SENI.CO.ID — Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan Anugerah Kebudayaan dan Penghargaan Maestro Seni Tradisi 2019 kepada 59 orang. Dari jumlah penerima penghargaan tersebut ada enam orang warga terbaik Jawa Barat satu diantaranya adalah sastrawan Eka Kurniawan tapi Eka menolak menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan dan Penghargaan Maestro Seni Tradisi 2019 itu.
Mendikbud Muhadjir Effendy saat memberikan anugerah itu mengatakan, ini adalah bagian sebuah penghargaan yang tinggi, sebuah kebanggaan yang tinggi kepada para budayawan yang telah berprestasi dan memberikan kontribusi dalam hidupnya secara keterbinaan dalam rangkaian membesarkan dan juga melakukan kesinambungan terhadap budaya Indonesia, jelasnya di Istora Senayan, Kamis, 10 Oktober 2019 dalam acara Pekan Kebudayaan Nasional 2019.
Acara Pekan Kebudayaan Nasional 2019 memberikan Anugerah untuk 59 orang penerima dalam 8 katagori. Yaitu katagori Gelar Tanda Kehormatan dari Presiden RI diberikan kepada 13 orang, yang terdiri dari Bintang Mahaputera diberikan pada 2 orang, Bintang Budaya Parama Dharma 2 orang, dan Satyalancana Kebudayaan 8 orang.
Selain itu juga diberikan penghargaan bagi Pencipta dan Pelopor untuk 10 orang, Pelestari (10 orang), Anak dan Remaja (5 orang), Maestro Seni Tradisi (5 orang), Pemerintah Daerah (5 orang), Komunitas, (7 orang), dan untuk katagori Perorangan Asing sebanyak 4 orang. Dari 59 orang penerima Anugerah Kebudayaan dan Penghargaan Maestro Seni Tradisi 2019. Nama Eka Kurniawan merupakan sastrawan untuk katagori Pelopor Pencipta Pembaharu namun Eka menolak untuk menerima penghargaan itu. Alasan Eka disampaikan dalam tulisan panjang dan menjadi viral sehari sebelum acara Anugerah berlangsung.
Silakan baca: KENAPA EKA TOLAK ANUGERAH MAESTRO SENI?
Redaksi Seni.co.id dalam hal ini berhasil mewawancari secara Eksklusif Eka Kurniawan melalui saluran komunikasi media sosial, Berikut adalah petikan wawancara panjang dengan sang tokoh yang saat ini memberikan kejutan dengan alasan yang sangat rasional dan pemahaman penghargaan kebudayaan yang hakiki:
Kenapa menolak selain alasan yang subtansi perbandingan angka dengan sebuah pesta olah raga dunia (Asian Games 2018)?
Lho, perbandingan itu lebih bersifat ilustrasi. yang esensial adalah apa yang saya kemukakan kemudian, tentang tidak adanya komitmen pemerintah untuk memberi perlindungan atas hak berekspresi (sering ada kasus aparat menyita buku, tanpa proses pengadilan), tidak ada perlindungan secara ekonomi kepada industri buku (maraknya pembajakan buku), dan terutama komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM, baik masa lalu maupun sekarang, termasuk di antaranya kasus hilangnya penyair Wiji Thukul. Semuanya ada dalam pernyataan saya.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Hilmar Farid mengatakan, pemerintah pernah membantu sastrawan Eka Kurniawan hadir pameran buku di Jerman, ‘Frankfurt Book Fair’. Apa komentarnya tentang ini menurut Anda?
