Home BERITA Wayangan Imajiner

Wayangan Imajiner

0
ilustrasi

Loading

Wayangan Imajiner

Taufan S. Chandranegara, praktisi seni, penulis.

Ada utopisme. Ada humanisme. Ada kritisisme, ada-me atau is-dan-me sesuai pilihan selera pada bae, kalau sedang berada di foodcourt. Keputusan pilihan ada pada anda di arena makanan itu, laiknya festival makanan.
Sembari baca-baca papan reklame tentang negeri tanpa identitas; dihadapkan pula pada pilihan bonus menarik; pilih ini atau itu, semua ada ekstra hadiahnya. Lantas, apaan sih negeri tanpa identitas.
Tahukan kue putu dari aromanya plus bunyi cuit-cuit sejak zaman lampau. Suara penjual ini.; “IiiK! Rujak bebek. Rujak!” Lalu ini “Busss! Rebuuss!” Plus kacang kulit atau biasa disebut kacang tanah, dijajakan dengan cara di pikul atau di gerobak dorong. Khasnya sebetulnya dipikul, itu salah satu identitas aslinya.
Jualan rebusan berbagai kudapan dari singkong, ubi, tales, kacang bogor plus lainnya. Ada juga “Kacang rebus! Buss!” Nah ini biasanya mangkal kalau ada sunatan plus hiburan layar tancep. Masih banyak lagi cara rakyat bersuara bebas menunjukkan kejujuran identitasnya.
Apa ya kira-kira akan dilakukan. Seumpama ada negeri tanpa identitas. Nah pengertian identitas secara umum bisa menjadi tolok ukur dasar; artinya semisal punya KTP, beralamat jelas, berwajah jelas, jenis kelamin jelas, all in one tak ada hal gelap disembunyikan.
Begitu anda melihat “Oh! Ini si anu tinggal disitu!” “Oh! Ini si dia anak Pak Erte.” Seterusnya; identitas, jelas asal usul ujung pamgkalnya hinggga ke akhirannya, nama depan, nama tengah, nama belakang, beragam seterusnya.
Lantas apa hubungannya dengan judul dari artikel ini. Mungkin karena tanpa identitas apapun itu sulit dibahas sekalipun analisis abstraksinya. Wah, gimana sih. Ya gimana dong lah hai. Kan tanpa identitas. Lantas apa mau ditulis atau dibahas.. Wong tanpa identitas. Ora ono opo-opo je.  
Jadilah selesai sampai disini artiekel ini. Kan dilarang mengarang hal bersifat non fakta, tahu sama tahu lah. You beli seratus rupiah you jual seratus lima rupiah.”Cuma ambil untung sedikit saya.” “Yang penting laris ya Bang.” “Iya.” Sembari menghela napas dalam sekali meski sejenak, biasanya sih begitu.
Lantas hati ini terasa terbawa perasaan dari helaan napas senasib sepenanggungan sesama rakyat. Beban sama di pikul, berat sama di jinjing, meski sembako tergantung regulasi elite kepada bumi dipijak. Jos!
“Eh! Halah!” Suara khas Semar, singkat. Seperti biasanya. Selalu mencatat semua kejadian dengan setia.”
***
Jakartasatu, Indonesia, Mei 10, 2025.
Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here