Oleh Taufan S. Chandranegara, praktisi seni
Wow! Ini sekadar obrolan ringan-ringan saja. Apa itu ide. Oh! Begini. Pikiran-pikiran berkembang ketika mengamati atau merekam sesuatu, atau melihat sesuatu. Melihat bunga misalnya, lantas menjadi bunga raksasa berubah menjadi ‘bunga monster’. Kalau masih ingat film Pink Floyd ‘The Wall’, itu film musik kreatif pada eranya. Dunia terkejut-kejut, terkejang-kejang.
Film ‘The Wall’ bukan sekadar film-berkisah dari awal hingga akhir sebagaimana rutinitas sebuah film, pemirsa menunggu akhir cerita, bukan pula clips film didaur ulang. Oh! Keren. Oh! Mengejutkan, akhir kisah manis, ngawang atau tak terduga, kira-kira begitu deh.
Film ‘The Wall’, tak ada hal ihwal macam itu, namun menyisakan kritik pada diri sendiri, entah apa kritik itu, bergantung pada aktualisasi dari aksentuasi-esensi personal pemirsanya, gitu juga deh, barangkali.
Nah loh! Jadi apa itu ‘mengelola ide’, agar tak jatuh tersungkur menjadi plagiat karya telah terpublikasi, entah itu film, karya susastra, media multikreatif, multimedia, lukisan, seterusnya banyak banget, lain-lainnya.
Literasi, barangkali merupakan keinginan menulis sesuatu dengan jujur, baik, juga benar-lahir dari nurani personal untuk publik dimanapun, akibat dari sumber data pemerhati-lingkungan salah satunya, misal kata. Menangkap makna benda, gejala-gejala perubahan alam, komunikasi antar makhluk hidup, pencerapan risalah hal ihwal kisah-kisah, itu antara lain, masih banyak penyebabnya, bagi personal atau kelompok, ingin melahirkan kisah-kisah.
Bagaimana caranya menentukan kisah setelah ide muncul bertubi-tubi, tapi mampet-menuangkan kisah kedalam secarik kertas. Mudah banget. Mulai dari satu kata, apa saja, tersirat ataupun tersurat, mulai dari satu gambar atau hasil melihat foto-foto, atau berita media, atau apapun, teringat di pikiran dengan jujur, merupakan salah satu pemantik ide untuk lompat keluar dari nurani pikiran personal menuju kertas putih atau media pilihan.
Masih ingat lirik lagu, Harry Roesli, sahabat bertukar cerita banyak kenangan dengan beliau. Nah beliau itu, tidak pernah kehabisan ide, ada saja hal kisah melompat dari isi kepalanya. Salah satu cerita sangat mencuat pada zamannya, menggugah, mengejutkan, di tengah hingar bingar berbagai jenis musik dunia tengah populer di sini, muncul karyanya ‘Malaria’.
U-Wow! Mengguncang blantika musik Indonesia, ketika itu. Nih liriknya, sederhana namun menggigit telinga tebal non-estetis.
*
MALARIA
Karya Syair dan Musik: Harry Roesli
Seprei tempat tidurmu putih
Itu tandanya kau bersedih
Mengapa tidak kau tiduri
Kau hanya terus menangis
Apakah kau seekor monyet,
Yang hanya dapat bergaya
Kosong sudah… hidup ini,
Bila kau hanya bicara
Guling bantalmu akan bertanya,
Apa yang kau pikirkan nona?
Kau hanya bawa airmata dan ketawa yang kau paksa
Lantai kamarmu kan berkata,
Mengapa nona pengecut?
Lanjutkan saja hidup ini
sebagai nyamuk malaria…(3x)
Oh… Sebagai nyamuk malaria
*
Silakan tafsir, sesuai keheningan nurani masing-masing. Oh! Sebagai penutup. “Ide”, tak pernah habis, atau kering di musim apapun. Itu bedanya dengan tong kosong nyaring bunyinya.
Salam Indonesia Negeri Agraris. Negeri Anti Korupsi. Korupsi, haram loh hukum akheratnya.