Itu dia, pejabat seperti Hilmar Farid selalu melihat hal demikian sebagai “membantu”. Dalam konsep membantu, pemerintah memposisikan dirinya sebagai superpower. Sebagai tangan yang di atas. Rakyat, dalam hal ini seniman, diposisikan sebagai invalid, yang harus dibantu. Konsekuensi dari cara berpikir begitu, rakyat diposisikan senantiasa memiliki utang budi, harus berterima kasih, kalau perlu seumur hidup. Tidak, saya tak melihatnya dengan cara pandang seperti itu. Kalaupun mau memaksakan konsep “membantu”, coba jelaskan, membantu dalam konteks seperti apa. Ada yang bilang bahwa saya memperoleh kontrak-kontrak penerbitan buku-buku saya melalui ajang Frankfurt Book Fair itu. Baik. Saya kasih tahu. Saya memperoleh kontrak dengan New Directions dan Verso, dua penerbit bahasa Inggris, tahun 2012. Tiga tahun sebelum FBF. Kedua buku saya terbit bersama kedua penerbit itu di bulan Agustus 2015, dua bulan sebelum FBF. Tapi, saya tak mau berlarut2 soal itu. Orang yang merasa membantu pihak lain, tak butuh penjelasan sederhana demikian. Lebih baik kita kembali kepada pokok-pokok kritik dan keberatan saya.
Apakah menolak penghargaan adalah Kritik Anda pada pemerintah dan ini sebuah penyataan yang bisa memuaskan diri Anda sebagai kritkan?
Ya. Saya mengkritik tidak dalam rangka mencari kepuasan. Kritik muncul karena ada masalah.
Kami melihat ini bukan sensasi kan? Tapi ini merupakan fenomena bahwa ada terapi kecut juga buat pemrintah (Kemendikbud), harusnya bagaimana penghargaan itu apakah nilai angka atau ada cara lain?
Saya tak suka sensasi. dua puluh tahun berkarir di kesusastraan, saya lebih suka berada di belakang banyak orang. Saya pernah menolak beberapa hal lainnya, sebagai protes juga, tapi biasanya menghindari publikasi. Jika Anda mengenal baik saya, Anda tahu saya bahkan jarang bicara. Tapi ada kasus-kasus sebagaimana yang saya sebutkan di pernyataan penolakan saya, yang saya merasa begitu lama diabaikan dan komunitas penulis maupun budayawan telah banyak meneriakkannya. Saya merasa perlu mengambil sikap, sekaligus menyuarakan kembali kekecewaan-kekecewaan tersebut, dengan harapan, meskipun mungkin suara saya kecil saja, bisa jernih didengar.
Menurut Anda penghargaan itu formalistik saja, tidak substansial atau bagaimana?
Semua penghargaan semacam itu umumnya bersifat formal. Tak masalah sebetulnya, seandainya diiringi dengan penghargaan yang bersifat esensial. Bagaimana mungkin menghargai pelaku seni, jika pada saat yang sama, kasus hilangnya seorang penyair tak memperoleh perhatian yang layak?
Kasus Anda Menolak dengan berikan kritikan rupanaya mebuat banyak yang kaget semua orang. Apa sudah direncanakan?
Sulit untuk mengatakan “direncanakan”. Saya memikirkan hal itu selama beberapa waktu. saya bahkan sempat berpikir untuk datang dan menerimanya. tapi, pada akhirnya saya memutuskan untuk menolak, dengan pikiran-pikiran yang sudah saya kemukakan di pernyataan tersebut.
Kira-kira Harapan apa sih dari kisah penolakan ini?
Sederhana. Berharap ada komitmen yang nyata dari pemerintahan ini untuk melindungi 1) kebebasan berpendapat, 2) perlindungan hak ekonomi industri perbukuan, 3) penyelesaian kasus-kasus HAM, termasuk hilangnya penyair Wiji Thukul. Semua sudah saya sebutkan, bukan?
***
Nama Eka Kurniawan sastrawan kelahiran Tasikmalaya 28 November 1975 lulusan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Skripsinya diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis (diterbitkan pertama kali oleh Yayasan Aksara Indonesia, 1999; diterbitkan kedua kali oleh Penerbit Jendela, 2002; dan diterbitkan ketiga kali oleh Gramedia Pustaka Utama, 2006). Karya fiksi pertamanya, kumpulan cerita pendek, Corat-coret di Toilet (Aksara Indonesia, 2000).
