah Cinta dan Lain-Lain” karya Arifin C. Noer. Dalam kedua pertunjukan ini, aspek sosiologis-nya sesungguhnya kental.

Dalam “Pinangan” yang dibawakan secara karikatural, nama salah satu tokoh utamanya saja Agus Tubagus. Ini menjadi penanda bahwa tokoh itu orang Indonesia, khususnya orang Banten (Serang), yang mungkin ada darah Sumatera Selatan-nya juga. Dengan demikian ada tuntutan tata nilai tertentu yang harus dipenuhi sutradara agar pertunjukan ini menjadi logis.

Kenyataannya soal tersebut goyah di pementasan “Pinangan” Teater Tuas. Contoh kecilnya saat Agus menyatakan akan melamar Ratna ke Bu Rukmini, yang dilakukan seolah tanpa beban, seolah lamaran itu bukan soal yang serius dan ia hidup di tengah masyarakat tanpa nilai. Begitu juga saat Ratna hanya mengenakan piyama waktu menerima kedatangan Agus.

Pemain dan sutradara “Pinangan” ini sebenarnya punya potensi yang cukup untuk membuat pertunjukan menjadi enak ditonton. Penambahan karakter yang dilakukan juga dapat memperkuat pertunjukan. Namun, sutradara kurang menggarap lebih detail tuntutan logika peristiwa.

Hal yang hampir sama juga terjadi pada pementasan “Kisah Cinta dan Lain-Lain” Teater Kawan. Penataan dan warna sett, kostum, dan penataan suara malah terasa mengganggu jalannya pertunjukan. Karena, ada logika yang diabaikan dan kode budaya yang tidak dipenuhi tuntutannya.

Logika yang goyah juga sempat terjadi pada pementasan lakon “Cipoa” yang dibawakan Teater Semu, pada hari kedua FTP 2019. Goyah logika terutama pada saat tokoh Juragan dengan mudahnya menemukan bongkahan batu emas. Padahal, sebelumnya, beberapa pekerja telah menggali dengan susah payah dan tak mendapatkan hasil apa-apa. Juga saat pengangkatan batu.

Namun, sutradara cukup tangkas menghadirkan peristiwa demi peristiwa lewat penataan adegan dan penciptaan ritme pertunjukan yang dinamis. Tambahan pula, penempatan komposisi pemain dan lalu-lintas pemain (blocking) memperkuat kedinamisan itu.

Teater memang menghadirkan peristiwa, bukan menceritakan peristiwa. Pentas teater adalah tempat berlangsungnya aksi (akting) untuk menghadirkan peristiwa. Rangkaian peristiwa inilah yang disebut sebagai alur. Hubungan antar-peristiwa ini bisa hubungan sebab-akibat (kausalitas), bisa berupa hubungan suasana, dan sebagainya.

Penempatan komposisi dan lalu lintas pemain yang kurang cermat dan kurang variatif terjadi di pementasan “Awal dan Mira” Teater Quantum. Akibatnya, pementasannya menjadi cenderung terasa berjalan lambat. Apalagi, ada kode bahasa dan kode budaya yang juga kurang mendapat perhatian, misalnya pada pemilihan lagu ilustrasi dan kostum Mira dan ibunya. Untunglah pemeran Juru Potret dan Wartawan berhasil menghidupkan suasana, sehingga pertunjukan ini mendapat kesegaran.

Pada pementasan “Robohnya #Godgetsyn”, Teater Bangku E.R. mencoba menangkap fenomena yang terjadi di media sosial Internet. Kalau dilihat nama akunnya, #Godgetsyn, itu bisa ditafsirkan sebagai “God get syn(onym)”, ‘Tuhan mendapatkan persamaannya atau tandingannya’. Bila dilisankan, bunyinya bisa seperti “God get sin”, ‘Tuhan mendapat dosa’.

Pementasan ini mencoba keluar dari konvensi struktur dramatik. Kostum dan pencahayaannya pun mencoba menghadirkan impresi dunia Internet, dengan penggunaan warna yang bercahaya dalam gelap dan juga cahaya lampu ultraviolet. Namun, konvensi yang terlalu jauh ditinggalkan juga punya risiko sendiri: penonton menjadi sangat sukar mencari pintu masuk agar dapat memaknai atau setidaknya ikut menghayati apa yang sebenarnya terjadi di panggung, di dunia rekaan itu.

