Oleh Gde Siriana Yusuf
Setelah kelas filsafatilmu selesai, aku buru buru keluar kelas mencari seseorang. Pikiranku kepada seseorang tak hilang sejak pagi tiba di kampus. Seorang mahasiswi cantik yang pertama kali kulihat. Amboi, siapa dia gerangan? Orangnyacantik manis, tapi kelihatannya bisa berubah jutek ketika tahu kalau dirinya sedang dipandangi laki-laki.
Dalam pikiranku ada dialog yang bertanya tentang dirinya, tapi lucunya aku sendiri yang cari-cari jawabannya hehe… Pulang ke kost aku tidak perduli dengan tugas yang diberikan dosen filsafat ilmu hari ini, menjelaskan tentang ontologi, epistemologi, metodelogi dan aksiologi dalam ilmu politik. Nanti aja, pikiriku.
Tapi tiba-tiba terbesit ide, bosen juga nulis-nulis teori, lebih seru kalua kupraktekkan saja semua teori dosen filsafat tadi di kelas.
Lalu pikiran kukembali ke gadis mahasiswi tadi. Namanya pun aku belum tahu. Bikin panjang tulisanku ini saja karena banyak gunakan kata ganti “sigadiscantik” hehe… Rasa ingin tahuku begitu besar tentang dirinya.
Rasa penasaran tepatnya. Aku teringat kata-kata dosen, rasa ingin tahu adalah inti dari ontologi. Mmmhh…menarik juga. Keberadaan dirinya di hadapanku telah menarik seluruh inderaku. Aku ingin tahusiapa namanya, kuliah semester berapa, jurusan apa. Bahkan mungkin ingin tahu anak siapa, rumahnya di mana. Bagaimana sifatnya, apa hobinya, siapa teman-temannya. Dan yang terpenting dia sudah punya pacar atau belum.
Maklum, setelah lulus kuliah nanti orangtuaku di Medan akan tanya kapan aku menikah. Itu selalu ditanyakan orangtua ku kepada kakak-kakakku yang telah lulus. Repetisi pertanyaan pada anak muda yang telah lulus kuliah.
Esoknya aku sudah tahu namanya, dari ibu penjual soto ayam di kantin kampus. Ternyata dia suka makan soto ayam, dan minumnya selalu air mineral, tidak suka softdrink seperti kebanyakan cewe seusianya. Ternyata iklan teh dalam botol itu selalu benar ya? Haha…
Setelah tahu namanya, rasa penasaran makin besar. Aku ingin mendekatinya sekedar ngobrol-ngobrol ringan. Pedekate singkatnya. Kepalaku berpikir keras lagi bagaimana cara medekatinya. Aku jadi teringat kuliah dosen kemarin, epistemologi membahas pendekatan-pendekatan terhadap masalah atau fenomena. Pendekatan yang bagaimana ingin aku lakukan kuharap dapat menjawab pertanyaan-pertanyaanku tentang dia.
Aku tidak tahu apakah pendekatan yang ingin aku lakukan berhasil, tetapi dalammenimbang-nimbang untuk melakukan pendekatan ini, aku mengandalkan rasionalku atas pengalaman-pengalamanku sebelumnya, juga pengalaman kawan-kawanku saat pedekate kepada seorang perempuan. Aku tidak mau membahas takdir pagi-pagi, karena jawaban itu di luar kuasaku.
Akupun tidak takut jika dia menolak pendekatanku atau bahkan menjauh. Bagiku realistis saja, kehidupan telah membuat laki-laki membutuhkan kehadiran perempuan.
Akupun tidak mau berpikir idealis sehingga terjebak dalamkonsep-konsep tanpa wujud. Terlalu idealis malah gak kawin-kawin,begitulah sering dikatakan orang hahaha…
Aku mulai menyusun beberapa pendekatan. Pertama lewat teman-teman perempuannya. Kata teman-temanku, cari tahu dari temen-temen perempuan mahal ongkosnya, banyak jajannya. Bisa-bisa malah temennya yang seneng sama lu, itu kata kawan kosku. Kalau udah gini, si temen bisa aja ngomong kalo si dia yang lu incer itu orangnya gak baik.
