Catatan Seni & Budaya Aendra Medita*)
SENI selalu hidup dalam tarik-menarik antara pencipta dan publik. Ia bukan hanya lahir dari ruang sunyi seorang seniman, tetapi juga menemukan maknanya ketika berhadapan dengan orang banyak.
Apa artinya sebuah karya yang tak pernah dipandang? Apa artinya sebuah eksperimen yang tak pernah diuji oleh penerimaan dan penolakan publik?
Dalam dunia seni, publik bukan sekadar penonton. Mereka adalah bagian dari ekosistem yang menentukan arah perkembangan estetika. Sementara itu, kebaruan dalam seni selalu menjadi janji dan tantangan.
Di satu sisi, kebaruan menawarkan kemungkinan estetika yang segar, membuka cakrawala baru dalam cara kita melihat dan merasakan. Di sisi lain, kebaruan sering kali memicu resistensi karena mengguncang kenyamanan, merusak pakem, bahkan mengancam “rasa aman” publik yang sudah terbiasa dengan bentuk tertentu. Di titik inilah terjadi pertemuan yang dinamis antara publik seni dan estetika kebaruan.
Publik Seni: Siapa Mereka?
Seringkali kita menyebut publik seni seolah-olah mereka adalah satu tubuh yang homogen. Padahal kenyataannya jauh lebih kompleks. Publik seni setidaknya bisa dibagi ke dalam beberapa kategori:
1. Publik Terdidik dan Kritis Mereka adalah kurator, kritikus, akademisi, dan praktisi yang memahami teori serta sejarah seni. Publik jenis ini menilai sebuah karya tidak hanya dari tampilan visual, tetapi juga dari konteks, gagasan, dan dialektikanya dengan perkembangan zaman.
2. Publik Pasar Mereka adalah kolektor, investor, hingga pedagang karya seni. Bagi kelompok ini, nilai sebuah karya sering kali diukur dari harga, kelangkaan, serta prospek investasi. Publik pasar bisa mendorong atau justru menjerumuskan perkembangan estetika, tergantung pada orientasi mereka.
3. Publik Awam Mereka adalah masyarakat luas yang datang ke pameran, museum, atau sekadar melihat karya melalui media sosial. Publik ini mungkin tidak terlalu peduli pada teori atau pasar, tetapi justru merekalah yang paling banyak jumlahnya. Mereka memberi “nyawa” dalam bentuk apresiasi spontan. Dalam kenyataan, ketiga jenis publik ini saling bertemu, bernegosiasi, bahkan berbenturan. Seorang seniman kadang membuat karya untuk menggugah publik terdidik, tetapi akhirnya justru lebih populer di publik awam.
Sebaliknya, sebuah karya yang diciptakan untuk pasar bisa tiba-tiba dihargai sebagai karya penting dalam sejarah seni.
Estetika Kebaruan: Dari Penolakan ke Kanon
Kebaruan dalam seni bukanlah barang baru. Sejarah seni penuh dengan kisah karya-karya yang pada awalnya ditolak, dicemooh, bahkan dianggap sebagai penghinaan terhadap selera umum—tetapi kemudian menjadi tonggak penting. “Kanon” berasal dari bahasa Yunani dan berarti aturan, norma, standar atau ukuran
Para pelukis impresionis di Paris pada abad ke-19 dicemooh oleh akademi dan publik. Lukisan mereka yang bermain cahaya dan sapuan cepat dianggap belum selesai, tak serius, bahkan sembrono. Namun, waktu membalikkan penilaian: kini impresi para pelukis itu menjadi salah satu pilar sejarah seni modern. Hal serupa terjadi pada seni abstrak. Ketika Wassily Kandinsky, Piet Mondrian, atau Jackson Pollock menghadirkan lukisan-lukisan tanpa figur, publik awalnya terperangah.
“Ini bukan seni, ini coretan anak kecil,” begitu komentar yang sering terdengar. Namun kini, seni abstrak menjadi bahasa penting dalam perkembangan estetika kontemporer. Paradoks inilah yang menarik: kebaruan hari ini bisa ditolak habis-habisan, tetapi esok hari justru menjadi tradisi yang dijaga ketat. Publik dan Adaptasi terhadap Kebaruan Seni baru sering kali membutuhkan waktu untuk diterima publik. Proses adaptasi ini bisa berlangsung cepat di masyarakat yang terbuka, tetapi bisa juga berjalan lambat di masyarakat yang konservatif.
Publik awam biasanya lebih sulit menerima kebaruan yang terlalu radikal. Mereka masih mencari representasi, bentuk yang bisa dikenali, cerita yang bisa dipahami. Namun seiring waktu, dengan adanya mediasi dari kritikus, kurator, dan media, publik bisa belajar mengapresiasi hal-hal yang tadinya terasa asing. Mediasi ini penting. Kurator yang baik mampu menjelaskan konteks, kritikus yang jujur dapat memberi perspektif, media yang serius bisa membuka ruang diskusi. Tanpa mediasi, kebaruan berisiko ditolak mentah-mentah atau sebaliknya hanya diterima sebagai sensasi sesaat. Kami melihat ada kebaruan di pameran di Badung yaitu saat sebuah toko Kameran tempat mangkal para Fotografer dan layanan service dijadikan sajian pameran fotografi Instalasi. Bagi seniman Andi Sopiandi, foto bukan hanya citra dipermukaan, melainkan jejak kehidupan yang menyimpan ingatan, luka, dan tafsir baru. Pandangan inilah yang melandasi pameran tunggal bertajuk “Bekas Dibalik Foto”, yang menghadirkan pengalaman berbeda dalam melihat fotografi. Saat ini, ia mengolah lukisan dan barang bekas foto dijadikan karya.
