Oleh Taufan S. Chandranegara*)
Wajah siapa serupa Semar. Sifat siapa serupa Semar. Suara siapa serupa Semar. Mungkin, Semar, dilahirkan dari suatu pola penciptaan kesadaran kebudayaan massa ketika itu, bahwa tokoh serupa Semar, wajib segera dilahirkan, ditampilkan kepada publik, mungkin, akibat kekuasaan pada zaman ketika itu, tak mampu melihat kelemahan diri, mungkin pula, pemangku kepentingan terjebak kenduri kata-kata.
Maka kewajiban dakwah memberi aksara baru dalam kancah kisah-kisah peperangan nurani, bahwa jujur itu ada di antara senyum dan menangis, itu sebabnya pula, Semar tak ada di Padang Kurusetra, dia ada di kahyangan, diturunkan dalam kisah kebaruan dunia pewayangan Jawadwipa.
Terbit lah sepasang kekasih rembulan dan matahari. Peperangan di Padang Kurusetra, atas kehendak makhluk pelaku kekuasaan zamannya, lantas peperangan tumbuh, berkembang di peradaban, zaman perubahan terus menerus, mungkin pula, karena kekal itu konon tak ada pada kehidupan kasat mata, sebab hidup barangkali merupakan rangkaian perjalanan peristiwa keadaban tata laku para pelakon.
Harimau menerkam binatang pemenuhan kebutuhan hidupnya. Jaring laba-laba perangkap efektif kebutuhan hidup sang laba-laba. Ular memakan sesama ular lebih kecil.
Naturalisme, hadir untuk kehidupan makhluk bernurani, berakal-berbudi. Para panakawan anak-anak Semar, penyuluh hati para satria, agar senantiasa mawas diri tidak lupa diri. Sebelum Mahameru, murka menjadi lautan pasir menggulung nasib para makhluk, bersama badai taifun mengombak samudera, meledakkan Krakatau, membangkitkan gunung Toba, hanya sekadar untuk mengingatkan, bahwa hidup tak kekal, bahwa perubahan peradaban geologis mampu kembali bergolak tak terduga oleh sains atau tekno apapun. Namun, hidup modernisme sungguh tak menhendaki bencana itu.
Sebuah kisah adalah sebuah wiracarita, bahwa hidup sangat tergantung pada perilaku kesadaran interaksi alam dan sesama, bahwa hidup tergantung pada air, pada hujan, pada hutan, pada lautan, pada langit, pada oksigen, pada frekuensi, pada gravitasi. Alam dan kehidupan para makhluk, pola kesatuan saling memberi kesadaran, keseimbangan, sebagaimana telah dijanjikan sejak awal mula-Nya.
Tak ada biduk, tak ada serangga, tak ada habitat flora dan fauna. Jika amarah ketamakan sekadar ingin membangun ambisi di luar nalar akal budi hukum ilahi. Maka tragikomedi, akan sampai pada puncak tragedi, itu sebabnya, mungkin, wajah Semar, dicipta oleh kreatornya, berada pada posisi seni peran antara senyum dan menangis.
Semar, dia hadir, dicipta, di antara tokoh wayang Jawadwipa. Mungkin guna meredam perilaku kurang baik, agar kehidupan senantiasa utuh, eksak, manunggal dengan ke-Esa-an Sang Gusti Pangeran. Para dewa tetap tertib di kahyangan. Para satria khusyuk pada kesetiaan, senantiasa menjauh dari kemurkaan. Para raksasa tak merajalela melahap matahari, menggelapkan dunia.
‘Zaman Kalabendu’, bukan ancaman. Jika makhluk hidup tak mengutuk diri, sebagai akibat perilaku diri sendiri. Sebuah kisah selalu ada, menilik milik zamannya. Barangkali.
Jakarta Indonesia, 2020.
*) praktisi seni.
Tulisan ini bisa juga disimak di MAJALAH SENI EDISI JUNI 2020