Cerpen : Taufan S. Chandranegara.
Gedung Teater Umum. Malam.
Layar panggung prosenium, terbuka. Mengumandang suluk hati gembira menyambut kisah kelahiran masa depan. Membuka citra koreografi anak-anak sang matahari bersama anak-anak sang rembulan. Bermunculan tarian bunga bermekaran. Hutan-hutan lestari. Planet bumi tampak cerah. Baik-baik saja. Sehat walafiat.
Tata cahaya menebar memesona. Cahaya pantul bersilangan ke berbagai arah. Penonton takjub. Cahaya larut ke dalam adegan selanjutnya. Temaram dalam warna jingga semu keemasan, fokus cahaya menyorot horizontal ke sisi-sisi dalam panggung. Membentuk garis-garis bagai mencipta, kurva horizon.
Layar belakang panggung, lukisan alam terkembang turun, serentak musik gegap-gempita. Skeneri multi-teknologi pencahayaan menjadi kisah bayang-bayang kehidupan. Cahaya mencipta khazanah seni rupa panggung. Berkilau-kilau, menghipnotis.
Komposisi visual, simultan mencipta fantasi. Konfigurasi koreografi, tarian kain berwarna perak mengombak, konsep klasik, tradisi-tradisi. Tercipta monokrom naturalisme, dramatis modernisme.
Layar panggung dramaturgi tubuh-tubuh muncul. Simultanitas kemasan cahaya indah tak terperi. Bentuk-bentuk teater tubuh, sejak abad sebelum masehi mengolah ekspresi. Kala itu, konon, tubuh menjadi dasar gerakan hidup, mengolah tanah tradisi. Tercipta, ronggeng klasik purba. Beriringan, suluk-suluk bersyair spirit kehidupan, mantra-mantra.
Gending semarak, menawan multidimensi warna mengangkasa. Abstraksi tubuh-tubuh mengisyaratkan dramaturgi tradisi. Pencahayaan panggung menghilang, cepat.
Lampu berubah.
***
Set panggung, sebuah pohon duren nan rindang. Sang aktor berdiri di depan pokok pohon duren, dicipta peranannya. Pemeran itu, hanya ingin batuk-batuk, terus menerus. Salah satu cara untuk membungkam dirinya. Dia lelah, karena terlalu banyak bicara.
Keputusan ingin batuk-batuk, terus menerus, bukan lantaran, dia, bercita-cita menjadi juragan obat batuk top of the pop. Keputusan itu merupakan keputasannya sendiri, tidak diragukan pula oleh dirinya sendiri. Tidak pula atas anjuran maupun perintah siapapun, atau pula, tidak atas kehendak mimpi-mimpi, selalu, hadir setiap malam mengganggu tidurnya.
Meski mimpi-mimpi itu, disembunyikan oleh perasaan diam-diam, agar tak satupun, atau siapapun tahu. Walaupun, secara langsung maupun tidak langsung, mimpi-mimpi itu merupakan salah satu penyebab, mendorong dirinya, secepat-cepatnya, menuju reka cipta peranan, batuk-batuk.
Si pemeran tengah mempertimbangkan, pilihan batuk-batuk macam apa. Nah, sulit menentukan, begitu beragam jenis batuk-batuk, tergantung diagnosis.
Namun peranan telah berlangsung. Mau tidak mau, dia, harus mampu melahirkan seni akting maha dahsyat, batuk-batuk, dengan ciri khas estetis, spesifik, spektakuler, kontemporer, sekaligus menyenangkan.
Dia, memang tidak diragukan lagi, jam terbang sebagai aktor karakter, mumpuni. Seni perannya bakal mantap, mampu memukau kekaguman penonton, telah membeli tiket tontonan teater modern itu.
Lampu berubah. Sosok-sosok lalu lalang.
***
Adegan berlangsung lagi.
“Apakah anda sedang berbincang-bincang dengan pohon ini?” Tegur sapa salah satu peranan tetangga. Kebetulan sedang melintas akan menuju entah. Penasaran, tak mendapat jawaban. Sekali lagi tetangga itu bertanya. Tak juga dijawab. Tetangga itu menatap si pemeran, sejenak. Lantas keluar ke panggung kiri.
