Home Bahasa Drama Pakaian dan Kepalsuan. ADA APA INDONESIA?

Drama Pakaian dan Kepalsuan. ADA APA INDONESIA?

0

ADA APA INDONESIA?

PEMILU SUDAH USAI. PENTING SUDAH MENYEBUT BAHWA KINI SAATNYA MENUNGGU SIAPA PEMENANGNYA?

Kenapa tanya pemenang? Ya dong, tak usah ya iyalah…pastinya ingin tahu siapa yang jadi juara. Ah tak penting juga. Jalani saja hidup ini. Oh tak bisa kita harus tahu siapa pemimpin nanti.

Dialog itu terjadi antara anak muda di sebuah kedai kopi. Tapi ternyata kedua mengalah untuk tidak memasalahkan diskusi yang tak penting dilanjut dari pada persahabatan makin tak jelas.

Lalu saya tiba-tiba ingat sebuah kisah drama berjudul “Pakaian dan Kepalsuan” karya Arkady Timofeevich Averchenko. Sebuah drama sadurannya dibuat oleh Achdiat Karta Mihardja. Dalam teks Inggris The man with the green necktie. Averchenko lahir di Prague pada tahun 1881. Averchenko aktif sebagai penulis dan editor di sebuah jurnal bernama Satyricon. Sebuah majalah yang banyak mengkritisi praktik kotor para politikus semasa pra-revolusi (irony) dan pasca-revolusi (satire). Averchenko menulis banyak artikel dan sudah lebih dari 20 buku di terbitkan.

Pasca revolusi Bolshevik jurnal Satyricon mendeklarasikan anti-soviet. Seluruh staff termasuk Averchenko mengambil langkah oposan bagi struktur pemerintahan yang tengah dibangun. The man with the green necktie merupakan salah satu buah renungan Averchenko atas situasi saat itu.

Lakon ini mengangkat fenomena sosial masyarakat yang masih konteks dengan realitas kehidupan masyarakat pada saat ini, yakni masyarakat ideal yang selalu melihat perspektif seseorang melalui pakaiannya tanpa tahu isi dalamnya. Perspektif seperti ini mempunyai implikasi lain terhadap masyarakat, yakni masyarakat yang paradoks. Paradoks yang dimaksud adalah, masyarakat yang mempunyai kecendrungan memberikan pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran.

Pakaian dan Kepalsuan yang mengalami situasi dilematis yakni sebuah konflik teologis dalam balutan problema kejiwaan. Pakaian dan Kepalsuanini mengambil cerita dalam latar sosial kepadatan ibukota pada era reformasi. Pakaian Dan Kepalsuan mengajarkan nilai-nilai universal yang masih relevan hingga sekarang, yakni: bahwa di balik sebuah pakaian sesunguhnya manusia memiliki jiwa dan watak yang berbeda. Pakaian dan Kepalsuan sangat menarik terutama pesan-pesan dalam menghadapi fenomena masyarakat ibukota yang nota bene merupakan masyarakat indonesia pada umumnya.Pakaian dan Kepalsuan sarat dengan ketajaman filosofis yang menjadi kredo penulisnya dengan penuturan yang jauh dari kesan menggurui dan ‘menghakimi’.

Pakaian Dan Kepalsuan menengarai suatu kondisi di mana terdapat kelompok masyarakat yang punya jabatan tinggi. Monumental yang dimaksud adalah, dimana setiap individu menjalani kehidupan yang hanya sebatas perkataan tanpa bukti. Hipokrit, adalah istilah lain untuk menyebut orang-orang semacam ini, karena kemunafikan dapat menyelesaikan masalah dengan kemegahan dalam menjalani pekerjaan bagi individu-individu ini. Pakaian Dan Kepalsuan, sehingga konflik dalam lakon seolah menjadi potret Indonesia di hari ini yang sangat sensitif dengan permasalahan politik, meskipun dengan perspektif latar belakang ideologi yang berbeda.

Jika kita kutip tulisan M Rizal Fadilah bahwa kompetisi Pilpres 2019 telah memakan korban hampir ratusan jiwa melayang tanpa jelas sebab dan siapa penanggung jawab. Kuat dugaan salah manajemen. Ditambah dengan tudingan kecurangan. Penjelasan atau argumen kontra tidak cukup kuat. Akibatnya dugaan kecurangan menjadi terus menggelinding. Pengumuman KPU bukan ditunggu tetapi terasa sudah dilewati. Kepercayaan pada KPU sangat rendah karena memang tak ada indikasi mengarah pada klarifikasi melainkan justru memperkuat legitimasi. Prosedur Bawaslu ditempuh melalui pengaduan yang gencar. Namun belum terasa progresnya. Kini sikap dan tindak lanjut Bawaslu menjadi pertaruhan apakah dapat meredam atau memanaskan.

Fase represif berjalan. Proses hukum tokoh-tokoh dilakukan. Alasan bisa dibuat. Pelapor-pelapor dadakan yang tak jelas kepentingan muncul. Kasus lama dijadikan sebab. Makar jadi delik empuk. Hukum menguat sebagai alat kekuasaan. Bahasa halusnya “dibentuk tim hukum” agar ada koridor untuk menjerat target. Model hukum yang subordinat politik menurut Nonete & Selznick masuk kategori hukum represif yang tujuannya semata ketertiban, diskresi luas dan opportunistik.

Pemimpin dan tokoh diciduk karena rezim gemetar pada gaung “people power”. Sebutan yang sedang disukai rakyat setelah dahulu tagar ganti Presiden. Counter isu seperti pemindahan ibukota tak menarik apalagi soal investasi Cina di program “Silk Road” yang dianggap oleh rakyat sebagai “road to the new colonialism”.
Negara dijual atas nama investasi.

Dan akhirnya dialog inilah yang ingin disampaikan:

“Silakan tuan-tuan, kejarlah orang-orang itu.

Pintu sudah terbuka luas untuk tuan-tuan.

Dan lampu-lampu di jalan cukup terang.

Ingin kulihat kepengecutan dan kepalsuan mengejar kejujuran”. (Dialog salah satu tokoh perempuan dalam drama Pakaian dan Kepalsuan).

Atas semua itu lantas bertanyalah….ADA APA INDONESIA?

by Lusdaina, pencinta seni Indonesia

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here