Home DUNIA Cerpen: Bulan Lonjong

Cerpen: Bulan Lonjong

0

Cerpen: Bulan Lonjong

Oleh: Taufan S Chandranegara, praktisi seni, penulis.

 

DONGENG NEGERI ATAS ANGIN

Cahaya Membuka adegan itu.

Musik: Symphonic Metal adegan berkisah.

 

 

SUDUT LAIN SEBUAH TEMPAT.

 

Beberapa kali ia menghitung jemarinya, lengkap. Kangen ini menghimpit jiwa di antara kisah-kisah lain. Bumi seperti memanjang temaram. Selisik pikiran memulai satu dilema di  antara sejumlah kata dalam dialog di pikirannya. Apakah ia masih punya hati? Apakah ini punya sukma sebagaimana mestinya.  

 

“Bunuh saja.”

“Jangan.”

“Bunuh saja.”

“Jangan.”

 

Entah kesal kepada siapa. Kalau saja tak banyak kisah simpang siur, mungkin bisa memilih hal lebih estetis, melukis pegunungan misalnya, bukan dengan cara seperti ini. Satu hari satu jantung tak apa, toh besok masih ada banyak hari. Jantung siapa lagi harus diburu. Bisa jantung setan atau macan tutul atau keledai.

 

Kapan bisa menghentikan semua ini. Mengapa semua terasa memanjang, tidak memendek. Menyebalkan ketika semua tampak tak sebagaimana semestinya. Benda-benda memanjang melengkung tak beraturan. Sejak kapan hal macam ini terjadi, datang begitu saja nyelonong tak santun, tak jua mau pergi.

 

Kalau aku berjalan terbalik apakah semua akan berubah menjadi normal? Dalam pemahaman apa disebut normal, mungkin dalam standar hidup setiap manusia atau makhluk hidup akan berbeda-beda. Apa benar begitu? Tak pernah kudapati hal macam itu sejak aku memulai bisa memahami sekitar. Oh! Ternyata ini hidup.

 

Mungkin. Kalau ternyata sekarang ini sedang mati tapi seperti sedang hidup bagaimana membedakannya. Napas, ya napas. Bernapas atau tidak mungkin terasa pada detak jantung, satu, dua, tiga. Satu … seterusnya sama detik berjalan kedepan. Mengapa tidak berlaku mundur?

 

Apa ‘kan terjadi apabila waktu berjalan mundur? Mungkin benda-benda akan berjalan lebih cepat, menyusut, memendek, mungkin juga memanjang, atau jungkir balik barangkali. Hahaha kalau segala sesuatu berjalan jungkir balik bola mata keluar masuk, teling lepas sendiri beterbangan kian kemari.

 

Hihihi, mulut monyong tak menentu, hidung kembang kempis, wajah lepas mungkin saja menghilang. Kepala tanpa wajah seluruh anggota tubuh berjalan tak sebagaimana mestinya, masing-masing, tentu akan terjadi tarik menarik dalam satu pola tak beraturan hahaha otak terbang entah kemana sesuka hati. “Yes!”

 

Akhirnya bertemu sebuah ide, seru banget. Melompat-lompat berebutan ingin menjadi the first. Hah! Berarti akan ada lanjutan berikut. Ups! Tidak boleh. Bahaya.

 

“Bunuh saja.”

“Jangan.”

“Bunuh saja.”

“Jangan.”

 

 

SUDUT LAIN DI PEREMPATAN JALAN.

 

Baru saja melakukan kejahatan. “Hah!” Apakah berencana sebuah perilaku kejahatan? “Yes! Sir!” Sekalipun belum dilakukan. “What!” Ini kegilaan paling gila. Belum terjadi kanibalisme, lantas dianggap telah melakukan kejahatan. “Yes! Sir!” Niat anda sudah ditulis malaikat bahwa anda akan melakukan tindak pidana kejahatan.

 

“Loh! Tahu darimana?” Dari hati anda.

