OLEH P Hasudungan Sirait
Jakarta paruh pertama 1968.
Hari itu mereka bertiga menemui Gubernur DKI, Ali Sadikin. Ilen Surianegara yang punya ide. Temannya yang lebih muda 2 tahun (Ramadhan Kartahadimadja) dan 13 tahun (Ajip Rosidi) ikut saja.
Sesama orang Sunda yang bermuka-muka. Tentu saja mereka berempat langsung guyub. Apalagi sang tuan ramah berpembawaan santun, hangat, dan blak-blakan meski tegas. Satu hal lagi, Ilen yang merupakan atase pers dan kebudayaan di KBRI Paris pada 1954-1959 sudah mengenal dia karena istri mereka berkarib. Adapun Ramadhan KH dan Ajip Rosidi, baru kali itulah mereka berinteraksi dengan mayor jenderal KKO yang dilantik Presiden Soekarno pada 28 April 1966 sebagai kepala daerah Jakarta.
Ilen dan kedua kawannya mengutarakan maksud. Mereka memulai dengan menggambarkan keadaan kebudayaan di negeri kita, terutama di Jakarta, yang di masa itu begitu menyedihkan. Pemikir, budayawan, dan seniman sedang lesu darah. Kalaupun ada yang masih terus bekreasi, tiada majalah budaya yang menampung karya mereka. Akibatnya, komunikasi antar-sesama terputus.
Ketiga tamu itu tentu saja tidak sedang melebih-lebihkan keadaan. Memang sudah berkebalikan situasi sejak Presiden Soekarno ditumbangkan. Kegairahan kaum pemikir, budayawan, dan seniman yang sungguh membuncah dan diwarnai dengan hiruk-pikuk tak berkesudahan selama belasan tahun, saat itu sudah tinggal cerita.
Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang sangat progresif sekaligus provokatif telah mendinamiskan betul kebudayaan di negeri kita begitu ia dideklarasikan di Jakarta pada 17 Agustus 1950. Seni rupa, musik, teater, sastra, dan cabang lain dihidupkannya dengah menekankan secara khusus segi kerakyatan agar sesuai dengan paham anutannya: realisme sosialis. Tak hanya dalam karya material ia bernas tapi juga dalam pemikiran. Yang terakhir ini bertebar dalam macam-macam terbitan termasuk di buku-buku dan lembaran khusus suratkabar berhaluan kiri.
Mendapat angin dari penguasa, LEKRA yang bersemboyan ‘politik adalah panglima kesenian-kebudayaan-kesusasteraan’ akhirnya sangat hegemonik. Perlawanan dari kubu sebelah pun muncul, terutama dari Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI, organisasi kebudayaan Nadhatul Ulama; Usmar Ismail dan Asrul Sani pernah menjadi ketuanya) serta kelompok Manifes Kebudayaan (Manikebu).
Pertarungan antar-kubu ini tentu merupakan dialektika kalau dlihat dari jurusan proses kreatif. Potensi terbaik dari masing-masing pihak mengemuka dengan sendirinya di alam persaingan yang keras. Kebudayaan Indonesia-lah yang diuntungkan karena pengayaan serta-merta berlangsung sekian lama.
AJIP ROSIDI BERSAMA AKTOR FILM DEDDY MIZWAR SAAT WAGUB JABAR/Andi Sopiandi
Ternyata pendulum kemudian mengayun ke titik jauh di sebelah. PKI dipersalahkan penguasa Orde Baru sebagai otak dan pelaku peristiwa Gerakan 30 September 1965. Apa pun yang terkait dengan partai politik yang dipimpin Dipa Nusantara Aidit menjadi terlarang untuk seterusnya. LEKRA termasuk. Kalau tak dibantai, pegiatnya dijebloskan ke dalam tahanan. Dengan sendirinya dunia kebudayaan kita menjadi sangat sepi sesudahnya.
Tak hanya di tahun 1968 itu; hingga jauh hari kemudian pun Gubernur Ali Sadikin kerap mengatakan dirinya awam soal lukisan, sastra, musik, dan seni yang lain. Begitupun, sebaik mendengar tuturan Ilen, Ramadhan, dan Ajip dia langsung bisa membayangkan apa jadinya jika kebudayaan sampai lesu darah di Jakarta dan kota lain di Indonesia.
