OLEH P. HASUDUNGAN SIRAIT
Kali pertama Ajip Rosidi mengenal Gubernur Ali Sadikin sebagai pribadi adalah sewaktu ia dan Ramadhan Karta Hadimadja diajak Ilen Surianegara menemui kepala daerah itu pada 1968 untuk mengajukan ide menerbitkan sebuah majalah kebudayaan (hal ini sudah kukisahkan). Ternyata keduanya lekas akrab dan seterusnya lekat.
Selain sesama Sunda dan kemistrinya cocok, mereka dipertautkan oleh pekerjaaan. Sebagai Redaktur ‘Budaja Djaja’ dan anggota Dewan Kesenian Djakarta yang dilantik pada 19 Juni 1968, Ajip Rosidi tentu harus berinteraksi dengan Bang Ali yang merupakan penopang dana kedua lembaga.
Begitulah: sebagai anggota komite sastra DKJ, di tahun 1971 Ajip Rosidi mencurahkan isi hati ke Bang Ali. Keadaan dunia perbukuan yang kian payah di negeri kita, ia gambarkan. Kitab sastra dan buku anak termasuk yang krisis. Harga buku terbilang mahal sementara minat baca masyarakat rendah. Pajak yang tinggi merupakan salah satu komponen yang membuat kitab tak murah [sampai hari ini pun sesungguhnya keadaan masih begitu].
Bang Ali tergugah. Ia menyatakan buku merupakan peluas wawasan dan pencerdas pikiran masyarakat. Sebab itu tak seharusnya dipajaki laksana barang-barang mewah.
Mayjen KKO itu menimpali dengan bersemangat tatkala teman bercakapnya mengutarakan maksud sesungguhnya: mendirikan sebuah penerbitan untuk menghasilan kitab-kitab bermutu mantap terutama karya sastra dan bacaan anak. Ia menyatakan dirinya bersedia membantu pendanaan.
Selalu selaras ucapan dan perbuatan. Begitulah Bang Ali. Ciputra langsung ditugasinya untuk mewujudkan impian lama Ajip Rosidi. Mantan Menteri Perhubungan Laut itu menginstruksikan agar pola perikatan dengan majalah ‘Tempo’ saja yang digunakan. Maksudnya?
KELAHIRAN MAJALAH ‘TEMPO’
Di tahun 1970 Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, dan Christanto Wibisono keluar dari ‘Harian Kami’ yang dipimpin teman mereka: Nono Anwar Makarim (putranya kini menjadi Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim). Ingin memiliki terbitan macam majalah ‘TIME’ atau ‘Newsweek’, mereka.
Setelah didekati lewat menantunya, Burhanuddin Mohammad Diah (BM Diah) bersedia memodali mereka. Edisi perdana ‘Ekspres’ pun muncul pada 26 Mei 1970. Pesahamnya adalah BM Diah (60%) dan Goenawan Mohamad dkk. alias Ekspres Group (40%).
Baru 6 bulan media yang membawa kebaruan-kesegaran itu mengada tatkala kemelut terjadi. Sang investor yang merupakan pemilik koran ‘Merdeka’ serta pernah menjadi menteri penerangan dan duta besar, bahkan akhirnya memecat Goenawan Mohammad, Fikri Jufri, Christanto Wibisono. Pasalnya?
Tak lama sebelumnya, berlangsung kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat di Palembang. Kelompok yang sangat berkuasa saat itu, Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin Letjen Ali Moertopo, menghendaki BM Diah yang memimpin organisasi kaum pewarta tersebut. Ternyata yang terpilih Rosihan Anwar.
Tak sudi menerima kenyataan, sejumlah peserta yang bekerja untuk media massa milik tentara berkongres lagi di hotel yang sama. BM Diah yang terpilih di sana.
Seusai kongres Palembang, PWI terbelah. Kepengurusannya ganda (ceritanya tentu saja lain dari kisah kemunculan PWI Reformasi, sempalan yang didirikan dan awalnya dioperasikan sendiri oleh wartawan senior yang juga penyair, Budiman S. Hartojo, dari kantor majalah kami, ‘D&R’, di Jl. Iskandarsyah, Blok M, tak lama sesudah rezim Orde Baru tumbang).
