Home AGENDA Ananda Sukarlan: Seni Musik Indonesia Hadapi Globalisasi

Ananda Sukarlan: Seni Musik Indonesia Hadapi Globalisasi

0
SENI.CO.ID – Ananda Sukarlan adalah  Komponis & pianis ternama kali ini ia berbincang dengan seni.co.id menjelang dua konsernya di Bali bulan Oktober nanti. Berikut  dialognya yang khusus.

Q : Karya-karya apa saja yang anda akan tampilkan di 2 event besar di Bali Oktober nanti, World Culture Forum (WCF) di Bali 10-13 Oktober dan Ubud Writers & Readers Festival (UWRF), 26-30 Oktober nanti?

AS : Intinya ada 2, dan justru sangat berbeda: di WCF saya menampilkan ulang karya2 yang sudah “lulus ujian” karena sudah mendapat pengakuan publik di sebelumnya. Ini forum untuk “menunjukkan taring” kita ke dunia, jadi memang harus karya-karya yang sudah “diuji-coba” serta harus menunjukkan ke-indonesiaan yang kuat.  Tadinya karya-karya tsb diminta oleh institusi / perorangan, misalnya “Fantasy on Selendang Sutra” adalah untuk mengabadikan momen 10 tahun Indonesia Opera Society. Sedangkan “An Ode to the Nation” adalah permintaan BJ Habibie untuk mengabadikan cintanya terhadap alm. Ainun istrinya. Dua-duanya saya tulis tahun ini. Sedangkan di UWRF justru menampilkan karya-karya baru yang merupakan permintaan dari Pusat Kebudayaan Spanyol “Cervantes Institute” dan Kedutaan Besar Spanyol yang mensponsori dan mengundang saya di Festival besar ini. Mereka memesan karya vokal baru dari saya berdasarkan karya sastra Miguel Cervantes dan Federico Garcia Lorca, yang diperingati 400 th dan 80 th wafatnya tahun ini. Saya menerimanya dengan bahagia, karena saya fans berat terutama Garcia Lorca. Salah satu yang saya buat adalah dari puisi Lorca yang terindah, sebuah Oda untuk Salvador Dali.
 
