SENI.CO.ID – Napak asal kata dari Tapak, Tapak adalah bekas jejak yang ditinggalkan. Menapak, memijakan telapak tangan/kaki atau berjalan mengikuti jejak.
Menapaki artinya menjejaki. Menapakkan artinya menguasai, menaklukan. Ketapakan artinya tempat kehormatan. Setapak artinya selangkah demi selangkah. (KBBI).
NAPAK merupakan bentuk dari kata kerja. Dalam konteks ini, Napak adalah suatu hasil kerja kreatif dari sebuah aktivitas rupa yang menghasilkan jejak – jejak rupawi.
Jejak-jejak ini boleh jadi berasal-muasal dari respon terhadap ‘alam’ yang ada di sekitarnya, yang mana hal ini dipengaruhi oleh jalan alam-pikirannya. Pergerakkan ini menggejala sedemikian rupa sehingga
memunculkan gagasan, lalu menumbuhkan kerja intuitif dan merefleksi menjadi ekspresi karya rupa.
Upaya menjelajah dan merambah pada bentuk-bentuk rupa yang dianggap memiliki nilai inspiratif (nilai artistik dan estetik) ditempuh dengan metode mensikapi-mengamati-merenungi terhadap suatu objek, baik itu suatu peristiwa atau gejala sosial atau jejak artefak yang ditemuinya yang kemudian menjadi tema karya dalam pameran bersama untuk mata kuliah Studio I ini, karya yang ditampilkan adalah sebuah pengejawantahan dari penjelajahan imaji masing-masing peserta pameran selama dalam kurun
waktu proses kreasinya, di mana di dalamnya ada tahapan : observasi, eksplorasi dan eksperimentasi.
Seperti dalam karya fotografi Shauma Silmi Faza (Uma) yang berjudul “Narasi Visual Transformasi”. Karya ini dibuat berdasarkan fenomena makanan tradisional Surabi yang berasal dari Bandung – Jawa Barat.
Dalam perkembangannya, Surabi telah mengalami beberapa
inovasi dan transformasi yang beradaptasi dengan perkembangan zaman. Perubahan-perubahan tersebut dapat terlihat dari beberpa aspek, diantaranya: penjual, peralatan masak, varian rasa dan tempat.
Sementara Rizki Lutfi Wiguna memilih material semen dan kayu ramin sebagai ungkapan eksperimentasi imaji karyanya. Solid dan void sebagai tema karya merupakan respon terhadap kondisi lingkungannya yang selalu beririsan dengan tembok (solid) dan hidup dalam ruang (void).
Dengan menampilkan bentuk karya berupa sebuah kotak semen yang diantaranya memiliki ruang dengan bentuk organik yang berpadu dengan tautan struktur kayu ramin yang tak beraturan bahkan terkesan liar, karya ini seolah ingin menyampaikan pesan bahwa diantara suatu yang solid ada void, dimana dalam void tersebut memugkinkan untuk diisi oleh aktifitas-aktifitas kehidupan.
Melalui media kertas beserta material penunjang lainnya, A.K Patra Suwanda mengeksplorasi keunikan karakteristik medium kertas seperti : keluwesan, kekenyalan, dan mudah dibentuk.
Dengan mengusung tema ‘perjalanan peradaban’, karya ini diberi judul “Guratemas : Metafora Raut Rupa”. Karya ini berbicara tentang guratan emas sebagai subject matter dalam komposisi bentuk rupa watu (bahasa Sansakerta, yang artinya batu) dan rupa kakayon (bahasa
Sunda, yang artinya kayu).
Dalam konteks karya rupa ini, guratan emas diperankan sebagai
metafora dari ikon keagungan, kekuasaan dan keindahan. Selama peradaban kuno manusia berlangsung, mulai dari peradaban di Asia seperti Mesir, Cina, India, di benua Eropa hingga suku asli di benua Amerika emas telah menjadi benda komoditi yang sangat dihargai.
Lewat emas pula terjadi peperangan dan bahkan genosida terhadap suatu bangsa. ***
Pameran berlangsung dari tanggal 5-12 Juli 2019 di Galeri 212 ISBI, Jl.Buahbatu No. 212 Bandung
A.K /SENI.CO.ID, Foto-foto Andi Sopiandi