BM Diah tak sudi rujuk dengan Rosihan Anwar. Prihatin melihat keadaan, Goenawan Mohamad pun menyatakan sikap lewat sebuah tulisan yang dimuat koran ‘Sinar Harapan’ (diasuh Aristides Katoppo dkk.) dan beberapa media lain.
Berang akibat tulisan itu, BM Diah akhirnya memberhentikan tiga dedengkot Ekspres. Solider terhadap korban, beberapa awak terbitan itu mengundurkan diri.
Goenawan Mohammad, Fikri Jufri, dan Christanto Wibisono yang kemudian dikenal sebagai ‘Trio Ekspres’ kembali mencari pemodal. Hasrat mereka untuk menghadirkan media semacam ‘TIME’ atau ‘Newsweek’ kian membara karena ‘toh’ eksperimen mereka di ‘Ekspres’ sudah lumayan hasilnya.
Lewat mantan fotografer koran ‘Kompas’, Lukman Setiawan, tiga sekawan berkesempatan mengutarakan isi hati dan pikiran ke Ciputra. Bos PT Pembangunan Jaya (perusahaan yang kala itu sekitar 70% sahamnya dimiliki Pemda DKI) tertarik mendengar tuturan teman bicaranya terlebih karena gaya sajian ‘Ekspres’ memang disukainya.
Ciputra lantas melapor ke Gubernur DKI Ali Sadikin. Suami-Nani Sadikin yang sangat visioner tersebut juga terpikat. Tentu saja ia sudah mengetahui setidaknya reputasi Goenawan Mohammad, penyair-eseis yang dilantiknya sebagai salah satu anggota Dewan Kesenian Djakarta, pada 1968.
Bang Ali menugasi Ciputra untuk menjalin perikatan dengan Trio Ekspres. Ia memberi arahan agar Yayayasan Jaya Raya yang menjadi wahananya.
Yayasan Jaya Raya adalah sayap pengabdian sosial (CSR) konsorsium yang dipimpin Pembangunan Jaya. Unsurnya adalah anak usaha dan mitra korporasi pelopor bisnis properti di negeri kita tersebut, termasuk beberapa BUMD DKI dan Metropolitan Group yang dimiliki Ciputra. Mengurusi sepakbola dan bulutangkis merupakan fokusnya. Klub Jaya Raya, misalnya, sampai sekarang masih rutin menyumbang pemain untuk tim bulutangkis nasional Indonesia.
Majalah ‘Tempo’ terbit untuk kali pertama pada 6 Maret 1971. Goenawan Mohamad Pemimpin Redaksi-nya dan Fikri Jufri Wakil-nya. Nama, perwajahan, dan gaya suguhannya adalah ‘TIME’ yang di-Indonesia-kan [hal ini sempat disoal ‘TIME’].
Tak lama berselang, pada 2 Juni 1971, penerbit Pustaka Jaya lahir. Direkturnya adalah Ajip Rosidi. Redakturnya (sampai tahun 1973) adalah Aoh Karta Hadimadja. Kakak Ramadhan KH (lain ibu) ini—juga ayahanda kawanku yang merupakan wartawan ‘The Jakarta Post’, Ati Nurbaiti—adalah sastrawan yang sebelumnya (1959-1970) menjadi penyiar di ‘BBC’ London Seksi Indonesia. Ia berpulang pada 17 Maret 1973.
Dengan modal pinjaman Rp 20 juta dari Jaya Raya, PT Dunia Pustaka Jaya yang menggunakan ‘Pustaka Jaya’ sebagai nama penerbitnya, langsung menggebrak. Buku anak dan kitab sastra bermutu diterbitkannya secara berkala. Di luar itu ada juga jenis lain seperti biografi (S. Soedjojono, Affandi, dan yang lain yang ditulis Ajip Rosidi, misalnya), disertasi (sejarahwan Kartono Kartodirdjo, antara lain), dan telaah (karya Robert Van Niel dan Abdurrachman Surjomihardjo, umpamanya.)
Sangat bersemangat Pustaka Jaya melakoni bisnisnya. Seperti kata Bang Ali jauh hari kemudian, di masa kepemimpinan Ajip Rosidi (1971-1981) perusahaan ini terus membesar dan telah melunasi pinjamannya ke Yayasan Jaya Raya. (Ramadhan KH, 1992)
PROSA DAN PUSI
Buku sastra terbitan Pustaka Jaya cukup banyak yang kukoleksi, terutama dari era 10 tahun pertama (lihat gambar). Ada yang terjemahan dan ada pula karya sastrawan Indonesia. Serba terpilih, itu unsur kesamaanya. Cita rasa sastra direktur dan redaktur penerbit ini senantiasa mengemuka.