Q : Bisa bocorkan sedikit, paling tidak garis besar pidato anda di World Culture Forum?
AS : Saya sih akan fokus ke 3 hal. Pertama bahwa Indonesia itu beda dengan Eropa & negara-negara “Barat” dalam pengelolaan industri musik sastra. Kedua, sebetulnya konsekuensi dari point pertama tadi, adalah bahwa untuk bisa memperkenalkan musik Indonesia itu ya kita harus punya identitas sendiri. Tidak bisa menjiplak begitu saja. Kita harus punya konsep jelas, apa itu “Indonesian classical music” justru untuk bisa “go global”. Kita bahkan bisa melebihi mereka, karena walaupun mereka punya Mozart, Bach dll., tapi kita juga punya kekayaan yang lain: seperti musik daerah kita yang berbeda tangganada, harmoni, melodinya dll yang membuat keindahan tersendiri. Juga karya-karya seni lain yang bisa menginspirasi seperti sastra (yang terinspirasi oleh cara hidup atau kejadian nyata), kehidupan nyata seperti ritme menumbuk padi dll. Ritme menumbuk padi itu misalnya jangan dianggap remeh loh, itulah inspirasi dibalik karya besar String Quartet no. 8 komponis Australia, Peter Sculthorpe. Ketiga, adalah pelestarian budaya. Melestarikan itu termasuk mengembangkan, bukan “membekukannya”.Anggapan bahwa musik “klasik” harus “baku” (atau beku?) itu salah … itu yang membuatnya jadi klasik dalam arti “kuno” dan tidak mengikuti zaman.
anandaQ : Nah, apa itu “Indonesian classical music”? Bagaimana dengan unsur “kedaerahan”? Apa di abad 21 ini masih relevan untuk mempertahankan identitas kita, dan bisakah kita bersaing sebagai “musikus global”?
AS : Itu seperti 2 sisi mata uang. Seringkali saya diminta satu badan atau institusi seperti Kementrian Asing atau Kedutaan Besar untuk menggabungkan elemen musik dari negara tersebut dengan elemen musik Indonesia. Nah, saya jadi berpikir, elemen musik Indonesia dari propinsi / bagian mana? Apa karena saya orang Jawa, jadi elemen itu harus berbunyi gamelan? Kita ini seperti Rusia, tapi belum (dan semoga tidak akan) mencapai titik dimana Turkmenistan, Uzbekistan, Kazakhstan, Chechnya, Tajikistan, Moldova dsb. tiba-tiba pecah sendiri masing-masing dengan bahasa, latarbelakang kultur dan etnis tersendiri. Dulu, Rachmaninov, Prokofiev, Schnittke dll adalah “komponis Rusia” yang menulis “musik Rusia”; kalau mereka masih hidup sekarang, mereka bukan lagi “Rusia”. Dari situ saya berpikir, komponis Indonesia itu apa sih? Seni musik Indonesia itu apa sih? Akhirnya jawaban itu hanya bisa kita dapatkan justru dari proses eliminasi. Yang pasti, musik Indonesia itu bukan ini, bukan itu.
Q: Tapi musik anda terpengaruh juga oleh jazz, rock bahkan oleh musik komponis Rusia yang anda sebut di atas dsb., bukan? Bahkan anda pernah menyebut elemen musik pop seperti Beach Boys dll …
AS : Itu dia yang bikin lebih runyam. “Classical music” mau tidak mau berakar dari musik Eropa, dan  juga dari jenis musik lain karena proses globalisasi. Saya kira musik sastra, seperti karya seni lainnya justru diperkaya oleh pengaruh-pengaruh dari luar itu. Ada musik gamelan di opera Benjamin Britten “Death in Venice” yang sangat “Inggris”, ada jazz di musik Dmitri Shostakovich yang sangat “Rusia” …. apa itu membuat Britten jadi musik Bali dan Shostakovich jadi Afro-American? Tidak kan, justru dari situ kita melihat cara mereka mengolah gamelan bali dan musik jazz yang berbeda, yang akhirnya memperkaya perkembangan musik Bali dan jazz itu sendiri.
Q : Apa ini berhubungan dengan yang anda maksud dengan pelestarian budaya?
AS : Benar. Pelestarian itu bukan hanya menjaga agar karya seni itu tidak berubah, tapi juga mengembangkannya, serta membuatnya berkontribusi menjadi karya seni yang lain. Romeo & Juliet menjadi mendunia karena karya itu telah menginspirasi banyak sekali karya seni lainnya: musik Tchaikovsky dan Prokofiev, ballet, karya lukis, opera dll. Tapi Romeo & Juliet juga bisa menjadi hal yang lain, seperti film yang dibintangi Leonardo diCaprio dan Claire Danes, atau Westside Story, bahkan di kita sendiri ada film Andibachtiar Yusuf yang menumpu pada kubu-kubu sepakbola  (walaupun nama tokohnya bukan lagi Romeo & Juliet walaupun judulnya tetap). Itu membuktikan bahwa karya seni yang besar bisa “tahan banting” bahkan semakin lestari dengan adaptasi dan interpretasi yang terus berubah, berbeda dan berkembang.
Q : Di Ubud Writers & Readers Festival, anda bahkan membuat karya berdasarkan kesusastraan para pujangga Spanyol Miguel Cervantes dan Federico Garcia-Lorca. Apa anda bakal kehilangan “keindonesiaan” anda?
AS : Tidak dong. Saya lahir dan besar di Indonesia tapi sudah sejak umur 18 tahun tinggal di Eropa (Belanda 11 th, Spanyol 20 tahun). Globalisasi itu justru harus membuat kita semakin kuat berakar ke identitas kita. Semua kebudayaan asing yang saya serap justru membuat saya lebih mengerti di mana posisi saya dan identitas saya. Bukan hanya sebagai manusia, tapi juga dalam produk yang kita hasilkan: yang kuat identitasnya lah yang bisa bertahan. Merk-merk seperti Starbucks, Coca Cola, IKEA itu ada dimana-mana dan global, karena mereka memiliki identitas yang kuat yang tidak “luntur” di seluruh negara dan tempat mereka mengembangkan bisnisnya. Garcia Lorca, Shakespeare, Robert Frost juga Beethoven, Bach, Mozart dll itu memperkaya musik saya dan justru menjadikannya lebih “saya”, dan lebih Indonesia. Dalam globalisasi, kita harus menonjol (“stand out”), bukan melebur.
Q : Anda mengajak 2 vokalis klasik muda Mariska Setiawan dan Widhawan Aryo Pradhita di WCF. Selain itu Ananda Sukarlan Orchestra menggabungkan musikus-musikus terbaik saat ini. Anda bisa dibilang telah “menemukan” bakat-bakat luar biasa di dunia musik sastra Indonesia. Bagaimana caranya?
AS : Sebetulnya sih tadinya saya membutuhkan talents untuk produksi saya sendiri, yaitu dengan mengadakan kompetisi. Saya banyak berterimakasih kepada para rekan di Yayasan Musik Sastra Indonesia yang membantu dalam kompetisi piano Ananda Sukarlan Award, dan Amadeus Performing Arts di Surabaya yang mengadakan Kompetisi Vokal “Tembang Puitik Ananda Sukarlan”. Dari situ kita menemukan bakat-bakat luar biasa, yang tanpa kompetisi seperti ini mereka sulit memiliki kesempatan atau “panggung” untuk menunjukkan bakat mereka. Ini sih langkah pertama berkarir setiap musikus klasik, yaitu audisi atau kompetisi. Setelah itu baru mereka bisa berkarir dan berkontribusi terhadap industri ini, tapi kalau mereka tidak “ditemukan”, bagaimana bisa memulai berkarir?  Padahal kalau sebuah negara diibaratkan sebagai toko, karya seni dan budayanya adalah etalasenya. Dunia mengenal satu negara dari seni dan budayanya. Itu sebabnya industri seni adalah aset negara, harus dikerjakan oleh “teamwork”, dan saya masih melihat banyak musikus muda yang masih buta dengan cara berkarir. Aspek ini yang masih belum diajarkan di perguruan tinggi musik di Indonesia, bahkan di banyak negara. Pendidikan hanya fokus ke keahlian dan ketrampilan, tapi bagaimana pengembangan karir itu sendiri masih diabaikan. Akhirnya banyak dari seniman muda malah saling menjatuhkan. Padahal untuk industri yang sehat, kita membutuhkan lahan yang subur dan ditanami oleh berbagai macam tanaman serta ekosistem yang baik. Dan semua itu akhirnya saling melengkapi. Saling membunuh itu membuat lahan ini menjadi gersang dan akhirnya tidak produktif untuk semuanya. Akhirnya kita akan ketinggalan dari negara-negara tetangga kita.
Q : Bulan Oktober juga adalah rencana anda untuk memperdanakan opera “Tumirah” yang komplit, bukan?

AS : Ah, itu terpaksa kami undur, karena ada 2 event besar di Bali ini. Jadinya “Tumirah” akan kami pagelarkan tahun depan, sekitar Februari atau Maret. Nanti setelah saya tiba di Indonesia akan kami umumkan tanggal tepatnya pagelaran “Tumirah” di Jakarta. |ATA/SENI.co.id

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here