Home DIALOG PUISI ACEP IWAN SAIDI, MENGUNCANG JIWA

PUISI ACEP IWAN SAIDI, MENGUNCANG JIWA

0
Acep Iwan Saidi

SENI.CO.ID – Pada pekan ini kami Redaksi SENI.CO.ID mengahadirkan satu puisi yang sangat dahsyat.

Kami sajikan untuk Anda, kami menerima banyak tulisan seni dan budaya, termasuk didalamnya puisi, artikel dan lainnya: Secara Eksklusif kali ini kami muat puisi Acep Iwan Sadidi (AIS), selamat membaca.

Acep Iwan Saidi

TAPAK RIAK JEJAK OMBAK

Adakah yang tidak pernah bosan selain ombak? Selalu dikirimnya kabar ke pantai, dari jauh, dari palung-palung terdalam sejarah.

Ditulisnya berita pada hamparan pasir, pada tebing-tebing karang, pada batang-batang bakau. Dengarlah, deburnya adalah perjalanan abadi. Telah dihapusnya waktu hingga ombak itulah waktu. Bukankah ia juga yang membangunkanmu dari lupa kepada kala, saat kamu lengah pagi-pagi. Hingga terdengar teriak itu: “tsunami!”.

Dan sebuah bahtera terdampar di atas bukit. Barangkali kamu juga ingat, tentang semesta yang menjadi ombak. Dan laki-laki perkasa yang berjaga di al-Judi.

“Akulah Hang Tuah,” gelombang yang menjadi pasang ketika segala datang menghadang. Telah begitu banyak pembajak yang memisahkan laut dari pantai. Pulau-pulau lepas menjauh. “Ke Jawa, ke Jawa kita bersegera!” teriak para nelayan Pasai yang terlempar di Tidore. Hongi telah memaksa mereka menjadi petani. Dan rodi. Ah, sekiranya kamu ombak, pasti kamu akan berkisah lebih banyak.

Namun sayang seribu sayang, legenda telah mengutukmu menjadi batu. Ombaklah pula yang justeru telah mengukir kisah itu di tubuhmu: Malin yang tidak bisa kembali. Mungkin nyata benar katamu, sekali layar dikembang, tidak perlulah ingat pulang. “Ke Jawa, ke Jawa kita bersegara!”. Begitulah. Kamu pun menikah, beranak, dan berbahagia.

Kamu telah meninggalkan Tasik yang tenang, menjadi Tuti yang tidak pernah kembali ke nagari; sedang Sutan tidak suka meninggalkan belantara kembara. Barangkali kamu hanya suka mengikuti takdir, mengalir ke hilir, menuruni liku dan lekuk batang sungai. Namun sayang seribu sayang, ke laut kamu hanya menyeberang.

O, La Galigo, di palung manakah pinisi terkubur? Barangkali kamu menemukannya dalam disertasi. Tradisi, memang selalu seksi untuk diteliti. Aku bersaksi atas Pius Caro yang melacak jejak dalam 69 malam, bukankah ia memulainya dari asap kemenyan yang ditiupkan hingga ke pusat laut, tepat ketika seorang pemuda tersungkur di geladak.

Ia memang tidak berlayar ke Madagaskar, tidak menepi di Ausi. Ia juga tidak menengok Tiongkok. Ia biarkan sang putri sepi sendiri dalam lukisan pelangi.

Tapi, lihatlah, biduknya berlabuh dalam lubuk-lubuk terpencil sejarah, tapak yang memanjang dalam ingatan. “Nenek moyangku/orang pelaut”, desismu dengan dada membusung pada tiap upacara di sela-sela nyanyian Indonesia Raya. Aku mendengar debur dari jauh. Tiap subuh. Ketika tidak ada suara selain sunyi yang menjerit hingga ke langit: pinisi yang digantung di jembatan Suramadu. “Kami bangga, Madura telah bisa mengimpor garam”, kata seorang pejabat.

Konon ia sempat mengaku cicit ke 1000 Sawerigading, yang lahir tepat ketika malam turun di laut Jawa.

Dan Pulau Jawa adalah sebutan lain untuk formasi segi tiga, barisan bukit yang bergandengan di selatan. Masa lalunya adalah rimba, hutan yang tumbuh di atas kuburan seorang dewa yang terbunuh di sebuah rawa. Para raja memang dilahirkan di situ. Tapi, semua terkubur di dalam babad, juga seorang patih yang pada akhirnya ringkih. Lantas tiba para pemburu dari utara, yang terlalu perkasa untuk digada. Mereka menghunus senjata anti konta: sebentuk bulatan besi api yang meluncur dengan kecepatan hantu.

“Meriam setan telah membuat cetbang meregang!”, teriak seorang telik sandi dengan lidah yang terbetot oleh ketakutannya sendiri. Pernah seorang pangeran berturban mengejarnya hingga ke seberang, tapi pada akhirnya ia pun terdesak ke dalam semak di bibir pantai, di Demak. Konon sang pangeran tak murni dikalahkan secara jantan. Tapi, itulah hukum dalam perburuan.