Setelahaku coba dekati teman-temanya, bener juga kata kawan kosku, temannya bilang hati-hati patah hati, dia suka PHPin cowo…
Pendekatan lain aku coba, lewat kakak kelas nya yang satuklub Basket dikampus. Tapi informasi yang aku dapat hanya bikin aku bingung. Katanya si dia itu egois orangnya,suka ngatur-ngatur dan merasa paling jago basket. Mmmh, aku berpikir jangan-jangan mereka ini sedang bersaing di Basket.
Biasalah, posisi kapten tim selalu jadi rebutan. Aku jadi teringat buku “100 dalil Mari Bergaul”, salah satu dalil mengatakan teman setia tidak pernah menjelekkan temannya dalam keadaan apapun.
Tugas kelas filsafat ilmu masih belum aku kerjakan. Tinggal 4 hari lagi dikumpulkan. Tapi aku masih asik praktek pedekate sama si dia. Ini cara pedekate terakhir yang harus aku lakukan setelah pedekate sebelumnya tidak bikin aku puas. Aku cari-cari buku-buku teori lama di meja belajarku.
Buku filsafat kuno “Buah jatuh tak jatuh dari pohonnya ”jadi pilihanku. Aku pikir sifat-sifat si dia tak berbeda dengan bapaknya.
Aku yakin dengan pendapat ini. Apalagi aku pernah baca teori kalau anak perempuan sangat dekat dengan bapaknya. Aku bulat menempuh pendekatan ini. Tapibagaimana caranya mendekati bapaknya? Ini perlu strategi dan taktik. Jadi teringat lagikuliah dosen Filsafat Ilmu, epistemologi berkaitan erat dengan cara mengenal dunia,sedangkan metodelogi berkaitan dengan prakteknya.
Artinya metodelogi merupakanstrategi operasioanal dari suatu pendekatan, yang di dalamnya ada prosedur-prosedur dan toolsnya.
Aku dapat informasi dari kawan kosku kalau bapaknya, sambil menyebut namanya, suka main catur di warung kopi sebelah rumahnya. Jadi aku persiapkan strategi untuk bisa bermain catur dengan bapaknya.
Mau gak mau seharian aku mengasah ulang teori pembukaan catur yang dulu sering aku mainkan. Singkatnya, ketika sampai di warung kopi, aku pesan secangkir kopi hitam panastanpa gula sambil mengamati beberapa orang yang mengerubungi dua orang bermain catur. Suara seruput kopi di bibir piring lepek kecil menambah gairahku untuk bisacepat-cepat melawan si bapak.
Aku masih belum tahu dari dua orang ini siapa yangbapaknyasi gadis, sampai ketikaadaorang yang menyebut nama si bapa kini. Aku mendekat ke kerubungan orang, dan melihat serius bagaimana si bapak bermain catur. Mmmh…boleh juga langkah-langkahnya, pikirku. Berat main sama dia,tapi aku harus menang agar dia penasaran dengan aku.
“Saya nyerah pak.” kata lawannya.
“Ayo, gantian, siapa lagi yang mau main,”lanjutnya sambil berdiri meninggalkan meja catur.
Aku tak sia-siakan kesempatan, segera duduk di kursi danmenatap si bapak. Yang paling berharga dalam hidup adalah kesempatan mengambil resiko, pikirku. Jenderal Soeharto contohnya.
Setelah berkenalan singkat, aku dan si bapak bermain. Pertarungan yang serudan langkah-langkah penuh tipu muslihat. Singkatnya aku dua kali menang melawan si bapak. Ini mengejutkan si bapak yang selama ini terkenal tidak pernah kalah di warung kopi itu.
“Besok main lagi ya anak muda,” kata si bapak saat aku hendak pulang. Aku jawab dengan santai, “Bapak sebenarnya bisa menang dari saya tadi. Tapi bapak terganggu suara-suara orang ngobrol. Kalo bapak main serius di rumah bapak yang gakberisik, pasti bapak menang.”
Aku pulang dengan hati senang. Strategi awal berhasil. Bapaknya sudah mengundang ke rumah untuk main catur besok. Tapi aku heran, koq bapaknya yang mukanya keliatan serem bisa punya anak secantik dia ya?