Ketegangan karya seni memang berada di titik antara konvensi dan inovasi. Saat bandul terlampau memberat ke bagian inovasi, karya seni itu menjadi sukar dimaknai atau setidaknya sulit dihayati oleh khalayak. Sebaliknya, bila bandul memberat ke arah konvensi, karya seni itu menjadi karya seni jadul, konvensional, yang punya kemungkinan besar terpeleset menjadi karya seni yang klise, tak lagi segar karena sudah banyak orang yang melakukan dan membuat hal yang sama.

Yang klise itu tampak pada pementasan “Si Bakhil” Teater Balang. Lihat saja setting dan kostumnya. Ada sofa warna putih dengan gaya jadul dan lukisan naturalis simbolis berlatar putih juga. Kerja penyutradaraan yang menempatkan komposisi pemain pada jarak yang relatif dekat juga membuat area bermain malah terasa sempit, karena ukuran properti sett yang tidak proporsional. Toh, pementasan ini masih cukup enak dinikmati karena beberapa pemainnya cukup mampu menghadirkan peristiwa dan membangun suasana komedi satir, yang menjadi tuntutan naskah.

Peristiwa justru nyaris tak hadir pada pementasan “Mencari Bulan” Teater Technogama. Setelah para pemain dampu bulan kehilangan bulan, lalu mencarinyanya, pementasan ini lebih didominasi teks-teks naratif, semacam strory telling, tentang sampah plastik dan bumi yang tercemar. Komposisi dan lalu-lintas pemainnya akhirnya menjadi semacam ilustrasi cerita, bukan sebagai unsur utama suatu peristiwa atau kejadian.

Logika pementasan ini juga goyah karena kode budaya yang berkaitan dengan ilmu astronomi, siklus peredaran bulan (lunar), diabaikan dan saat bulan menghilang dari langit malam malah diberi penjelasan karena bumi telah dipenuhi sampah, terutama sampah plastik. Benarkah bulan bisa menghilang jika ada bagian bumi yang dipenuhi sampah plastik? Bukankah bulan terlihat atau tak terlihat dari bumi bergantung pada siklus edarnya di orbit bumi? Itu sebabnya bulan purnama hanya terjadi sebulan sekali, bukan setiap malam. Lagi pula haruskah bermain dampu bulan di waktu malam? Bukankah justru dampu bulan lebih sering dilakukan di siang hari?

Teks-teks naratif (bercerita) sebenarnya juga mendominasi lakon “Repertoar Sabun Colek” yang dipentaskan Teater Biru 42, Namun, para pemain dan sutradara berhasil keluar dari jebakan naratif itu dengan penciptaan adegan-adegan yang menghadirkan rangkaian peristiwa yang diikat oleh suasana kesumpekan hidup masyarakat kelas sabun colek.

Para pemainnya juga mampu mengangkat beban pemeranan dengan timing yang tepat, sehingga kemudian muncul suasana komedi getir, yang memancing penonton untuk bersimpati terhadap penderitaan tokoh-tokoh di pementasan tersebut. Padahal, awalnya, aroma keterpengaruhan dari kelompok teater lain yang pernah mementaskan lakon serupa terasa begitu kental pada pementasan ini.

Namun, sutradara ternyata berhasil melepaskan atau mengurangi keterpengaruhannya tersebut dan menciptakan pola akting dan pengadegan yang berbeda. Pergantian sett yang bergerak membuat pertunjukan ini terasa dinamis.

Dalam dunia seni, keterpengaruhan adalah hal yang wajar. Yang “diharamkan” adalah plagiasi atau penciplakan, apalagi sampai mengklaim karya orang sebagai karyanya.

Pada hari kelima FTP 2019, Teater Bilik membawakan lakon “Robohnya SekapPisah”, yang bertema sosial-politik, dengan latar sejarah Indonesia. Pada dasarnya ini lakon naratif juga. Penggunaan tokof fiktif yang simbolis membuat latar sejarah yang disampaikan menjadi terasa konspiratif, menduga-menduga, dengan pola pemeranan yang akhirnya juga kurang meyakinkan. Apalagi, kemudian, yang mendominasi pertunjukan adalah aspek naratifnya daripada peristiwa atau kejadian konkret yang dihadirkan di atas pangung.