Adegan kembali menggambarkan sosok-sosok lalu-lalang.
Setiap hari, si pemeran, hanya diam, berdiri mematung, menghadap pokok pohon duren. Seolah-olah sedang berdialog dengan seksama, di bawah kerindangan pohon duren. Letak pohon duren, tak persis di depan set jalan setapak menuju ke set rumah si pemeran. Kurang lebih dua meter ke kanan, dari sudut arah pandang bagian tengah auditorium penonton.
Para tetangga, selintas waktu sebatas sekilas pandang. Mulai melirik perilaku si pemeran, sedikit demi sedikit, bertahapan, hari demi hari, semakin memperhatikan perilaku unik si pemeran. Berjenjang, menarik perhatian, unik, aneh. Berkelanjutan menjadi biasa saja. Lepas dari perhatian para tetangga.
Sesekali, kalau kebetulan lewat demi mengobati rasa penasaran di benak masing-masing tetangga, ada saja, tetangga mencoba mendekat, menegur dengan santun, sesingkat mungkin. Tetap tak ada jawaban. Tetangga segera menjauh. Keluar ke panggung kanan.
Kadang kala pula, lagi-lagi ada saja, tetangga dengan sengaja, berdialog panjang lebar tentang berbagai hal, termasuk asal-usul binatang kecil undur-undur. Hingga kejadian metamorfosis ulat menjadi kupu-kupu. Sampai manfaat penangkaran ulat sutra bagi kelangsungan hidup babad kreatifitas budaya, penciptaan seni menenun kain.
Termasuk membahas lebih jauh, mengenai manfaat orangutan bagi hutan lestari, hijau nan permai demi menjaga keseimbangan ekosistem, baik secara antropologis maupun geologis.
Bahkan ada pula, ajakan tanding catur, main bola, main kasti, main tenis, main pimpong, main ular tangga, main congklak kayu, main bulu tangkis, main layangan, main lompat karet, hingga main petak umpat. Sayang disayang cinta tak bertuan, semua tawaran baik, dari para tetangga, tetap, tak digubris.
Digambarkan pula dalam adegan itu. Suatu siang hari, ada tetangga nekat, juga karena penasaran. Membawa keluar pesawat teve miliknya, berukuran, tiga puluh dua inci, dari dalam rumahnya, dengan kabel sepanjang ruang set adegan itu.
Agar si pemeran, mau menonton acara-acara keren, di media elektronik televisi. Lagi, tetap tak digubris. Ada pula tetangga lain dalam adegan itu, membawa pesawat radio transistor. Lantas memperdengarkan lagu-lagu gembira terkini. Juga tak digubris.
Pertanyaan demi pertanyaan senantiasa silih berganti. Tentang berbagai hal, serupa obrolan di warung kopi. Bagaimana riset pemeranan macam itu. Konsisten pada perilaku seperti itu. Mengapa bisa akting begitu, persis seperti itu.
Dikisahkan dalam tontonan itu, peristiwa terjadi selama beberapa jam, dari waktu pagi hingga siang hari. Lantas, si pemeran kembali masuk rumah. Demikian, adegan demi adegan, berlangsung.
Perilaku baik para tetangga, ingin lebih dekat, lebih jelas, lebih fokus, melihat seni akting batuk-batuk aktor panggung mumpuni. Meski, tak digubris sekalipun.
“Sungguh sangat indah.” Demikian suara-suara kekaguman peranan para tetangga. Sebagaimana kisah bergulir memukau, dari tontonan teater modern itu.
Lampu berubah. Set panggung prosenium, berubah rupa pula.
***
Panggung menjadi set abstraksi ruang antah berantah khayali, surealisme. Semacam gambaran dunia khayal kahyangan, mungkin, bagai antardunia maya, dalam waktu maya pula.
Adegan dibuka dengan suluk selayang pandang tentang pesona angkasa kahyangan cerah-ceria subur makmur, mengagumkan.
