Tafakur. Dihening tanpa batas.
Bahagia. Mungkin, di kegembiraan tanpa batas. Mungkin, ada juga kekejaman tanpa batas. Lintasan berbagai peristiwa, ada, sejak janin di dalam kandungan, dilahirkan, masa pertumbuhan, hanya perasaan-perasaan semirip kegembiraan, riang hati, hingga usia balita menuju akil balig. Waktu tempuh menuju dewasa, kegetiran, asam manis, hitam putih, pahit asin, warna warni, musikalisasi keadaban. Bagai gurindam mengalun merangkai pantun, tertulis sajak-sajak kehidupan.
Ia bersimpuh. Bersujud. Di pusaran zikir alam raya.
Daulat hati kembali mengukir kisah-kisah di waktu tempuh. “Tidak diragukan lagi.” Petugas penyelidikkan dengan tegas. Tim petugas segera mengevakuasi jenazah. menuju autopsi. Suara sirene ambulans mengangkasa.
“Identitas?” Kata suara, tegas terfokus.
“Fakta mendukung. Teridentifikasi. Data telah terperinci oleh tim forensik.” Lantas keduanya meninggalkan lokasi.
Tanah di tempat kejadian itu menjadi saksi. Pada saatnya nanti pasti akan bertanya, kelak.
***
Biola dimainkan, irama mengalun kian kemari, seakan-akan menjalin asmara cinta pertama, lantas cinta kedua, cinta berikutnya, cinta masa remaja, cinta remaja menuju dewasa, berkelanjutan menjadi kisah-kisah cinta. Dalam puisi-puisi, rangkuman novel, roman-roman klasik merangkai sejarah, di antara waktu paralel, peradaban, lagi, tentang kehidupan. Lahir, hidup, mati. Ikhlas.
“Ibu? Masih bertemu cahaya itu.” Suara Ams. Tengadah, mata Ams berbinar-binar bening menunggu jawaban.
“Iya. Senantiasa hadir di mimpi Ibu.” Zachriah, mengecup kening Ams. “Berkemaslah lebih cepat. Sebelum bel masuk kelas berbunyi, kita harus tiba di sekolah.” Ams memeluk erat Zachriah, beberapa saat. Zachriah, memahami berbagai hal, pertanyaan-pertanyaan, di benak Ams.
***
Di waktu tempuh paralel, tentara imperium terus berderap, memacu kuda-kuda mereka dengan kecepatan penuh, menuju suatu tempat ketempat lainnya. Mungkin mereka sedang memburu hal tak terpahami oleh mereka, namun tugas adalah tugas, perintah kaisar, absolut. Mengguncang bumi, menggebrak semesta. Suara ringkik kuda memecah malam rembulan bertabur gemintang, tampak ramah bagi bumi serta segala isi alam raya. Kilatan api obor-obor tentara imperium bagai menyiratkan tujuan mereka.
***
Secepat itu pula Zachriah, mengayuh sepedanya menuju sekolah Ams. Tiba tepat waktu sebelum bel masuk kelas berbunyi. Ams, mencium tangan Zachriah, keduanya saling memberi kasih sayang.
“Ibu?” Suara Ams seperti meminta sesuatu, mata bening itu menunggu penjelasan.
“Kau tunggu di sekolah. Ibu akan menjeputmu.” Ams, belum mau beranjak dari tempatnya, menatap. Zachriah, tersenyum pada Ams. “Usai Ibu menerima semua pembayaran dari pelanggan.”
“Dari toko-toko sekitar terminal?” Ams, meraih tangan Zachriah, ditempelkan kepipinya.
“Ya. Setelah Ibu mengantar pesanan makan siang semua pelanggan.” Ams, kembali mencium tangan Zachriah, lantas segera berlari menuju cita-citanya.
“Dia, selalu ingin tahu.”
“Juga Selalu serba tahu.” Kata suara, bersahutan, dari balik pagar tanaman pohon kembang sepatu, mengelilingi sekolah Ams dengan indah.
“Bapak-bapak. Selamat pagi!” Jawab Zachriah, sangat mengenal kedua petugas kebun sekolah itu. “Salam baik.” Senyum Zachriah, cahaya, kebijaksanaan itu. Telah dikenal pula oleh kedua petugas kebun tempat Ams, bersekolah.
“Salam baik kembali Ibu Ams. Hati-hati di jalan.” Kata kedua suara itu, hampir serentak.
“Terima kasih.” Zachriah, kembali mengayuh sepedanya, menuju harapan untuk Ams, jiwa hidupnya.
***
Bunga pengantin dilemparkan keangkasa, modernisme, berebutan menangkap makna. “Jodoh!” Suara renyah saling berdampingan. Mereka, berbagi bunga. “Nih, biar jodohnya menyebar.” Suara-suara kegembiraan, bahagia, pecah telur masa lajang. Di pelaminan.
“Dia masih ganteng.”
“Masih merindu?”
“Enggak lah. Sudah lewat masa kampus. Anakku dua. Anakmu?
“Mau tiga. Nih baru telat tiga minggu.”
“Amin. Kau tak terlihat mengidam.”
“Dari dulu aku kan badak. Itu, membuat mantanmu jadi suamiku.” Lantas keduanya, menderaikan tawa kebahagiaan. Kereta dalam kota membawa mereka kerumah masing-masing.
***
Waktu berjalan sebagaimana mestinya. Cuaca kehidupan menentukan harapan, demikian pula sebaliknya. Sebagaimana alam senantiasa memberi kebaikan, diperlukan keseimbangan, telaah hidup, menentukan tujuan-tujuan dengan seksama.
“Kau lihat gugusan awan-awan memeluk bukit-bukit, hingga, seakan tak terhingga. Aku tidak bisa membayangkan, jika putaran ekosistem semesta mendadak berhenti.”
“Gravitasi berhenti?”
“Ya.”
“Jangan dong. Nanti enggak bisa naik gunung lagi.” Keduanya memandangi panorama pagi nan indah, nun jauh, sebatas pandangan mata. Sedekat, kearifan mereka pada alam.
Jakarta, Indonesia, 28 Mei, 2019.
CATATAN REDAKSI: Pada Juni 2019 kami redaksi SENI.CO.ID memuat Cerpen, Puisi, bahkan cerita bersambung. Semoga para pencinta literasi atau sastra berkenan dan memberikan cakrawala baru. Setiap naskah yang masuk kami saleksi dan setiap karya yang dimuat akan kami berikan imbalan yang setimpal. Kali ini Karya Taufan S. Chandra seorang Seniman multi seni kami tampilkan kehadapan pembaca, selamat menyimak.
Copyright SENI.CO.ID