SENI.CO.ID – Komponis Ananda Sukarlan saat ini sedang berada di tengah-tengah suku kaum Aborigin di Australia Utara. Bukan berniat berpetualang, ia sedang meneliti musik dan budaya kaum Aborigin tersebut.
Pasalnya, ia akan membuat karya orkes “The Voyage to Marege’ ” yang menceritakan tentang hubungan pelaut-pelaut Makassar yang datang ke Marege’ atau sekarang bernama Arnhem Land (sekitar 900 km dari Darwin, kota terbesar terdekat) pada abad 18.
Karya ini adalah permintaan dari Kedutaan Besar Australia di Jakarta bekerjasama dengan Darwin International Festival. Rencananya, karya ini akan dipertunjukkan secara bertahap : di Graha Bhakti Budaya (Taman Ismail Marzuki) pada 31 Agustus mendatang sebagai hadiah Kedutaan Besar Australia untuk publik Indonesia merayakan bulan kemerdekaannya, kemudian di Darwin International Festival Juni tahun depan. Dari tengah-tengah suku Yolngu, Ananda sempat menjawab beberapa pertanyaan dari seni.co.id melalui email.
Seni: Kisah sejarah apakah yang Anda akan gambarkan di “The Voyage of Marege” (selanjutnya kami sebut “Voyage” – red)
AS (Ananda Sukarlan) : Sekitar abad 18 itu ternyata pelaut-pelaut Makassar telah menjalin hubungan dengan suku Aborigin di titik utara Australia, titik terdekat dengan Indonesia. Mereka mencari teripang, dan menjual rempah-rempah ke suku Aborigin. Karena hal ini, terjadilah akulturasi, juga ada beberapa kata dari bahasa Makassar terserap ke bahasa Aborigin, serta pengenalan Islam. Banyak dari pelaut Makassar itu menetap di daerah sekitar Arnhem Land sehingga banyak keturunan campuran juga.
Seni: Bisa diceritakan asal-usul karya Anda ini?
AS : Ini berasal dari keinginan pemerintah Australia untuk memperkenalkan budaya Aborigin ke dunia internasional. Berhubung adanya sejarah hubungan Makassar-Aborigin ini, Australia lewat Kedutaan Besarnya di Jakarta menuturkan keinginannya supaya saya membuat karya musik yang akan dipagelarkan juga di Darwin International Festival, dan saat ini Makassar International Writers Festival (MIWF) juga sedang berupaya membawa karya ini tahun depan ke sana.
Seni: Bagaimana proses kreatifnya selama ini?
AS : Kebetulan saya diundang oleh MIWF bulan Mei lalu (2017) sebagai pembicara. Kedatangan saya ke sana saya gunakan untuk berkunjung ke kabupaten Pangkep daerah Bugis dimana saya berbincang-bincang dengan seorang Bissu tentang hal ini dan tentang musik. Tapi ternyata memang yang ke Australia abad 18 itu orang Makassar, bukan orang Bugis. Walaupun demikian, saya banyak mendapatkan masukan tentang budaya daerah Bugis dan Makassar, serta perbedaannya. Yang paling penting, sewaktu ngobrol dengan Richard Mathews, konsul jendral Australia di Makassar bulan Mei lalu, beliau memberi saya buku “The Voyage to Marege’ ” karya Campbell Macknight yang sangat berguna buat saya. Judul karya saya juga akhirnya mengambil judul buku tersebut.
Sekarang saya ke Darwin dan suku Yolngu selama sekitar 1 minggu untuk mempelajari tradisi musik mereka, terutama dengan didgeridoo (alat musik tradisional mereka). Karya saya ini akan menggunakan didgeridoo sebagai solois diiringi orkes simfoni, dan mengeksploitasi elemen musik asli Aborigin, Makassar serta elemen musik Arab untuk menggambarkan pengaruh Islam. 2 elemen dari latar belakang berbeda ini adalah cara menjembatani dua genre musik yang berbeda (“etnis” dan “tradisi klasik”) geografis serta ruang dan waktu.
