SENI.CO.ID — Sastrawan kawakan Indonesia, Yudhistira ANM Massardi menggelar pameran gambar digital dan puisi. Pameran tunggal dengan judul Gatal (Gambar Kata Digital) ini berlangsung 1-7 Maret 2023 di Geleri Pusat Kebudayaan Jawa Barat/YPK Jl. NaripanNo.7-9 Bandung.
Pada pembukaan pameran Yudhistira ANM Massardi mengatakan, dia harus menggeluti dunia lukis terbilang loncatan keluar dari kebiasannya. Sebuah ekspresi kegatalan saat pandemi covid 19. Dalam keterasingan dan kesunyian yang mencekam karena sekeluarga terserang virus covid, ia mencoba menguatkan daya hidupnya dengan melukis dan menulis puisi yang sudah lama menjadi bagian dari perjalanan kariernya di dunia sastra.
“Ini kegatalan saya saat pandemi covid 19, kegatalan saya dalam menggali hal baru, melukiskan pikiran dengan cara yang baru, dan menanggapi kegatalan-kegatalan realitas hidup yang terjadi akhir-akhir ini,” ujar Yudhis (1/3/23) di Gedung YPK Bandung.
Ungkapan pameran ini dilakukan dalam rangka merayakan hari kelahirannya yang ke 69 (1954-2023). Dalam usianya yang tidak muda lagi, dirinya tetap bersemangat di mejajaki hal-hal baru dalam mengalirkan ketegangan berkeseniannya, antara lain melukis di media digital.
“Dari sekian banyak lukisan digital dan pusi yang dibaut, hanya 21 karya lukis dan 39 karya puisi yang dipamerkan,” ungkapnya.
Pameran di Bandung merupakan bagian dari safari sastra yang dilakukannya setelah mengunjungi beberapa kota di pantura Jawa Tengah bulan Februari kemarin. Bagi pria kelahiran Subang, 28 Februari 1954 ini, Bandung adalah kota yang selalu dirindukan sebagaimana sajian puisi yang ditampilkanya.
Ke Bandung
Sepanjang jalan tol Cipularang
Kenang memanjang bergelombang
Seperti sebaris kisah tentang pulang
Tapi bukan punyaku, milik banyak orang
Tapi kamu menunggu di rest area, hingga siang
Ah, kalau saja tak ada Braga
Maksudku, kalau saja tak ada hujan
Kita akan terus berjalan
(Memang, sekarang tak ada kecapi, hanya
sederet lukisan pemandangan)
Mungkin kita belok ke Cikapundung
Sehabis mendung
Seperti kisah cinta yang urung
Ah, Bandung selalu bagaikan gadis kena tenung
Kedua bola mata hitam seperti dilukis Jeihan
Aku akan selalu datang
Memandang yang akan hilang
Aku tak bisa memangginya pulang.
Selain kerinduannya ke Kota Bandung, kegetalan Yudhis terhadap realitas hidup juga mengemuka dalam beberapa puisi yang ditampilkan, salah satunya terungkap dalam puisi;
Para Bangsat :
Mampuslah Kaum Melarat !
Di Ibukota
Masa lalu mengering di Ciliwung
Kolonialisme terbenam, tapi kebuasan jembatan-jembatan
Seperti jabatan-jabatan
Makin tinggi makin berkelindan kejahatan
Pangkat dimaksiat konglomerat
Hukum seperti nujum kaum majenun
Ke atas lebih getas dari kertas
Ke bawah merajam dengan kejam
Para pejabat korup dan para anggota dewan hewan
Mereka semakin khianat
Rakyat semakin melarat
Para pejabat lebih menghamba konglomerat
Adapun rakyat dibiarkan sekarat
Indonesia terus tersedot ke lubang hitam
Sumber daya alam terus dikuras dan diperas
Yang diwariskan hanya kubangan dan ampas
permohonan triliun hasil hutang
korban ton hasil hutan
suburnya ton hasil lautan
Dijarah di semua daerah
Para pejabat dan konglomerat
Menjadi drakula di seluruh Rumbia
Mereka menghisap darah rakyat
Mereka menghancurkan semua habitat
Mereka menjadi para laknat!
Mereka bejat hingga ke liang lahat!
Tetapi sistem keuangan digital
Membuat mereka semakin kebal
Tak bisa ditangkal tak bisa dicekall
Mampuslah kaum melarat!!
Herry Dim dalam pengantar Pameran Gatal Yudhistira ANM Massardi mengungkapkan, jauh sebelum pertemuan di Bulungan, Herry Dim sudah lama mengagumi cerpen-cerpen Yudhis yang dimuat di majalah Aktuil. Seperti halnya dia menikmati dan mengagumi juga karya-karya Beni Setia, Mira Sato yang kemudian menggunakan nama Seno Gumira Ajidarma, dan Danarto.
“Dua hal yang dinikmati, pertama tentu saja karya sastranya yang cenderung “aneh tapi ditulis dengan gaya bahasa yang basajan (bersahaja). Kedua, sangat menikmati ilustrasi pula cerpen-cerpen tersebut yang sungguh berlainan sekali dengan ilustrasi di majalah-majalah lain. Belakangan, seperti yang kemudian di istilahkan oleh Remy Sylado.Itulah gaya awam yang kemudian bertebar pula pada kecenderungan puisi “mbeling” dan “puisi awarn” di majalah yang sama,” jelasnya.| HER