Kompetisi Seni: Jalan Instan atau Awal Pengakuan?
Kompetisi seni bagi sebagian seniman muda bukanlah target akhir, lebih pada siasat mendulang prestasi untuk modal karir di masa depan sebagai profesional. Sebagian lagi menganggap, seni biarlah diapresiasi dengan “jalan besi”, lewat pameran-pameran pun dipampangkan di siber media, jurinya adalah publik. Apresiasi terhampar luas disana, dunia anyar adalah dunia siber yang menantang sekaligus dianggap lebih transparan dan obyektif?
Sementara, mereka yang percaya, seniman-seniman profesional itu menyebut kompetisi seni adalah sekedar akumulasi ikhtiar menempatkan diri di sebuah “piramid kesuksesan” dengan pengakuan dan keamanan finansial saja, tak ada penjelajahan hakikat berkesenian lagi di masa depan.
Menjadi seniman memang memiliki pilihan banyak, sesuai ilustrasi diatas bisa menjadi dilema sampai akhir hayat atau justru meluapkan keyakinan atas pilihan bahwa berkarya seni memerlukan pengakuan publik terus-menerus secara berkala. Hal itu, berupa apresiasi berkembangnya nilai-nilai karyanya, dengan ujian sepanjang hidup melewati “onak-duri” dengan sejumlah penilaian estetis di manca negara pun pencapaian- pencapaian global yang membawa nama negara, yang dikatakan sebagai kenyamanan spiritual sebagai seniman selain kemanan material (finansial).
Kompetisi seni pada akhirnya, mungkin sepenggal perjalanan dari sebuah pilgrimage, yakni etape yang dilalui dalam perjalanan panjang artistik; semacam ‘ziarah’ sejenak.
Kompetisi Seni, Tema dan Isu seputarnya
Yayasan Seni Rupa Indonesia (YASRI) dengan hajatannya tenarnya, sekitar tahun 90-an awal sempat menjadi jadi ‘salah satu role model’ dari aktifitas kompetisi— banyak sekali perupa Indonesia yang bermimpi merebut juara event tersebut dan sejarah mencatat mereka sebagian memang “terseleksi” pada event YASRI. Yang paling legendaris tentunya gelaran YASRI masih bercokol nama Philip Morris Art Award, sebelum menjadi Indonesia Art Award.
Para jagoan muda dari Indonesia, ingin sekali “mencicipi” pentas YASRI dan melenggang disana, usai hajatan kompetisi dengan berpartisipasi di Art Biennale atau Art Fair internasional di tahun-tahun itu. Ajang tadi, melahirkan puluhan generasi anyar seniman dengan ciri dan karakter yang majemuk dari generasi baru perupa Indonesia.
Tugas YASRI telah purna dengan mengantar kiprahnya seniman-seniman kita di Davos (1997), Moscow (2000), Madrid (2001), Berlin (2005) dan tentunya di ASEAN Art Award. Sebagai pengganti YASRI dengan nama beken Philip Morris Art Award, yang melampaui lebih dari satu dekade adalah perhelatan kompetisi UOB Painting of The Year.
Lembaga keuangan UOB Bank yang berpusat di Singapura mungkin salah satu yang tetap paling gigih meyelenggarakan kompetisi seni selain yang milik lokal, seperti adanya BACCA (Bandung Contemporary Art Award) dan Basoeki Abdullah Art Award.
Dua yang terakhir memang tidak sekonsisten UOB art yang saban tahun menyapa. Dari membaca sekitar satu dekade usai regenerasi para apresian seni yang telah menjadi senior, para pecinta seni anyar juga memunculkan para apresian muda yang menjadi kelak kolektor- kolektor tentu dengan pertimbangan-pertimbangan khusus memperhatikan para seniman yang “lolos” di ajang kompetisi seni.
Fenomena ganjil industri seni, memberi dampak cukup signifikan dengan memunculkan booming art market sekitar 2006-2012, para penyelenggara kompetisi, selain belajar pada tema-tema dalam kompetisi era 90-an dan awal 2000-an, ada tema-tema spesifik yang disodorkan pihak penyelenggara dengan masukan kurator, kritikus, pengamat seni serta para pemangku kesenian lain; seperti jurnalis. Yang masih tentunya ditimbang, apakah penyelenggara kompetisi seni besar memerlukan sebuah tema besar yang relevan dengan perkembangan dunia politik, budaya dan ekonomi di Indonesia usai era 2020-an.
