SENI.co.id – Sebuah pameran fotografi di Bandung digelar di sebuah Mall. Menarik dan responnya pun tinggi.
Salah satu komunitas yang pada saat ini semakin yakin eksistensinya sebagai salah satu komunitas fotografi yang aktif.
The Legend! Sebuah ungkapan yang menggambarkan keabadian suatu tokoh dalam sebuah cerita yang akan selalu berulang-ulang diceritakan. Itulah yang selalu terbesit dalam pikiran kita apabila mendengar kata the legend atau legenda. Tapi berbeda dengan label The Legend yang satu ini.
The Legend yang satu ini merupakan satu wadah dimana berkumpulnya sekumpulan individu yang mempunyai latar belakang yang beraneka ragam tapi mempunyai intensi yang sama terhadap suatu bidang yang sama, yaitu fotografi.
Entah sejak kapan dan kenapa komunitas fotografi ini dinamakan The Legend. Mungkin pemilihan namaThe Legend ini dipilih oleh para fotografer yang terlibat di dalam komunitas ini mengambilnya dari nama tempat dimana mereka sering berkumpul, berdiskusi, berbagi suka-duka, informasi dan bahkan pekerjaan, yang bernama warung legend.
Para fotografer yang bernaung dalam komunitas The Legend ini merupakan fotografer yang pernah terlibat di beberapa komunitas yang sudah dan pernah terbentuk sebelumnya, Komunitas Pemotret Bandung atau yang lebih dikenal dengan nama KPB pada awal tahun 2000-an dan sebagian dari kami adalah fotografer yang baru memulai karirnya.
Kami yang merupakan anggota komunitas the legend, mencintai dan aktif dalam berkarya baik itu pekerjaan, lomba-lomba, diskusi-diskusi ataupun kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan fotografi lainnya.
Salah satunya adalah dengan menggelar pameran fotografi yang bertajuk memory of life.
Pameran ini ingin menghadirkan karya-karya fotografi yang pernah dibuat pada masa lampau atau pun masa sekarang dan merupakan ekspresi dan representasi personal dari setiap fotografer anggota the legend terhadap suatu isu atau kejadian yang ‘menggelitik‘.
Representasi yang bisa menggambarkan ‘identitas’ dari Setiap fotografer yang bernaung di dalamnya. Identitas yang bukan hanya sekadar nama yang tertera pada surat tanda lahir ataupun kartu tanda penduduk tapi identitas diri yang diekspresikan melalui karya fotografi yang lebih menitikberatkan kepada karakter dari foto-foto dihasilkan yang terbentuk dari proses panjang disertai pengalaman-pengalaman hidup dari fotografer yang tergabung dalam komunitas The Legend sebagai cara mengkomunikasikan siapa dirinya.
Perbedaan latar belakang ini juga terlihat dari bagaimana kita menjalani proses kreatif dan men-display foto dalam pameran ini. Ada sebagian yang men-display pemeran ini dengan foto tunggal dan juga yang berseri. Lalu timbul pertanyaan kenapa harus foto tunggal bukan seri atau sebaliknya.
Henrycus Napitsumargo, seorang fotografer kontemporer dan seorang staf pengajar fotografi di beberapa perguruan tinggi di kota Bandung menilai fotografi itu adalah sebuah pesan, tidak semua pesan bisa diakomodasi dalam sebuah foto tunggal atau pun sebaliknya ( foto tunggal dapat mengakomadasi pesan ) tergantung dari konteks yang ingin disampaikan.
Ditambahkannya lagi, kemampuan berpikir holistik seseorang akan semakin berkembang dan biasanya tidak bisa diakomodasi lagi dengan secuil statement yang ditransformasikan kedalam foto tunggal.
Seperti halnya dalam sebuah karya sastra, untuk membicarakan satu hal membutuhkan beberapa metafora untuk pembacanya dapat me-‘rasa’ kannya. Selain itu juga dalam foto seri juga ada permainan ‘enigmatic‘ yang membutuhkan kecermatan apresiator untuk bisa membaca dan menemukan isi dari pesan yang ingin disampaikan.
Sementara itu curator pameran Andi Soipiandi menilai bahwa medium fotografi memiliki kelebihan yang snagat signifikan. Dan yang berbeda dari pameran ini adalah karya yang variatif dan cukup liar, katanya.
The Legend melalui pameran memory of life, dalam catatan saya adalah upaya baru dan bukti bahwa fotografi di kota Bandung memang tak pernah sepi. Selama The Legend. (AD)