Home DUNIA Malu Semalu-malunya

Malu Semalu-malunya

0
ilustrasi

Loading

Malu Semalu-malunya

Cerpen Lusdaina Maldini
Hujan malam itu turun seperti amarah langit. Air mengguyur deras ke atap seng pasar tua, memantul dan memercik ke wajah Randi yang berdiri di bawahnya. Tangannya gemetar, menggenggam sepotong roti basi yang baru saja ia rebut dari meja penjual.
“Pencuri! Dasar pengemis hina!”
Suara penjaga kios menggema, menusuk harga diri Rafi lebih tajam daripada tamparan yang barusan mendarat di pipinya. Orang-orang di sekitar menatapnya dengan pandangan jijik, lalu beranjak pergi. Tak ada yang peduli pada lelaki lusuh dengan wajah berlumur hujan dan air mata itu.
Randi berlari tanpa arah. Ia berhenti di sudut gang sempit, bersandar di dinding bata yang lembap, dan memandangi roti di tangannya. Roti itu hancur, lembek, kotor oleh lumpur. Tapi ia memakannya juga — dengan air mata bercampur hujan.
Dulu, ia tak pernah membayangkan akan sampai di titik ini.
Dulu, namanya disebut-sebut di koran, wajahnya terpampang di papan iklan: Randi Rahman, direktur muda paling menjanjikan. Di ruang kerjanya, aroma parfum mahal dan kopi hitam bercampur dalam wangi kesuksesan. Istrinya, Rena, selalu datang membawakan bekal sambil tersenyum lembut. Anak mereka, Ara, akan berlari-lari di lorong kantor sambil memanggil, “Papa, kerja terus ya buat Ara!”
Hidupnya nyaris sempurna — sampai skandal itu pecah.
Proyek besar yang ia pimpin ternyata dipenuhi korupsi dan manipulasi data. Ia tak tahu apa-apa; semua dilakukan bawahannya. Tapi tanda tangannya ada di setiap dokumen. Dalam semalam, namanya berubah dari “Direktur Teladan” menjadi “Penipu Negara”.
Ia kehilangan jabatan, rumah, bahkan keluarga. Rena pergi bersama Ara tanpa sepatah kata. Hanya secarik surat tertinggal:
“Aku tidak kuat hidup dalam aib ini. Maaf, Randi.”
Sejak itu, Randi menghilang dari dunia. Ia mengembara seperti bayangan tanpa nama, bekerja serabutan, tidur di mana saja. Sampai akhirnya, malam ini, lapar memaksanya mencuri.
Ia memukul dadanya sendiri, keras. “Inikah aku sekarang? Semalu ini?”
Hujan menjawab dengan dingin yang menusuk tulang.
Saat ia tertunduk, sebuah suara kecil terdengar di belakangnya.
“Bang… mau beli payung?”
Randi menoleh. Seorang bocah sekitar sepuluh tahun berdiri di sana, mengenakan baju tipis yang sudah sobek. Di tangannya tergenggam beberapa payung rusak.
Randi menggeleng lemah. “Abang udah basah. Payung nggak nolong lagi.”
Bocah itu mengangguk, lalu berkata, “Kalau gitu abang duduk sini aja. Aku juga kedinginan.”
Mereka duduk berdampingan di bawah jembatan. Tak ada kata-kata. Hanya suara hujan dan napas dua manusia yang sama-sama kalah.
Saat roti di tangan Randi habis, bocah itu membuka bungkusan kecil berisi nasi kering dan ikan asin. Ia menawarkan separuhnya.
“Ambil aja, Bang. Aku masih kuat lapar.”
Randi menatapnya, hatinya bergetar. Ia yang dulu memberi makan ratusan karyawan, kini diberi makan oleh anak jalanan. Di situlah ia merasa benar-benar terhinakan sehina-hinanya — bukan karena dicaci orang, tapi karena ia sadar: kehinaannya bukan lagi tuduhan, melainkan kenyataan.
Dua Tahun Kemudian
Langit sore di pinggiran kota tampak kemerahan. Rumah singgah “Harapan Baru” berdiri sederhana, berdinding papan, dengan halaman kecil tempat anak-anak bermain. Di teras, Randi menyapu lantai sambil tersenyum memandangi mereka.
