Home AGENDA Seniman, Budayawan, dan Negara: Siapa Menentukan Arah?

Seniman, Budayawan, dan Negara: Siapa Menentukan Arah?

0

Loading

SERI POLITIK BUDAYA #3

Seniman, Budayawan, dan Negara: Siapa Menentukan Arah?

SENI.CO.ID – Budaya bukan benda mati. Ia lahir dari manusia, tumbuh dalam masyarakat, dan berkembang bersama zaman. Tapi, pertanyaan besar yang sering terlontar—siapa yang berhak menentukan arah budaya bangsa? Apakah negara? Seniman? Atau masyarakat itu sendiri?

Di titik ini, kita harus membedah lebih dalam hubungan antara seniman, budayawan, dan negara. Sebab, di antara ketiganya, terdapat tarik-menarik kepentingan, kuasa narasi, dan—tak jarang—konflik kepemilikan atas makna.

Negara: Fasilitator atau Pengatur?

Dalam sistem demokrasi, idealnya negara berperan sebagai fasilitator, bukan penentu tunggal kebudayaan. Tapi sejarah menunjukkan, negara kerap tergoda menjadi pengendali wacana. Dari Orde Lama hingga Orde Baru, kita pernah merasakan bagaimana kebudayaan dimasukkan ke dalam kerangka ideologi negara. Dalam banyak kasus, budaya dikerangkeng demi kekuasaan.

“Di mana negara terlalu jauh masuk ke ruang seni, di situ seni kehilangan napasnya.”

– W.S. Rendra

Kata Rendra menggambarkan realita: seni dan budaya membutuhkan kebebasan, bukan kontrol berlebihan.

Seniman: Kompas Nurani Zaman

Seniman dan budayawan seharusnya menjadi kompas nurani zaman. Mereka membaca realitas, menggugat ketimpangan, dan mengimajinasikan masa depan. Tapi di Indonesia, posisi mereka sering dipinggirkan.

Dalam pengambilan keputusan kebijakan budaya, suara seniman jarang terdengar. Padahal merekalah produsen makna yang sesungguhnya.

Indonesia harus berani menempatkan seniman dan budayawan di meja pengambil keputusan, bukan hanya sebagai pengisi acara. Sudah saatnya mereka menjadi mitra strategis negara dalam merancang masa depan budaya.

Budaya Milik Rakyat

Namun kita juga tidak bisa jatuh ke dalam jebakan elitisasi budaya. Budaya bukan milik seniman atau pejabat, tapi milik rakyat. Warung kopi, pasar tradisional, grup WhatsApp ibu-ibu, hingga permainan anak kampung—semua adalah ruang budaya yang hidup.

Kebijakan budaya yang baik adalah yang lahir dari partisipasi masyarakat, bukan keputusan satu arah. Negara dan seniman harus bersama-sama membaca denyut rakyat, bukan hanya selera elite.

Berdayakan, Bukan Menaklukkan

Kunci dari hubungan ideal antara negara, seniman, dan masyarakat adalah pemberdayaan. Bukan dominasi. Negara harus menciptakan ekosistem yang sehat, memberi ruang kritik, mendukung karya yang eksperimental, dan tidak takut pada suara-suara nyaring dari seniman.

“Kebudayaan tidak bisa dibangun dengan rasa takut. Ia hanya tumbuh dalam kebebasan.”

– Vaclav Havel, penulis dan Presiden Ceko

Indonesia membutuhkan keberanian ini: membuka ruang, bukan membatasi.

Kesimpulan: Perlu Dialog Tiga Arah

Masa depan budaya Indonesia hanya bisa lahir jika ada dialog jujur antara negara, seniman, dan masyarakat. Bukan top-down, bukan elitis, dan bukan populisme dangkal. Tapi kolaborasi sejati yang menghormati kebebasan, kesetaraan, dan keberagaman suara.

Budaya akan menjadi kuat jika negara tak menguasai, seniman tak merasa superior, dan masyarakat tak terpinggirkan.

Redaksi: Tim Seni.co.id

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here