Sebagai orang yang sudah beberapa kali melancong ke luar negeri, mantan Menteri Perhubungan Laut ini mengetahui betul bahwa kota-kota maju di seluruh dunia senantiasa mementingkan betul hasil otak manusia yang bisa mengayakan rohani siapa saja.
Tatkala ketiga tamunya mengatakan berniat menghadirkan majalah kebudayaan, ia menyambut dengan penuh gairah. Pemda DKI, ujar dia, akan membantu dari segi pendanaan tanpa pernah ikut campur dalam urusan keredaksian. Dana APBD yang kemudian ia gunakan (Ramadhan KH dalam B’ang Ali—Demi Jakarta 1966-1977’, Pustaka Sinar Harapan, 1992 serta Ajip Rosidi dalam ‘Mengenang Hidup Orang Lain—Sejumlah Obituari’, KPG 2010) Ketiga tamu itu kemudian pulang dengan hati lapang dan girang. Sangat wajar, tentunya.
‘BUDAJA DJAJA’
Tak sekali itu saja Ilen (nantinya menjadi mertua kakak-adik Slamet Rahardjo dan Erros Djarot) , Ramadhan, dan Ajip menjambangi Ali Sadikin. Untuk mengkonkritkan penerbitan majalah kebudayaan yang diidamkan serta rencana lain yang bermunculan, masih beberapa kali lagi mereka bermuka-muka.
Terbitan itu akhirnya mewujud pada 2 Juni 1968. ‘Budaja Djaja’ namanya. Di nomor perdananya ada sambutan dari Bang Ali. Ia antara lain mengatakan:
“…Keberanian melontarkan pendapat yang berbeda dengan yang umum, haruslah dipupuk. Bangsa kita, terutama budayawan-budayawannya hendaknya jangan menjadi bebek ataupun beo. Mereka harus belajar aktif, kritis, berani dan bebas.
Kritik-kritik, pendapat-pendapat, kebenaran-kebenaran harus dikemukan secara teratur. Kebebasan harus disalurkan secara kreatif. Dan wadah yang paling ideal untuk itu adalah majalah. Majalah kebudayaan yang khusus, yang memberikan keleluasaan kepada budayawan untuk berbudaya.” [bahasanya telah kumutakhirkan]
Terbit bulanan, di daftar redaksinya tertera nama Ilen Surianegara sebagai Penanggungjawab. Ajip Rosidi dan Harijadi S Hartowardojo sebagai Editor.
Ramadhan KH sebenarnya redaktur juga tapi namanya tak dimaktubkan sebagai editor sebab ia masih merupakan wartawan di kantor berita ‘Antara’. Ia disebut sebagai pembantu di media yang diterbitkan Dewan Kesenian Jakarta ini, seperti halnya Moh. Amir Sutaarga, Arief Budiman, Asrul Sani, Gajus Siagian, Goenawan Mohammad, Mochtar Kusumaatmadja, Nono Anwar Makarim, Oesman Effendi, Taufiq Ismail, Toto Sudarto Bachtiar, Trisno Sumardjo, Zulharman S, Wing Kardjo, dan Ajatrohaedi [ia adik kandung Ajip Rosidi].
Mereka yang menjadi awak redaksi ini umumnya rajin menyumbangkan karya di ‘Budaja Djaja’, termasuk Nono Anwar Makarim yang kelak menjadi doktor hukum lulusan Universitas Harvard serta ayahanda Rayya Makarim dan Nadiem Makarim (Menteri Kebudayaan sekarang). Pada 7 edisi pertama yang kukoleksi, umpamanya, ia konsisten menyuguhkan ulasan politik yang tajam.
‘Budaja Djaja’ bertahan hingga tahun 1979. Selain majalah, terbitan mereka ada dalam bentuk buku sastra. Kumpulan puisi penyair terkemuka Subagio Sastrowardojo dan Asrul Sani termasuk, di samping terjemahan karya asing.
Buah manis perdana kelompok seniman-budayawan Ibukota dengan Gubernur DKI Mayjen KKO Ali Sadikin, itulah ‘Budaja Djaja’. Buah manis lainnya masih akan banyak dan bahkan jauh lebih hebat lagi. (Bersambung)