Sebuah hutan memang surga bagi para pemburu. Dan masa lalu Jawa adalah rimba, tempat Raden Saleh memamerkan lukisannya di galeri harimau, sebelum seorang noni memajang di kamarnya yang asri di Braga. Hindia moi. Ahai, betisnya terlalu mulus untuk diciprati lidah ombak.

Para perjaka tumbuh subur dengan wajah pegunungan yang teduh. Cangkul ditanam dalam-dalam, jagung pun tumbuh susul-menyusul. Maka mangan ora mangan adalah ngumpul.

“Jangan berjalan terlalu ke selatan jika tidak hendak dibujuk ratu setan. Kau akan tenggelam dalam kesengsaraan,” demikian saran pelancong dari tanah benua, yang datang bersama para perambah, para ahli jalan raya, dan, tentu pula, pakar pembuat kereta. Dari Anyer hingga Panarukan laut karam ombak tenggelam. Engineers in happy land.

“Kita harus membuat tol laut, menjadi poros maritim dunia”, demikian kepala negara menuliskan visinya di atas sebuah mobil bak terbuka dalam perjalanan Jakarta-Surabaya, di atas jalan bebas hambatan yang sepi.

Beberapa truk pengangkut sayuran memilih keluar jalur, ke Pantura. “Tol terlalu beresiko pada dompet. Dalam biaya berlipat, bawang putih bisa bertambah pucat”. Oh, nusa yang mengantarai laut, masih bolehkah keyakinan itu menjadi rajah, sedangkan jejak ombak hanyalah tapak. Laut mengapung di dalam mimpi, tapi tenggelam dalam pikiran, juga ketakutan.

Tanah tumpah darah, darah tumpah di tanah. Jika ada yang lebih mudah mengapa mencari yang susah. Namun, jika di darat kamu hanya cakap menjarah, ada baiknya pula kamu takut kepada ombak, agar laut tidak lekas surut, supaya samudera tidak segera didera.

Batik pesisir batik pekalongan, batik komar lahir di Sunda. Cantik disisir cantik tampilan, cantik benar dilirik dunia. Nusantara itulah kita. Ramah sikapnya, halus budinya. Hijau hutannya subur tanahnya. Batu tumbuh tongkat berakar. Ikan berenang di kolam madu, kambing mengembik sambil minum susu. Siapa tidak tersungkur dalam rayuan, gemulai pesona pulau kelapa. Naiklah naik ke atas gunung, di kiri kanan bunga belaka. Oh, inilah negeri dengan sejuta cerita. Fakta dan fiksi tidak ada beda.

Uh! betapa telah lama kita terlelap dalam cerita, yang direka para juru peta. Bumi air dan isi hutan, sepenuhnya dikuasai perusahaan. “Semua untuk masa depan kemajuan!”, demikian tertulis pada setiap pidato kenegaraan. Dalam buku harian pemimpin berkerakyatan, tertulis pula bagian yang mengagumkan: kita sudah merevolusi mental. Dan Pancasila, sudah lama final.
*

Telah aku lacak jejak ombak
Tapak pun beriak pada artefak
Oh, debar dan derak menggelucak
Jiwa luluh tubuh lantak

Sebab itu, tulislah pada kanvasmu
“Barangsiapa melukis bisu masa lalu
Ia telah membuat masa depannya gagu!”

Bandung, 11 Februari 2019

Lihat sajak Chairil Anwar yang berjudul Tak Sepadan.
Lihat novel Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana.
Epik puituk tentang Penciptaan dalam masyarakat Sulawesi
Lihat Pius Caro, Ekspedisi Phinisi Nusantara, Jakarta: Kompas, 2012. Caro Dalam epik La Galigo, Kapal Pinisi dibuat untuk pertama kali oleh Sawerigading,
Lihat Denis Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya, Jilid 1, (Jakarta: Gramedia), hal Variasi dari kisah dalam novel sejarah Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Variasi dari buku karya Rudolf Mrazek. Judul aslinya: Engeneers of Happy Land:

TENTANG ACEP IWAN SAIDI

Acep Iwan Saidi (AIS), lahir di Bogor, 9 Maret 1969. Tamat sekolah terakhir di S3 Seni Rupa ITB, tahun 2007. Kini mengajar di FSRD ITB. Bidang yang digeluti (kepakaran) Semiotika (seni, desain, dan kebudayaan termasuk di dalamnya politik).  Menulis buku, antara lain, Desain, Media, dan Kebudayaan (Buku Referensi, 2017),  Surat Malam Untuk Presiden (Kumpulan Status di Facebook, 2014), Tuhan, Kamu, dan Cinta (Antologi Puisi, 2012), Mendesain Penjara (Antologi Esei Desain dan Kebudayaan, 2011), Metode dan Strategi Efektif Membaca Karya Seni (Buku Referensi, 2009), Narasi Simbolik Seni Rupa Indonesia ( Buku Referensi, 2008), Mengapa Saya, Bukan Aku (Antologi Esei Bahasa dan Budaya, 2008), Aura Waktu, 50 Th ITB (Ketua Tim Penulis), (2009), Notasi Pendosa (antologi puisi, 2007), dan Rindu (antologi puisi, 2017). Aktif meneliti, menulis di media massa, pembicara pada berbagai seminar, dan narasumber media elektronik (televisi).

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here