Peristiwa berlatar sejarah juga yang diangkat lakon “Fajar Shadiq” dan dipentaskan Teater Asap. Namun, pementasan ini juga kurang dapat meyakinkan penonton karena kode budaya atau tata nilai yang berlaku pada masa Revolusi terasa diabaikan. Bahkan, untuk latar tempat pun sulit dibedakan, itu markas pejuang gerilya, rumah keluarga, atau rumah sekaligus markas. Lalu bagaimana sebenarnya hubungan antar-tokohnya? Informasi soal ini diberi penekanan yang berlebihan, terutama lewat akting para pemain dengan proyeksi yang tidak proporsional.

Pada pementeasan “Tanda Silang” Teater Sembilan Bintang, proyeksi akting yang tidak proporsional juga sempat terjadi. Akibatnya, sett yang gigantik seolah menenggelamkan para pemainnya. Namun, sutradaranya membuat komposisi dan lalu lintas pemain .yang kemudian mampu mengondisikan para pemain untuk menguasai ruang peristiwa. Apalagi, para pemainnya juga memang memiliki kualitas akting yang memadai. Pertunjukan yang cukup apik semakin terbangun dengan penataan bunyi dan musik yang cermat.

Sett memang bisa memerangkap pemain, sehingga bukan saja bisa menenggelamkan pemain, tapi juga bisa menghambat ruang geraknya. Bahkan, sett bisa membuat area pertunjukan kehilangan dimensi ruangnya, sehingga terlihat hanya sebagai latar belakangan dua dimensi, bak lukisan.

Yang seperti itu terjadi pada pementasan “5 Pintu” oleh Teater Nona Tetra. Sett yang terlampau sesak, dengan dinding-dinding melebar menguasai area bermain membuat para pemain seolah dibatasi ruang geraknya. Dinamika gerak pemain tersendat. Sampai-sampai, pada suatu adegan, ada pemain yang mengenakan sepatu duduk di lantai, padahal di sebelah pintu rumahnya ada bangku.

Selain itu, ada jejak keterpengaruhan yang kental dari pementasan kelompok teater lain pada pertunjukan Teater Nona Tetra ini. Dan, sang sutradara tampaknya memang tak ingin melepaskan keterpengaruhan itu. Padahal, para pemainnya memiliki potensi akting yang baik.

Sebaliknya yang terjadi dengan pertunjukan lakon “Animus Non Grata” oleh Sanggar Seni Bintang. Sett seakan menjadi proyeksi dari kondisi kejiwaan para pemainnya, yang muram dan centang perenang. Kendati demikian, bila jeli melihat, sett sesungguhnya ditata dengan cermat untuk memenuhi kebutuhan pemeranan.

Istilah “animus” sendiri adalah istilah psikologi, yang artinya kira-kira pola dasar yang menjadi pijakan manusia dalam berkomunikasi dengan alam bawah sadar kolektif secara umum, terutama yang berkaitan dengan kehidupan percintaan. Animus adalah unsur maskulin dalam diri manusia. Pasangannya anima, unsur feminin. Akan halnya “non grata” adalah ‘pribadi yang tidak dikehendaki’.

Kerja sutradara yang cermat diimbangi dengan kemampuan akting para pemainnya yang cukup baik. Namun, penempatan salah seorang pemain di area penonton membuat dunia yang telah terbangun dengan baik di panggung menjadi seolah mengalami musibah kecil, Fokus penonton terpecah. Tempo pertunjukan pun menjadi terasa berjalan lambat. Kendati demikian, secara keseluruhan, pementasan ini tetap mengalir lancar dan enak ditonton.

Pada pementasan “Dhesti Dhiri Dhuk” Teater Dejavu, persoalan-persoalan elementer yang belum terkuasai oleh para pemain, sutradara, dan penata artistik membuat pementasan ini tersendat-sendat dalam “menjalin komunikasi” dengan penonton. Apalagi, ada logika yang goyah dalam upaya menghadirkan dunia yang yang terbingkai, dunia rekaan. [Pedje]

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here