Para penyelenggara sayembara, nampaknya memilih membaca trend ke depan dan peka terhadap isu-isu terkini yang terjadi tidak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Usai Covid-19, yang menghentak dunia di akhir 2019 serta mencekam tahun 2021 (varian virus Delta)-2022, wabah global yang membuat lumpuh dunia, kemudian disusul ketidakpastian ekonomi global sebab berbagai gejolak ‘perang dagang’ negara-negara super-power.
Selain itu, ancaman berbagai ketidakstabilan politik di sejumlah negara, perang dan hancurnya ekologi dan kematian nyawa manusia sia-sia yang tak terperikan dalam awal abad-abad 21 ini, seperti dulu di sempat terjadi masa silam. Perubahan –perubahan yang dramatis global ini seharusnya segera menjadi “nyawa” dalam penyelenggaraaan dan pemilihan tema kompetisi. Yang paling menarik bisa disoroti adalah: isu kemanusiaan global, Indonesia yang diambang take-off lepas landas dalam “kekacauan politik” menjadi lebih mapan serta cenderung demokratis setelah era reformasi (1998) atau sebaliknya?
Saat sama, misalnya revolusi dunia digital serta mencuatnya ekonomi negara dan bangsa Asia di dunia yang menjadi topik utama kebijakan-kebijakan dalam penyelenggaraan event seni ini bisa diharapkan memberi “ruh” sebuah hajatan sayembara seni. Tak peduli semata-mata demi industri atau semenjak mula bersikukuh untuk pengembangan diskursus seni, kompetisi seni selalu menampilkan paras yang segar dan ini menjadi menarik untuk diikuti.
Dari kantung-kantung komunitas seni rupa , yang muda-muda bermunculan– satu dan dua dekade belakangan– terutama perupa muda dari alternative space atau mereka menyebut sebagai artist initiative group yang diakui secara global. Kompetisi makin marak jika melihat animo dari kehadiran galeri-galeri yang diklaim sebagai ‘pusat pengeraman perupa muda’ seperti di wisma Geha, yakni Jakarta Art Hub, di dekat Gedung Sarinah, Jalan Sudirman Jakarta dan yang biasa kita akrab lebih lama sebelumnya, dengan berbagai helatan seni rupa di kota seni Jogjakarta yang datang menghentak.
Jakarta Art Hub, sebagai disebut mereka sebagian pengelola art space itu, yang dikemudian hari tak menyebut sebagai sebuah galeri seni, namun semacam ruang pameran dengan multi- fungsi dan konsep yang membeda serta menantang secara estetik, memberi pengayaan dengan penjelajahan wacana alternative karya-karya muda dengan bahasa ungkap artistik yang unik dengan medium yang paling mutakhir. Kecenderungan-kecenderungan perupa muda yang menggunakan topik-topik pengalaman-pengalaman estetis dirinya (para perupa muda) dan lingkungan media siber yang mempengaruhi tampak mengemuka.
Selain itu, kompetisi seni tentu tak juga bisa dikaitkan dengan hingar-bingarnya industri dan ajang art fair raksasa seperti Art Jakarta, Art Momen sampai ArtJog disusul yang membukanya pintu-pintu di wilayah Timur, yakni: Surabaya dengan Artsub memompa para seniman-seniman muda dan apresiannya menggeliat menggantikan art lover yang telah senior. Event-event itu, masih menjadi daya tarik utama para perupa muda yang melalui kompetisi seni akan “dihadirkan” generasi lebih segar dan prima di sejumlah helatannya dengan pertimbangan para kuratornya.
Seperti di awal ilustrasi tulisan, ajang kompetisi tentunya bukan menjadi tolok ukur utama mencetak seniman yang mumpuni. Kompetisi salah satu perjalanan panjang seniman menempuh pengakuan publik, juga ajang pembelajaran bagi seniman-seniman muda. Tahun 2025 ini, melihat geliatnya yang memulai marak dengan kemunculan penyelenggaraan sayembara seni anyar lewat sejumlah
Open Call yang dibagi di media sosial, ada harapan- harapan baru pemilihan dan seleksi para juara lebih majemuk.
Semoga kompetisi seni, semata bukan jalan instan, namun awal tapak untuk meraih status seniman profesional sepanjang hayat kelak.
Bambang Asrini, kerani seni
Sponsor