“Baiklah kalau begitu, saya makan hati saya.” Wow! Itu lebih kejam dari pembunuhan.

 

“Hah!” Jangan sok terperangah. Sang waktu sudah tahu apa akan terjadi.

“Hahaha! Kamu mengarang.” Tidak. Itu realitasnya.

 

“Pandir. Dasar kau pandir!” Kalau kesal mati saja.

“Kamu ini siapa sih!” Iblis. Baru paham ya. Iblis berada di setiap sel darahmu.

 

“Hahaha! Omong kosong!” Sejak anda lahir iblis bersemayam di sel – sel darahmu.

“Apakah iblis ada di semua makhluk hidup?” Yes! Kalau tak puas dengan jawabannya, anda sila mati saja.

 

“Caranya?” Mulailah melahap setiap ruas jari-jarimu. Sampai seluruh tubuhmu melumatkan dirinya tak berbekas.

“Maksud anda menyiksa diri sendiri?” Yes, good point.

 

Kalau dia benar – benar seekor iblis, aku bunuh bisa enggak ya. Apa betul monyet iblis itu ada di setiap sel darah? Dasar bajingan tetap bajing loncat, berkelit kian kemari. “Kamu dimana? Kenapa tak bersuara lagi? Kecut ya. Mentalmu mengkerut ya. Hahaha sok mengaku jadi iblis. Mana wujudmu. Ayo! Muncul. Tampil dong dimuka publik. Sekarang. Di sini! Wahai iblis ompong.”

 

Tak ada jawaban sampai ia kesal sendiri. Marah sendiri. Ngakak sendiri. Terpingkal-pingkal. Jumpalitan kegirangan. Ngakak sepuasnya. Ngoceh sepuasnya. Maki-maki sepuasnya. Menangis sepuasnya. Gila sepuasnya. “Jlep! Jlep! Jlep!” Setelahnya tak terdengar apapun, sekalipun sebuah desah.

 

 

SUDUT LAIN DI RUANGAN PUTIH.

 

Dia sudah menangis sepuasnya, telaah tentang cinta mati beku di benaknya. Bagi dia cinta tak ubahnya berondong jagung kesiangan. Dia terlalu merasa banyak berkorban demi cintanya. Ehh! Halah, kok mau merasa seperti itu. Cinta ya cinta, tamat ya sudah tutup buku ganti halaman baru. Ribetamat jadi manusia.

 

Praktis saja. Segala sesuatu ada awal tentu ada akhir. Nasib? Ra usah dipikir. Ngapain. Nasib hadir karena dipanggil oleh masalah dari you, and you, for you lah hai. The show must go on. “Hahaha Ndasmu benjut. Lah pripun, apa sedih enggak boleh berkelanjutan?” Nah, disitu letak komposisi masalah versus soal menyoal.

 

“Loh! Cintrong itu sebuah makna mendalam.”

“Sumur kale mendalam.”

 

“Aku serius.”

“Aku multiserius.”

 

“Beneran nih.”

“Sangat bener banget.”

 

“Okeh. Kita mengurut waktu.”

“Waktu enggak bisa di urut sayang.”

 

“Menelaah maksudku.”

“Piye carane.”

 

“Telaah waktu mulai dari …”

“Awal mula soal menyoal.”

 

“Pas mantab. Lanjut.”

“Kemana?”

 

“Kisah berikutlah.”

“Okeh.” Menarik napas pelahan. Lantas menggigit lelakinya sekuat – kuat.

 

“Haduh biyung! Ampun!”

“Kapokmu kapan? Kalau diajak ngobrol soal cinta enggak pernah serius.”

 

“Aduh sakit loh sampai ke uluhati.”

“Halah!” Keduanya saling berpagut, saling menggigit, tubuh keduanya melemah, matisuri, mengering, tak kinclong lagi. Lantas meledak jadi api di bawah cahaya bulan lonjong.

 

***

 

Jakarta SENI, April 25, 2024.

Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari saja.

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here