Atau karena si dia menurun dari ibunya yangcantik?
Ah, lihat besok saja, pasti ketemu juga dengan ibunya. Lalu jika ibunya biasa-biasa saja tidak cantik, nurun dari manaya kecantikannya?
Pertanyaan baru muncul menjelang aku sudahmau tidur. Aku teringat teori bahwa ibu hamil yang ngidam bisa mempengaruhi rupa si anak. Mungkin saja ibu si dia ini waktu hamilnya ngidam mandi kembang tujuh rupa ala Ken Dedes. Atau kecantikan si dia ini menurun dari neneknya, jadi ibunya sebagai carrier saja. Masa bodoh lah, ngantuk berat besok main catur lagi mesti fresh…zzzzzz
Aku masuk rumah si dia dengan hati berdebar. Rasanya seperti si dia hadir disitu. Di meja ruang tamu, sudah ada papan catur dan dua cangkir kopi panas beserta kue jajanan pasar. Mmmh serius pula ini bapak, sedangkan aku hanya main-main untukdekati anaknya. Sesuai strategi kedua, aku akan mengalah agar si bapak percaya omonganku dia bisa menang denganku jika main di rumah. Harapanku tentu agar bisa terus main ke rumah si dia.
Si bapak menutup games pertama dengan wajah sumringah, dengan bersemangat menawarkan kue jajanan pasar. Saat hendak main game kedua, ada suara perempuan dari pintu masuk ruang tamu memecah perhatian ku.
“Oh ada yang main catur…tumben bapak main di rumah…permisi…ibu tinggal dulu ke dapur ya.”
Aku yakin ini ibunya, dari potongannya, suaranya apalagi membawa barang belanjaan. Tapi ibunya seperti aku duga wajahnya biasa saja tidak cantik.
Mungkin benar teoriku ibunya saat hamil si dia ngidam mandi kembang tujuh rupa ala Ken dedes. Pikiran-pikiran lain berkembang karena aku tidak serius main catur. Targetku hari ini mengalah pada si bapak. Ketika hatinya senang maka aku bisa bertanya tentang anaknya, si dia. Dan aku berharap si dia pulang ke rumah dan melihatku sedang bermain catur dengan bapaknya.
Di tengah permainan game kedua, ibunya muncul lagi.
“Pak, ini lho desainnya sudah bagus kan”, sambil menyerahkan sebuah amplop besar berwarna biru salem. Si bapak diam saja, matanya tetap mengarah ke papan catur. Si ibu melanjutkan ucapannya ke arahku, “Ini lho, undangan nikahan anak kami bulan depan….” Aku tidak mendengarkan lagi apa yang diucapkan si ibu selanjutnya. Bagiku beberapa kalimat awal sudah menjelaskan semuanya. Kepalaku tiba-tiba pusing, dan aku segera merubuhkan rajaku pertanda menyerah pada si bapak. Lalu aku mohon pamit pada si bapak dan si ibu.
“Besok main lagi ya anak muda,”kata si bapak saat mengantarku sampai ke pagar.
“Wah aku ternyata bukan lawan bapak yang setimpal,” agak berdiplomasi aku menjawab, disertai ada rasa sakit di dalam hatiku.
Sampai di kos aku termenung. Aku sudah mendapatkan jawaban, tetapi jawaban yang tidak pernah aku harapkan. Tapi ini adalah realitas yang harus aku hadapi. Aku harus tetap semangat. Aku masih punya hari-hari yang lain, di mana aku harus terusmencari jawaban atas masa depanku. Bagiku hari ini ontologi dan epistemologi tetap indah meski memberikan jawaban yang menyakitkan.
Aku teringat bahwa besok tugas Filsafat Ilmu harus dikumpulkan. Itu juga jawaban dari masa depanku. Dengan suasana hati yang gundah gulana aku kerjakantugas itu. Di akhir penulisan tugas itu, aku menulis sebaris kalimat,
”Seringkali aksiologi di tempatkan diakhir, padahal aksiologi menjadi penentu yang menjawab di awal tentang hakikat dan untuk tujuan apa kita melakukan penelitian.”
Sponsor