Muncul kombinasi visual, dalam nyanyian. “Jar! Jir! Jor!” Terus menerus diulang-ulang. Derap barisan pasukan langit serentak rampak, berkostum zirah mengkilat berkilat-kilat. Berkepala berbagai jenis makhluk penghuni planet-planet. Konfigurasi koreografi, bermanuver akrobatik, eksotik, keren.
Susul menyusul, berbagai estetik memukau dalam kemasan seni koreografi, gemerlap modern tata cahaya panggung. Menggambarkan bahwa kahyangan, pusat kasih sayang, cinta perdamaian.
Lampu berubah. Panggung prosenium membuka adegan lanjutan.
***
Digambarkan dalam adegan berikut. Pada waktu lain nun jauh di sana sedang terjadi promo aksi super canggih versi antarbenua. Mungkin, dalam rangka pencapaian target khalayak, ditengah pangsa persaingan dagang dunia terbuka.
Dikisahkan dalam adegan kali berikut. Bermula dari persoalan perut sangat sederhana, lantas menjadi rumit, saling-silang, serupa benang kusut. Profit, menjadi perdebatan antarplanet.
Para dewa di benua-benua itu, konon, tak ingin ikut campur urusan makhluk kasat mata. Para dewa hanya menyaksikan dari layar langit berhias mega-mega indah. Berdoa, berharap, semoga para makhluk kasat mata, mampu menuai solusi kemaslahatan, bagi masa depan mereka kelak.
Kontroversi antar peradaban terus berlangsung, kehidupan terus bernafas. Perdebatan pun masih seputar urusan tali pusar. Eksistensi, pangsa pasar antarbenua, ditengah pangsa antarpesaing. Masih berkutat seputar kualitas menentukan pesanan, sejumlah kuantitas. Merujuk pada batas wilayah dagang semesta, mencapai pangsa pasar super-interkontinental.
Lampu berubah. Cuaca panggung mencipta imajinasi.
***
Celaka mati. Celaka duka. Kaum kerajaan raksasa, mengintip kesempatan. Invasi kaum raksasa akan masuk di celah waktu. Berdiam di antara waktu planet bumi, juga waktu langit kahyangan. Ancaman serius bagi planet bumi.
Berita itu, telah diketahui pusat data, Semar, mengutus Bimasena, selaku penanggung jawab keamanan planet bumi, sekaligus keamanan semesta. Bimasena, mengangkat tangan mengepal, berkuku Pancanaka sakti.
Perintah meningkatkan kewaspadaan, adalah tugas untuk Gatotkaca, agar mengawasi wilayah keamanan udara, juga kepada Antareja, wajib mengawasi wilayah keamanan daratan planet bumi.
Bimasena, dibantu dewa laut, Poseidon, untuk meningkatkan keamanan wilayah samudra. Karena Bimasena, telah menerima mandat dari Semar, untuk menghadap raja dewa, Batara Guru, di kahyangan. Membawa pesan rahasia mustika lontar, tersimpan di telinganya.
Ketika perjalanan Bimasena menuju kahyangan. Raja dewa, Batara Guru, sedang rapat tertutup dengan para dewa sejagat, membahas seputar keamanan langit jagat raya. Diduga kaum raksasa, telah menyusup, nyaris mendekati perbatasan zona aman ozon.
Jika kaum raksasa, tidak segera dicegah. Oksigen bumi akan habis, dihisap planet kaum raksasa, sedang paceklik oksigen. Penyebab kaum raksasa gagal panen. Hal itu mengundang keprihatinan Semar.
Semar atau Kyai Lurah Semar Badranaya, adalah Batara Ismaya alias Sanghyang Tunggal. Senantiasa mengetahui hal ihwal sebelum kajadian.
Semar, mengemban kewajiban. Menjaga semesta damai indah lestari, bumi tetap subur makmur bercahaya. Bagai puisi-puisi cinta para filsuf semesta. Panggung prosenium berganti skeneri.
Jakarta, Indonesia, 20 Juni 2019.
***