Home AGENDA Rumah Seni Cemeti Gelar Pameran Seni dan Diskusi ‘Kolektif Kolegial’

Rumah Seni Cemeti Gelar Pameran Seni dan Diskusi ‘Kolektif Kolegial’

0
Redi Murti, 'Keluarga Om Seno di Tambak Bayan', 2015, collage, ink on paper, 30 x 30 cm /DOC Rumah Seni Cemeti

SENI.CO.ID – Rumah Seni Cemeti mengundang Arham Rahman sebagai peneliti untuk mengembangkan proyek seni: ‘Kolektif Kolegial’

Selain Pameran  Diskusi akan digelar pada: Rabu, 10 Agustus 2016, 19.30 WIB dan Pameran masih berlangsung hingga 12 Agustus 2016. bertempat  di Rumah Seni Cemeti Jl. D.I. Panjaitan 41 Yogyakarta.

Proyek seni ini dinamai ‘Kolektif Kolegial’ –secara bebas bisa diartikan “kerja sama, sama-sama kerja” –yang mempertemukan antara seorang peneliti (Arham Rahman) dengan empat orang seniman (Agan Harahap, Muhammad Akbar, Maharani Mancanagara, dan Redi Murti) dalam sebuah kerja kolaborasi.

Dalam sebuah proyek seni, selalu ada kesan bahwa kolaborator seniman –entah itu kurator, manajer, peneliti, atau apapun sebutannya– seringkali dianggap sebagai “software” proyek yang merumuskan konsep untuk kemudian direspon oleh seniman. Praktik yang demikian sering kali dianggap mengabaikan independensi seniman untuk menentukan apa yang hendak ia presentasikan atau membatasi apa yang benar-benar digelisahkan.

Berdasar pada pembacaan tersebut, proyek seni ‘Kolektif Kolegial’ ini berupaya untuk mencari berbagai macam bentuk dialog dan hubungan kerja sama antar seniman, peneliti dan organisasi penyelenggara.

Dalam hal ini, bukan untuk mempertemukan perbedaan dengan cara menyamakan persepsi atau pun meleburkan gagasan tiap-tiap individu ke dalam satu narasi bersama, melainkan justru menguji sejauh mana pengalaman atas “perbedaan” baik di tingkat praktik maupun gagasan dapat saling mengintervensi, memperkuat, menegasi, dan mempengaruhi.

Proyek seni ‘Kolektif Kolegial’ diawali dengan pertemuan di studio masing-masing seniman yang terlibat untuk berdiskusi tentang kegelisahan dan praktik yang selama ini dikerjakan; isu, metode kerja, karya, dll. Setelah itu, dilanjutkan dengan pertemuan bersama di Yogyakarta pada akhir April lalu. Memang, pada awal pertemuan tersebut ada semacam kepentingan untuk merumuskan “benang merah” –semacam konsep besar yang akan direspon– dari proyek ini.

Harapannya, kendati pada akhirnya ada isu bersama, hal itu dibicarakan dan dirumuskan secara demokratis. Namun yang disepakati justru sebaliknya dan sekaligus mempertajam semangat awal dari proyek ini, yakni tidak menyoroti isu atau tema yang spesifik, dan mengelola pengalaman atas ‘perbedaan’ itu sendiri.

Dialog antara seniman-peneliti menjadi sangat sentral dalam proses kolaborasi ini. Cara seniman memikirkan persoalan, pengalaman estetis dan proses kreatifnya berupaya disingkap lewat metode dialog. Namun, dialog sebagai metode bukan hanya berkepentingan untuk saling bertukar informasi atau sharing, melainkan juga membuka kemungkinan untuk saling mengintervensi.

Hal yang disebut terakhir rupanya juga kerap muncul dalam proses yang kami jalani, baik peneliti kepada seniman maupun sebaliknya, seniman kepada peneliti.  Secara umum, ada dua kepentingan yang muncul dalam proyek ini.

Pertama, menampilkan kekhasan praktik dari keempat seniman yang terlibat. Karena itu, proyek ini menampilkan sesuatu yang sangat variatif dan cenderung berbeda satu sama lain, entah itu dari isu yang dipilih maupun medium yang digunakan.

Kedua, “mengarsipkan” praktik yang selama ini dilakukan oleh keempatnya, termasuk apa yang disuguhkan dalam presentasi akhir di proyek ini. Produk akhir dari kepentingan kedua ini adalah sebuah buku yang merangkum keseluruhan proses dalam proyek ini, serta catatan pembacaan atas proses kreatif para seniman yang terlibat. (RLS/SN)

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here