William Shakespeare, Ernest Hemingway, John Steinbeck, Nikolai Gogol, Leo Tolstoy, Fyodor Dostoyevski, Alexander Solzhenitsin, Alexander Dumas, Yasuari Kawabata, Yukio Mishima. Jose Rizal, Jean Paul Sartre, Arthur Koestler, Federico Garcia Lorca, Rabindranath Tagore, Andre Gide, Stanilavski, antara lain yang mereka hadirkan di zaman itu.
Di luar yang kupunya itu masih ada IJ Slauerhoff, Rob Nieuwenhuys Ivan S Turgenev, Francois Mauriac, Emile Zola, Moliere, Strindberg, Anton Tjechov, Ryunosuke Akutagawa, Khalil Gibran, Fariduddin Attar, dan sebagainya.
Penerjemahnya andalan Pustaka Jaya? Bukan sembarang orang.
Asrul Sani, Trisno Sumardjo, Gayus Siagian, Toto Sudarto Bachtiar, Ramadhan KH, Ali Audah, Ayatrohaedi, dan Sapardi Djoko Damono (penyair terkemuka ini baru saja meninggal), termasuk. Di antara semuanya, Asrul Sani-lah yang paling banyak mengalihbahasakan. Memang, sewaktu Dewan Kesenian Jakarta menghadirkan Bank Naskah, dialah yang paling antusias menyahutinya lewat terjemahan.
Dari bahas Inggris-lah karya itu dialihbahasakan. Kalaupun ada dari bahasa lain, itu sedikit saja. Salah satunya adalah ‘Romansa Kaum Gitana’ yang diterjemahkan Ramadhan KH dari bahasa aslinya: Spanyol. Ayah ‘drummer’ Gilang Ramadhan itu belajar bahasa Spanyol di negeri matador pada 1952-1953.
Lewat Pustaka Jaya, arus sastra dunia mengalir deras ke Indonesia untuk pertama kalinya. Dalam hal ini, menurut pengamatanku, penerbit yang satu ini belum ada tandingan di negeri kita. Belakangan, penerbit seperti Gramedia Pustaka Utama dan Yayasan Obor juga menghadirkan karya sastrawan dunia dan dalam negeri. Tapi mereka tak semasif Pustaka Jaya di masa Ajip.
Karya dalam negeri yang disuguhkan Pustaka Jaya serba istimewa. Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Aoh K. Hadimadja, Asrul Sani, WS Rendra, Subagio Sastrowardojo, Wing Kardjo, Umar Kayam, Dick Hartoko, Putu Wijaya, Arifin C. Noer, NH Dini, Kuntowijoyo, Abdul Hadi WM, Arief Budiman, Misbach Yusa Biran, Sori Siregar, dan Fuad Hassan, umpamanya, yang menulis.
Selain prosa (roman dan cerpen) serta puisi, terbitan itu ada yang berupa kajian. ‘Chairil Anwar: Sebuah Perjumpaan’, skripsi Arief Budiman di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, misalnya.
Di samping yang kukoleksi masih ada Anak Agung Pandji Tisna, Idrus, JE Tatengkeng, Utuy Tatang Sontani, Mochtar Lubis, Harijadi S, Hartowardojo, Ali Audah, Satyagraha Hoerip, Rayani Sri Widodo, Kirjomuljo, Toha Mochtar, dan yang lain.
Kalau Balai Pustaka berjasa menghadirkan karya sastrawan dari Masa Kebangkitan (1920-1945), maka Pustaka Jaya dari Masa Perkembangan (1945—sekarang). Periodisasi ini kupinjam dari tulisan Ajip Rosidi di buku ‘Masalah Angkatan dan Periodisasi Sedjarah Sastra Indonesia’ (Pustaka Jaya—1970).
Karya Ajip Rosidi pun cukup banyak yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya, termasuk ihwal dunia Sunda. Di antara semuanya yang paling lama kuburu adalah ‘Laut Biru Langit Biru’. Antologi karya sejumlah penulis Indonesia yang dihasilkan pada era 1966-1976 ini bertebal 691 halaman. Selain menghimpun, Ajip juga memasukkan karya sendiri di sana.