Pemain didgeridoo adalah Djakapurra Munyarryun yang asli Aborigin. Tanggal 31 Agustus ini durasinya akan berkisar 25 menit, tapi untuk Darwin Festival tahun depan akan sudah lebih panjang lagi.
Seni: Bagaimana proses selama ini ?
AS: Lancar sih, kecuali saya harus interupsi bulan Mei lalu, karena tiba-tiba Kompas meminta saya untuk membuat karya musik berdasarkan cerpen “Tanah Air” karya Martin Aleida, yang terpilih menjadi Cerpen Terbaik 2016 dan penyerahan penghargaannya dilaksanakan 15 Juni lalu. Saya terus terang senang sih, karena selain cerpennya sangat inspiratif, juga itu memberi kesempatan untuk “istirahat” dari menulis komposisi The Voyage of Marege’ selama 3 minggu. Saya bisa lebih objektif mendengar “Voyage” setelah balik lagi ke karya itu setelah 3 minggu total melupakannya, dan merevisi banyak hal.
Seni: Berapa lama dibutuhkan orkes anda untuk mempersiapkan karya ini?
AS : Rencananya sih Djakapurra akan tiba di Jakarta mulai latihan dengan Ananda Sukarlan Orchestra tanggal 28 Agustus, 4 hari menjelang pertunjukan tgl. 31 Agustus. Sedangkan orkesnya sendiri akan mulai latihan sekitar 25 atau 26, jadi total kami semua bertemu bersama selama 1 minggu. Tapi sebelumnya para pemain akan sudah menerima partiturnya (doakan lancar jadi bisa segera kelar ya!) sejak awal Agustus untuk mempersiapkan masing-masing sendiri.
Seni: Total, berapa lama waktu yang Anda butuhkan untuk menulis The Voyage to Marege’ ini?
AS : Haha …. ini masih jauuuuh dari kelar! Saya mulai sketsanya sekitar April, mulai corat-coret tapi terinterupsi oleh “Tanah Air” yang saya ceritakan di atas selama 3 minggu. Sekarang di antara suku Yonglu ini saya banyak mencatat, mengumpulkan bahan, merekam, tapi tidak menulis musik sih. Sayang waktunya …. saya cuma ingin banyak belajar saja hari-hari ini, budayanya, cara berpikirnya (yang sangat sangat terbuka, by the way) bahkan cara memasak makanannya! Target saya sih selesai awal Agustus, tapi yah manusia yang ngrencanain, Tuhan yang nentuin, dan … orang lain yang ngomentarin kan hehehe …
Seni: Penelitian ini menarik bukan hanya dari segi musik … apa benar?
AS : Betul banget …. saya sih rencana akan mem-post video pekerjaan saya bersama suku Aborigin ini di youtube serta menulis artikel-artikel di media yang tidak melulu berhubungan dengan musik tapi juga dengan misalnya tradisi mereka sehari-hari.Seni: Untuk konser 31 Agustus mendatang, selain karya ini, ada karya apa lagi yang dipagelarkan? Siapa yang mempagelarkan?
AS : Akan ada karya komponis Australia Betty Beath yang sangat terpengaruh oleh Indonesia : Lagu-lagu Manis. Juga ada karya Peter Sculthorpe, yang kini setelah ia wafat bisa dianggap sebagai komponis paling berpengaruh di Australia. Saya yang akan memimpin orkes saya sendiri, Ananda Sukarlan Orchestra, memainkan semua ini. Sedangkan di Darwin Festival akan dimainkan oleh Darwin Symphony Orchestra.
Seni: Apakah konser itu bakal untuk umum?
AS : Betul, dan gratis (sebetulnya saya sih tidak setuju konser gratis, tapi ini kan memang hadiah Kedutaan Besar Australia untuk merayakan bersama Agustus memperingati Kemerdekaan RI). Semua bisa mendapatkan undangan, mulai awal Agustus sudah bisa didapatkan. Saya akan infokan lewat twitter dan instagram saya. Bisa tweet saya saja, kalau butuh info lebih lanjut di @anandasukarlan.
–AM/SENI
Sponsor