Air Mata Bumi:
Debu kosmik mendetak waktu,
Menyisakan jejak-jejak angkasa,
Pohon kehidupan porak poranda,
dibasuh oleh kembang peradaban
Milyaran tahun,
Menggeliat,
Merentak,
Menarikan Semesta Raya,
Ibu bumi yang merintih…. perih…
Menitik air mata.
Itulah satu pengantar Perhelatan Tari Semesta, “Air Mata Bumi” dari koreografer Lena Guslina bersama kelompok tari Legus Studio.
Sajian itu ditampilkan pada 28 April 2017 di Galeri Nasional Jakarta. Lena adalah penari yang sangat kuat akan eksperimentalnya. Ia menembus ruang tari dalam kekuatan makna yang baru. Respon akan ruang publik dan kekuatan alam diolah dalam tata gerak yang menyatu. Sejumlah pertunjukannya mengugah para penonton dan memiliki sublimasi gerak yang dalam.
Koreografer lulusan STSI/ISBI Bandung ini merupakan koreografer masa depan bagi percaturan tari Indonesia. Dalam refleksi keprihatinan ibu bumi sebagai bagian dari Semesta Raya, dimana sebagai pengantar dari pameran lukisan Cadas Lena tampil memukau.
Malam itu bahkan Dirjen Kebudayaan Farid Hilmar mengaku bahwa pengantar ke pameran Cadas Lukisan ini terwakili dalam representasi karya tari Lena Guslina.
“Ini sajian yang membawa kita pada kekuatan makna dari pameran lukisan Cadas yang kuat, ia mereprestasikan alam dan arkeologi. Sajian tari bermakna dan kuat sebagai representasi dari pameran ini,” jelasnya.
Jika kita menyimak sajiannya dalam pengantarnya Air Mata Bumi adalah memaknai glorifikasi penciptaan semesta dan evolusi tanpa henti dari semesta dan mahluk di bumi, renungan akan keberadaan Zat Ilahiah, Sang Maha Pencipta.
Keberadaan planet bumi sebagai rumah singgah manusia pada jagat raya adalah perjalanan panjang dari peradaban yang kelak akan menyambung, lalu pindah pada kehidupan dan dimensi waktu lain. Bertumbuhnya Pohon Kehidupan, disusul berkembangnya peradaban serta pranata kebudayaan sejatinya selalu selaras untuk menjaga keseimbangan alam.
Alih-alih ekstensifikasi lahan pada agro industri, justru meluasnya deforestasi dan eksploitasi yang mendera kesuburan akan alamiah tanah. Penyusutan hutan yang begitu masif dan sangat cepat untuk pemenuhan hasrat ekonomi juga telah menggusur flora, fauna juga komunitas sosial selaku “native” hutan tersebut. Silang sengkarut kebutuhan masyarakat perkotaan akan lahan hunian, komodifikasi setiap jengkal ruang kota, industrialisasi di banyak belahan bumi, tidak terkendalinya penanganan polutan dan kebisingan adalah sebagai derivatif bagi gangguan kesehatan telah menjadi paradoksal, khaotik bagi sendi-sendi kehidupan.
Problematika disharmoni alam, anomali dan kaotik akankah seterusnya diwariskan bagi generasi ke depan? Ataukah pula pada gilirannya pasrah ketika tiba saatnya bumi, alam ini mereposisikan diri, lalu mendestruksi seluruh peradaban pada masanya?
Berbagai disharmoni alam ditandai dengan simptom diantaranya: peningkatan suhu bumi, anomali cuaca yang berpengaruh bagi siklus tani, banjir, longsor telah menjadi keseharian manusia. Keperihatinan semesta ini ini menggugah koreografer Lena Guslina mengekspresikan geliat tubuh, tari semesta linier dengan terapan teknologi inter media. itulah catatan sajian Air Mata Bumi.
Namun makna sajian itu lebih menukik lagi saat visual gerak memainka kekuatan gerak tablo Lena yang bertan dalam rentang waktu 60 menit sejak acara akan dimulai. Ada kekuatan jiwa tari yang dalam tersaji dari Lena. Kekuatan itu adalah makna dia meraih jiwa dari proses raganya. Lena membaca bumi dan memadu kekuatan ekspresi dari respon kekinian. Dalam dunia tari dunia saya jadi ingat Martha Graham (11 Mei 1894 – 1 April 1991) koreografer tari Amerika dianggap sebagai salah satu perintis tari modern terkemuka, yang pengaruhnya pada tari dapat dibandingkan dengan pengaruh tokoh Stravinsky itu pada musik, Picasso di seni visual , atau Frank Lloyd Wright di arsitektur.
Lena membuat gaya baru dalam gerakan tablo, diam namun visual ekspresi terus bergerak multimedia yang sempurna membuat pola ini disebut bagai Martha Graham yang bermain dengan gerakan mengejutkan.
Catatan saya memang Lena bukan Martha Graham namun ada penciptaan bahasa baru gerakannya yang menyurupai. Ada ungkapan gairah, kemarahan bahkan ekstasi kulminasi merespon konsisi alam yang dihuni manusia.
Sekali lagi memang Lena bukan Graham ia menari dan ber koreografi dengan kekuatan ekspresi jiwa yang bebas. Graham telah tujuh puluh tahun menari, Lena mungkin baru 15 tahunan bergelut, Graham penari pertama yang tampil di Gedung Putih, penari pertama yang pernah bepergian ke luar negeri sebagai duta budaya, dan penari pertama yang menerima penghargaan sipil tertinggi USA: Medal of Freedom.
Lena belum nari khusus di Istana, namun jika keliling sejumlah negara Lena sudah pernah melakukan lawatannya.
Jadi kisah Air Mata Bumi adalah kekuatan Lena yang semoga saja mengantar dia jadi penari dunia. Dan sekadar catatan kini Indonesia memiliki Lena sang penari yang kuat akan jiwa-jiwa alamnya. Begitu juga saat dia mengungkap dirinya bahwa, “Aku membuat karya dalam tari dan memungkinkan semua itu aku respon, alam kehidupan dan konsisi saat ini yang bersentuhan, karena semua itu tidak bisa dihindari dan saya menikmatinya,” ujar Lena kepada penulis.
Dan bersama timnya ANA, REZA NOISE – Head Pieces & Make Up: Dimy Dimbow – Music & Video Projection Mapping: Magicbox_Lab – Lighting Man, Technic & Security Man: RIKY OET – Video Documenter: MADIWSS – Production Manager: R. FADLY sajian yang merupakan Program KEMENDIKBUD RI, Direktorat Jendral Kebudayaan, Direktorat Kesenian, Sub. Dit Seni Media adalah ruang baik dan semoga berlanjut bukan sekadar sampai pada Air Mata Bumi, namun ada yang lainnya.
Karena kekuatan Lena saat tarian disajikan adalah kekuatan yang berhasil menginterpretasi Air Mata Bumi dan Jiwa-Jiwa yang dalam sehingga makna tariannya kuat penuh esensi. Inilah penari masa depan Indonesia yang sebenarnya. TABIK!
– AENDRA MEDITA, pemimpin redaksi seni.co.id
Silakan jika berminat lihat Videonya: https://www.facebook.com/aendramedita/posts/10212803042213799?notif_t=like¬if_id=1494048914684600seni.co.id
Sponsor