Terbit pada 1977, kitab bersampul tebal yang gambarnya dibuat pelukis Zaini kulihat pertama kali di sebuah perpustakaan kampus besar yang hampir selalu didekap sepi, saat aku masih kuliah di Bandung. ‘Koong’ (fragmen penulis eksistensialis Iwan Simatupang), ‘Sibaganding Sirajagoda’ (puisi panjang Mansur Samin), dan ‘Bawuk’ (cerpen Umar Kayam) yang termaktub di sana yang membuatku terpincut di awal 1980-an itu.
Pula untaian puisi dari Rendra (‘Blues untuk Bonnie’, ‘Bersatulah pelacur-pelacur kota Jakarta’, ‘Nyanyian angsa’, ‘Khotbah’, ‘Mengolah teratai’, dan ‘Seonggok jagun di kamar’), Wing Kardjo, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohamad, dan Abdul Hadi WM. Di samping yang dikumpulkan HB Jassin dan A. Teeuw, kukira waktu itu antologi inilah yang terbaik tentang karya sastrawan kita. Ingin sekali aku memilikinya. Tapi apa daya: sebagai mahasiswa perantau yang weselnya pas-pasan, uang ekstra aku tak punya.
Setelah bertahun-tahun memburu, bunga rampai ini akhirnya kutemukan juga. Waktu itu aku sudah menjadi wartawan koran ‘Bisnis Indonesia’. Bukan di tukang loak yang hampir saban hari kujambangi di Kwitang atau Pasar Senen sebab tak jauh dari kantor kami yang di Jl. Kramat V. Bukan pula di Palasari, Cikapundung (Bandung) atau Shopping (Yogyakarta) yang sesekali kulongok. Tapi di kios buku milik penyair-dramawan Jose Rizal Manua di kiri Graha Bhakti Budaya, TIM.
Seluruh kitab pajangan di sana sebenarnya sudah berkali-kali kuperiksa dalam kesempatan yang berbeda dan hasilnya nihil. Begitupun, berspekulasi juga aku pada satu ketika. Kutanyakan yang kucari.
“Ada, tapi koleksi saya. Sekarang ada di rumah,” begitu jawab Jose Rizal.
Kubujuk dia agar sudi melepaskannya ke diriku.
Pada lain hari dia akhirnya mau tapi dengan harga yang terbilang mahal di paruh pertama 1990-an itu: Rp. 70.000. Kondisinya masih bagus karena diplastiki. Sebagai perbandingan, ‘Leksikon Kesustraan Indonesia Modern’ yang disusun Pamusuk Eneste (Penerbit Djambatan, 1990) harganya masih Rp 6.000 di Gramedia, Matraman, di masa itu. Jadi, 11 kali lipat lebih.
Dengan jantung yang masih berdegup akibat tak percaya pada yang di depan mata, kucoba menawar. Ternyata harga tak bisa kurang sebab selain langka, buku itu koleksi pribadi. Kulunasi saat itu juga.
‘Laut Biru Langit Biru’ cetakan pertama Pustaka Jaya, seperti halnya, ‘Tjari Muatan—Empat Kumpulan Sadjak’ (Dinas Penerbitan Balai Pustaka Djakarta—1959) merupakan karya Ajip Rosidi yang bermakna khusus bagiku sampai detik ini. Tak pernah menyesal aku membelinya meski mahal.
Pustaka Jaya yang didirikan dan dipimpin Ajip Rosisi sepanjang 10 tahun adalah tonggak maha penting perbukuan Indonesia terutama yang berjenis sastra dan bacaan kanak-kanak. Di ‘zaman now’ yang serba dijital pun, kesejarahan berikut nilai penting korporasi ini tidak bisa dikecilkan.
Ajip Rosidi memang aset Indonesia yang sangat istimewa. Tak hanya sebagai penulis dan penyemai sastra Nusantara ia hebat tapi juga sebagai penerbit dan pegiat buku. Dalam ke-‘multi-tasking’-an ini sungguh tiada duanya dia dalam sepanjang sejarah Indonesia, negara yang beso berulang tahun ke-75. (Bersambung)
Sponsor