Rambutnya telah memutih sebagian. Wajahnya penuh kerut, tapi matanya tenang. Dua tahun lalu, ia datang ke tempat ini bersama bocah penjual payung — namanya Dodit. Mereka memulai dari nol: mengumpulkan anak-anak jalanan, mencari makanan, menambal atap bocor. Kini, rumah singgah itu menampung dua puluh anak.
Setiap pagi, Randi bangun paling dulu. Ia memasak bubur, menyapu halaman, dan menyiapkan pelajaran menulis untuk anak-anak. Tak seorang pun tahu siapa dirinya dulu. Bagi mereka, Randi hanyalah “Pak Randi” — lelaki baik yang selalu tersenyum dan mengajarkan arti jujur.
Sore itu, Dodit duduk di sebelahnya. Bocah itu kini remaja, tubuhnya lebih tinggi, matanya lebih cerah.
“Pak, aku masih ingat waktu pertama kali ketemu Bapak di bawah jembatan,” katanya.
Randi tertawa kecil. “Aku juga. Aku pikir kamu yang akan mencuri makananku waktu itu.”
Dodit tersenyum. “Kalau nggak karena Bapak, aku mungkin udah mati. Tapi kenapa Bapak nolong aku, padahal Bapak sendiri waktu itu susah banget?”
Randi terdiam sejenak, lalu menjawab pelan, “Karena waktu itu aku sadar, Dit… aku sudah terlalu lama hidup hanya untuk menebus diriku sendiri. Menolong kamu adalah pertama kalinya aku merasa berguna lagi.”
Dodit menunduk, menahan haru.
“Pak,” katanya, “kalau begitu, Bapak nggak hina lagi sekarang.”
Rand tersenyum tipis. “Tidak ada yang benar-benar terlepas dari kehinaan, Nak. Tapi kita bisa memilih — mau tenggelam di dalamnya, atau berenang keluar sambil membawa orang lain.”
Langit sore berubah jingga keemasan. Anak-anak berlari-larian di halaman, tawa mereka menggema. Randi menatap mereka dengan mata basah — bukan karena sedih, tapi karena bahagia yang sederhana.
***
Malam itu, angin berhembus lembut. Randi duduk di meja kecil di kamarnya, menulis sesuatu di buku catatan lusuh yang sudah nyaris habis halamannya. Dulu, buku itu berisi target bisnis dan rencana laba. Kini, hanya ada catatan kecil tentang anak-anak, doa, dan renungan.
“Aku pernah dihormati karena jabatan, lalu dihina karena dosa. Tapi kehormatan sejati bukan pada pandangan orang, melainkan pada niat untuk memperbaiki diri. Bila aku mati besok, semoga aku tidak lagi disebut penipu, tapi manusia yang mencoba menebus kesalahannya.”
Ia menutup buku itu perlahan, lalu menatap foto kecil Rani dan Aira yang masih ia simpan.
“Maafkan aku,” bisiknya, “aku tak bisa kembalikan masa lalu. Tapi mungkin, dengan membantu mereka,” — ia menatap foto anak-anak rumah singgah — “aku bisa sedikit membayar.”
Pagi harinya, matahari menembus celah jendela, menghangatkan kamar sederhana itu.
Anak-anak memanggil-manggil dari luar, “Pak Randi! Bangun, Pak! Sarapan sudah siap!”
Tapi tak ada jawaban.
Dodit masuk pelan-pelan. Ia menemukan Randi terbaring di tempat tidur, wajahnya tenang, senyum lembut masih tertinggal di bibirnya. Di sampingnya, kertas kecil tergeletak di atas meja.
Dodit membacanya dengan suara bergetar:
“Aku telah terhinakan sehina-hinanya, tapi di situ pula aku belajar arti menjadi manusia. Bila kelak kalian bertanya siapa aku, cukup katakan: ia pernah jatuh, tapi memilih berdiri bukan untuk dirinya — melainkan untuk kalian.”
Air mata menetes di pipi Dodit. Ia menatap keluar jendela, ke arah matahari yang bersinar hangat.
Anak-anak berkumpul di halaman, diam, tak mengerti sepenuhnya apa yang terjadi. Tapi entah kenapa, hari itu rumah singgah terasa penuh cahaya.
Dan di tengah cahaya pagi itu, seolah langit berbisik lembut:
Orang yang pernah terhinakan, bila ia mau memperbaiki diri, bisa menjadi paling mulia di antara manusia.
️ ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here