Era Digital: Kebaruan yang Cepat Usang
Di era digital, persoalan kebaruan menjadi lebih rumit. Media sosial telah mengubah cara publik berinteraksi dengan seni. Karya tidak lagi dinikmati dalam ruang pamer dengan waktu hening, melainkan lewat layar ponsel dalam hitungan detik. Akibatnya, kebaruan sering kali diukur dari seberapa viral sebuah karya, bukan dari kedalaman gagasannya. Publik digital haus akan sesuatu yang mengejutkan, menghibur, atau memancing emosi instan.
Seniman pun tergoda untuk menciptakan karya yang lebih memikat kamera daripada pikiran. Masalahnya, kebaruan yang viral biasanya cepat usang. Apa yang heboh hari ini, dilupakan esok. Dalam pusaran cepat ini, publik menjadi konsumen instan, sementara nilai estetika sering terpinggirkan. Pertanyaannya: apakah kita masih menghargai kebaruan sebagai pencarian estetik, atau sekadar mengonsumsi kebaruan sebagai komoditas cepat saji?
Kekinian Atawa Kebaruan, Pasar, dan Risiko Komodifikasi
Publik seni yang berbasis pasar juga mempengaruhi arah kebaruan. Tidak jarang pasar mendorong seniman untuk menghadirkan sesuatu yang “baru” demi harga tinggi, bukan demi kualitas artistik. Inilah yang disebut sebagian orang sebagai korupsi estetika: ketika kebaruan diproduksi secara artifisial untuk memenuhi permintaan pasar. Hasilnya, seni menjadi sekadar produk, kehilangan ruh pencarian estetiknya. Namun kita juga tidak bisa menutup mata bahwa pasar punya peran penting. Tanpa pasar, seniman sulit bertahan hidup. Persoalannya bukan pada pasar itu sendiri, tetapi pada dominasi pasar yang sering kali mengabaikan aspek lain: refleksi, kritik, dan kedalaman. Kebaruan dan Tradisi: Negosiasi yang Tak Pernah Selesai Kebaruan tidak selalu berarti meninggalkan tradisi.
Banyak seniman justru menemukan kebaruan dengan menggali tradisi. Estetika kontemporer di Indonesia sering kali lahir dari perjumpaan ini: batik yang dikembangkan menjadi seni instalasi, wayang yang dipadukan dengan multimedia, atau musik tradisi yang disinergikan dengan teknologi digital. Publik punya peran penting dalam negosiasi ini. Jika publik menolak mentah-mentah, tradisi bisa mandek. Jika publik menerima tanpa kritik, kebaruan bisa kehilangan makna. Maka dibutuhkan keseimbangan: bagaimana menghargai akar tanpa menolak kemungkinan cabang baru yang tumbuh.
Menuju Publik yang Kritis
Tulisan ini berpandangan: persoalan utama seni bukan hanya pada kebaruan yang lahir, tetapi pada bagaimana publik meresponsnya. Publik seni di Indonesia masih cenderung berada di dua kutub ekstrem: menerima tanpa kritik atau menolak tanpa alasan. Padahal yang kita butuhkan adalah publik yang berani berdialog dengan kebaruan. Sebuah karya baru tidak harus langsung dipuja, juga tidak harus langsung ditolak.
Publik perlu menanyakan: apa gagasan yang ditawarkan? Bagaimana ia berbicara dengan tradisi dan kondisi sosial kita? Apakah kebaruan itu sekadar sensasi, ataukah ia membawa pemikiran yang dapat memperkaya peradaban?
Kesimpulan: Seni, Publik, dan Masa Depan Kebaruan Seni selalu membutuhkan publik, tetapi publik yang sehat adalah publik yang kritis, terbuka, dan reflektif. Estetika kebaruan harus diperlakukan bukan hanya sebagai mode, melainkan sebagai tawaran pemikiran. Jika publik hanya menjadi konsumen, seni akan terjebak dalam pusaran pasar dan viralitas sesaat. Tetapi jika publik berani berdialog, kebaruan bisa menjadi pintu menuju kemungkinan baru bagi kebudayaan. Pada akhirnya, seni bukan hanya tentang apa yang indah di mata, tetapi juga tentang apa yang menggugah pikiran dan nurani. Publik seni yang matang adalah mereka yang mampu menempatkan kebaruan bukan sekadar sebagai kejutan, melainkan sebagai kesempatan untuk bertanya lebih jauh: apa arti hidup, apa arti manusia, dan ke mana kita akan melangkah. Pun kehidupan harus dijalani dengan keteguhan yang hakiki. Tabik.
*)AENDRA MEDITA, Jurnalis SENI.CO.ID, dan Analis Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) & Jala Bhumi Kultura (JBK).