Lidah Tak Bertuah Lagi
Cerpen Rhenoz Dharma
HARI itu hujan turun deras, memeluk tanah yang kering kerontang. Di sebuah warung kopi tua di pinggiran desa, Jaka duduk dengan tatapan kosong. Secangkir kopi hitam di depannya sudah dingin sejak tadi. Ia hanya menatapnya tanpa minat, seperti semua semangat hidup yang perlahan memudar dalam dirinya.
Jaka dulu dikenal sebagai seorang pendongeng ulung. Kata-katanya memikat, menggetarkan hati siapa saja yang mendengar. Ia bisa menjual cerita, menjahit dongeng menjadi kenyataan, hingga orang-orang percaya sepenuhnya. Dengan lidahnya yang bertuah, ia sering diminta memimpin acara-acara penting, bahkan menjadi penengah dalam pertikaian. Namun, semua berubah dalam satu malam.
Tiga pekan lalu, Jaka berdiri di balai desa. Ia diminta menjadi saksi dalam perdebatan besar antara kepala desa dan seorang petani tua yang menuduh kepala desa mengambil sebagian hasil panennya. Semua orang tahu bahwa kebenaran ada di pihak petani itu. Tetapi, Jaka—dengan lidah yang dulu bertuah—justru memilih berdiri di sisi kepala desa.
“Pak Karta ini sudah pikun. Jangan dengarkan omongannya!” kata Jaka dengan suara lantang.
Kata-kata itu bagaikan palu yang menghancurkan kepercayaan desa kepadanya. Semua orang terdiam, termasuk petani tua itu, yang akhirnya pergi dengan langkah gontai. Sejak saat itu, kepercayaan kepada Jaka runtuh.
Semua orang mulai menjauh. Di pasar, mereka berbisik di belakangnya. Anak-anak yang dulu mendekat untuk mendengar ceritanya kini memilih menjauh. Dan malam-malam yang biasanya ia habiskan bercerita kepada para tetangga berubah menjadi sunyi, hanya ditemani bayang-bayang penyesalan.
Di warung itu, seorang anak kecil tiba-tiba mendekat. “Kak Jaka, kenapa semua orang marah sama Kakak?” tanyanya polos.
Jaka tersenyum tipis. “Karena aku menggunakan lidahku untuk hal yang salah,” jawabnya lirih.
Anak kecil itu mengangguk, lalu berlari pergi. Jaka tahu ia harus memperbaiki segalanya. Namun, bagaimana? Kata-kata yang dulu menjadi senjatanya kini hanya terasa hampa. Ia ingin meminta maaf kepada petani tua itu, tetapi rasa malu membelenggunya.
Malam itu, Jaka berdiri di depan rumah Pak Karta. Tangan dan kakinya gemetar. Ia mengetuk pintu perlahan, dan suara serak dari dalam mempersilakannya masuk. Pak Karta duduk di sudut ruangan, menatapnya dengan dingin.
“Apa lagi yang kau inginkan, Jaka?”
Jaka terdiam sejenak. Lalu, dengan suara gemetar, ia berkata, “Pak Karta, saya datang untuk meminta maaf. Saya telah mengkhianati kebenaran, dan lidah saya… bukan lagi bertuah.”
Pak Karta terdiam. Lalu, ia menghela napas panjang. “Kebenaran memang sering kalah, Jaka. Tapi setidaknya, kau masih punya keberanian untuk mengakuinya.”
Malam itu, Jaka pulang dengan hati yang lebih ringan. Lidahnya mungkin tak lagi bertuah, tetapi ia tahu satu hal: kebenaran tak pernah benar-benar kandas. Ia hanya butuh orang yang berani memperjuangkannya kembali. Bukan soal mana salah benar. ***
Bandung, 23 Desember 2024