Eka menguncang dunia sastra lewat debut novel pertamanya yang meraih banyak perhatian dari pembaca sastra Indonesia, Cantik itu Luka (terbit pertama kali oleh Penerbit Jendela, 2002; terbit kembali oleh Gramedia Pustaka Utama, 2004; diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh Ribeka Ota dan diterbitkan oleh Shinpu-sha, 2006; dialihbahasakan oleh Annie Tucker (New Directions Publishing, 2015). Disusul kemudian oleh novel kedua, Lelaki Harimau (Gramedia Pustaka Utama, 2004) dialihbahasakan oleh Labodalih Sembiring dengan judul Man Tiger (Verso Books, 1 Oktober 2015). Pada tahun 2016, Man Tiger terpilih masuk nominasi panjang penghargaan The Man Booker International Prize 2016. Karya Eka yang lain adalah dua jilid kumpulan cerita pendek Cinta tak Ada Mati dan Cerita-cerita Lainnya (Gramedia Pustaka Utama, 2005), dan Gelak Sedih dan Cerita-cerita Lainnya (Gramedia Pustaka Utama, 2005; di dalamnya termasuk kumpulan cerita pendek Corat-coret di Toilet). Beberapa cerita pendeknya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Swedia. Pada tahun 2014 Eka kembali mengeluarkan novel yang berjudul Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas, dan di awal tahun 2015 ini, buku kumpulan cerpennya yang berjudul Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi dirilis.
Eka juga menerjemahkan sejumlah karya dunia yaitu Pemogokan (Hikayat dari Italia) karya Maxim Gorky, Cannery Row karya John Steinbeck, Catatan Harian Adam dan Hawa karya Mark Twain, Cinta dan Demit-demit Lainnya karya Gabriel Garcia Marquez
Penghargaan Perhatian Dunia untuk Eka
Tahun 2015 Eka terpilih sebagai salah satu “Global Thinkers of 2015” dari jurnal Foreign Policy, Emerging Voice 2016 di New York AS, World Reader’s Award 2016 dan Prince Claus 2018 dari Kerajaan Belanda.
Jon Fasman (Pemimpin Redaksi The Economist biro Asia Tenggara dan penulis novel The Unpossessed City juga The Geographer’s Library) menyatakan bahwa apa yang Eka putuskan untuk ditulis pasti layak untuk dibaca, berdasar dua novel pertama yang dialihbahasakan dan dipasarkan secara internasional, (9 September 2015). “‘Beauty Is a Wound’ and ‘Man Tiger’ by Eka Kurniawan”. nytimes.com. Sedang Jewel Topsfield pada 22 August 2015 menulis “Eka Kurniawan a successor to Indonesia’s greatest writer, Pramoedya Ananta Toer” Sydney Morning Herald.
Karya Anda di dunia dikenal apa bekal itu sehingga Anda menolak anugerah yang tak layak itu?
Lebih tepatnya saya tumbuh bersama karya saya. Dua puluh tahun lalu, ketika saya pertama menulis, saya mungkin pemuda naif yang tak tahu apa-apa dan hanya ingin menulis, syukur-syukur bisa diterbitkan. Saat ini memang karya-karya saya telah terbit di banyak bahasa, pada saat yang sama saya juga belajar dari banyak orang. Saya mengasah diri tak hanya urusan kesusastraan, tapi juga pengetahuan, sensifitas, bagaimana bersimpati, berempati, dan pada akhirnya belajar pula bagaimana memiliki keberanian untuk menyampaikan pendapat, yang tak populer sekalipun.
Bisa sampaikan sepuasnya apa sih kredo Seorang Eka Kurniawan?
Saya tak punya kredo khusus, tapi saya selalu berharap dunia bisa menjadi jauh lebih adil dan berimbang dalam banyak hal. Terima kasih. (SENI.CO.ID)
Pewawancara : Aendra Medita sumber foto: https://www.pontas-agency.com © Muhammada Fadli