Home AGENDA Ada Senyum Prosa Kopi

Ada Senyum Prosa Kopi

0

Ada Senyum Prosa Kopi

Oleh: Taufan S Chandranegara, praktisi seni.

Senyumannya memang aduhai syalala oh halah-halah, bagaikan seyuman Semar, memang menghanyutkan bermisteri di antara kisah-kisah. Tak perlu ditinjau dari segi sains ataupun culture shock, sebab ia memang bentuk dari kecerdasan analogi kesadaran posmo contemporary art mengganyang kemapanan cara pandang stagnan. Beruntung sekali makhluk pemilik senyuman hampir semirip senyum Semar.

Sekalipun si pemilik senyuman itu belum persis benar dengan senyuman Semar. Namun talenta dari senyumannya itu mengalahkan kegantengan paras Arjuna, terluluh-luluh siapapun kalau berlama-lama mengamati. Apa lagi mencuri-curi pandang sembari ikut-ikutan tersenyum. Widihh gawat tau. So why gituloh, apa segitu karismatiknya pemilik senyman itu. Kalau diplesetkan jawabanya jadi begini: “Temtu saja …” akibat hari ini seperti musim lalu, menjadi kekinian, seolah-olah kebaruan padahal enggak tuh.

Wkwkwk, lucu tapi nyatane ora lucu (nyatanya tak lucu). Biarin, mending melucu sekalipun tidak lucu, daripada gosip ngalor-ngidul ora ceto (sana sini enggak jelas). Nah, itu dia. Maksudnya si melucu nyatanya tidak lucu itu? Bukan. Kelucuan tapi tidak sedang melucu. Dilucu-lucu.in gitu deh maksudnya. Juga bukan. Lantas gimana maksudnya. Gini loh. Kalau mau melucu ya lucu saja enggak usah pura-pura mainstream, tapi enggak lucu.

Tambah sulit untuk memahaminya kalau muter-muter melulu, porosnya itu ke icu lagi. Enggak usah di kepoin juga udah ngepo sendiri kale. Hihihi … Lah wong udah ketauan juntrungannya, masih ngeles sana-sini, seolah-olah mengolah biji kopi jadi coklat susu. Sekalipun udah ketauan kopi ya kopi, bukan, coklat ya kopi. Pusing, maksudnya gimana sih. Memang sudah terkonsep seperti itu?

Nah itu ente paham jawabannya. Sesekali-sekali pura-pura berkesepahaman boleh dong.  Boleh, daripada-pada kepo kiri kanan, enggak nemu jawabannya mending halu berpeluang ini itu, bisa menduga atau terduga, meski akhirnya lagu lama aransemen baru, liriknya copy paste dari lama ke baru atau baru ke lama atau lama-lama sama dengan, sama, semirip alias, artinya tak persis benar, tapi, terlihat sebagai karya baru, padahal ide lama. Ehem …

Kalau telah sampai pada kurun waktu awal menuju akhiran, terlihat secara tematik itu ke icu saja. Apa lagi kalau mau menilik pola lama atau baru, ngono ning ojo ngono (gitu tapi jangan gitu) padahal jelas-jelas sedang akan baru, meski mungkin sesungguhnya terpola dalam hidangan rancang bangun. Barangkali serupa bangunan candi tua terrestorasi, maka tampak kini, meski lampau tak bisa mengelabui waktu. Nah loh, tau sama tau sekalipun ketahuan telah di ketahui sama persis dengan pola lampau.

Hanya berbekal, sekali lagi copy paste, aduhai banget plagiat cetak sempurna, sampurasun, and hallo this is me, again and again – penyebab Semar selalu terperangah apabila anak-anaknya memberi kesepahaman lewat protes atau hal ikhwal simbolis, meski terkadang paling sulit bagi Semar, untuk berkata, tidak, atau, menolak dalam dengar pendapat antar panakawan.

Semar sebagai titisan dewa, memang sudah mulia hatinya sejak takdirnya, untuk menerima pendapat demi kemuliaan sesama selaku pengemban penasihat para satria. Sekalipun Semar mengetahui, di antara sesama kadang-kadang terbersit dalam tersurat sebuah nurani tak sebening mata air. Senantiasa sekelebat, telah tertampak watak terdalam berkelebat, noktah hitam. Akan tetapi sebagaimana cinta kasih Semar, tetap tersenyum sekalipun nuraninya menangis.  

***

Jakarta SENI, Oktober 24 Oktober 2023

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here