Home AGENDA Panggung Maestro Jabar dan Sumut, Menjaga Tari, Tutur, dan Bunyi & Rasa...

Panggung Maestro Jabar dan Sumut, Menjaga Tari, Tutur, dan Bunyi & Rasa Gerak untuk Bangsa

0
Irawati Durban Ardjo (81 tahun). Maestro Tari Badaya Rancaekek (Jawa Barat). Photo courtesy of Purnati Indonesia.

Loading

Panggung Maestro Jabar dan Sumut, Menjaga Tari, Tutur, dan Bunyi & Rasa Gerak untuk Bangsa


SENIINDONESIA — Menjaga Maestro, Melangkah ke Depan Menghargai Maestro Seni Tradisional Indonesia adalah cara Yayasan Bali Purnati yang sajikan Panggung Maestro Jabar dan Sumut. Inilah nilai luhur dan martabat Bangsa

PADA 15-16 Agustus 2024 lalu sajian bertajuk Panggung Maestro VI yang merupakan pergelaran seni pertunjukan tradisi Nusantara dipersembahkan oleh Yayasan Bali Purnati. Kali ini Yayasan Bali Purnati bekerja sama dengan Direktorat Perfilman, Musik dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia, dan didukung oleh Yayasan Taut Seni dan Bumi Purnati Indonesia menggelar Panggung Maestro.

Sebuah dedikasi untuk bangsa dimana inilah panggung penghargaan bagi para maestro yang telah mendedikasikan hidupnya dalam menjaga dan merawat seni tradisi sehingga budaya bangsa kita tetap lestari sampai saat ini.

Para Maestro ini sepanjang kariernya hampir lebih dari setengah abad  itu telah mendarmabaktikan kecakapan mereka selain menjaga, menggubah karya seni tradisi, melakoninya penuh kesetiaan dan sustainablity. Mereka juga secara langkah dan geraknya mewariskannya kepada generasi berikutnya sebagai mutiara bernilai tinggi.

Sajian para maestro kali ini diharapkan jadi meningkatkan apresiasi, menumbuhkan kepedulian, dan memantik daya kreatif dalam upaya pemeliharaan dan pengembangan seni dan budaya di Indonesia.

Kekayaan dan keragaman kesenian tradisi Indonesia bukanlah warisan benda mati, melainkan aset hidup yang sangat berharga, yang dapat memperkuat kearifan sosial, ketahanan martabat, dan pertumbuhan sosial-ekonomi seniman dan masyarakat pendukungnya.

Lebih dari itu, kesenian tradisi dengan segala kekayaan dan keragamannya sudah semestinya bisa menjadi sumber penciptaan bagi seniman modern yang hendak memperluas, memperdalam atau memperbaharui karya mereka. Bahkan, jika perlu, ia bisa berdiri sejajar dan menjadi lawan dialog seni modern dalam menciptakan kesenian yang lebih bermutu dan memperbaharui hidup kita.

Pentas Panggung Maestro pertama diselenggarakan pada Juli 2023, dan pada 15-16 Agustus 2024 di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) dalam rangka turut memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79.

Panggung Maestro kali ini menghadirkan maestro seni tradisi dari dua provinsi: Sumatra Utara dan Jawa Barat. Adalah Hj. Anita Chairunnisa (81 tahun), Tari Serampang Dua Belas Raminah Garingging (89 tahun), Tari Tortor Panisumbah Jelasmen Sitanggang (61 tahun), Tari Toping-toping Huda-huda dari Sumatera Barat dan dari Jawa Barat
ada  Irawati Durban Ardjo (81 tahun), Tari Badaya Rancaekek Indrawati Lukman (80 tahun), Tari Putri Relati/Kandagan Muh. Aim Salim (84 tahun), Tari Lenyepan naek Monggawa

Panggung Maestro 2023 dan 2024 terselenggara atas dukungan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid; Direktur Perfilman, Musik, dan Media Ahmad Mahendra dan Sulistyo Tirtokusumo; Endo Suanda dan Restu Imansari Kusumaningrum sebagai Penggagas Panggung Maestro, serta manajemen Yayasan Bali Purnati, Yayasan Taut Seni dan Bumi Purnati Indonesia. Panggung ini menyajikan hasil imersif dan pengalaman tulen seni pertunjukan tradisional Indonesia.

Satu hal yang sangat membahagiakan sekaligus mengharukan, manakala di dalam Panggung Maestro kali ini kita mendapat kesempatan bertemu dengan para penari dan penggubah tari yang berusia di atas 70 tahun, bahkan ada yang di atas 90 tahun, tetapi mereka masih tetap berkarya. Lama rentang waktu yang mereka jalani dalam berkarya bukan main-main. Konsep wiraga, wirama, serta wirasa sudah jauh mereka lampaui, dan yang mampu ada dan selalu ada adalah “kasunyatan”, yang senantiasa bersemayam di dalam tubuh mereka. Itulah sejatinya sang Maestro, ungkap Sulistyo Tirtokusumo, Dewan Artistik Panggung Maestro

Restu Imansari Kusumaningrum, Dewan Artistik Panggung Maestro, menambahkan,
Panggung Maestro adalah sebuah pernyataan (bukan pengukuhan) penghormatan kepada para seniman yang telah mengalirkan energi seni-budaya yang didapat dari para pendahulu mereka kepada kita generasi berikutnya. Energi adalah daya hidup, semacam sukma, yang tidak akan mati. Tapi sukma hanya ada jika raga terjaga. Kami berniat, berjanji, untuk menjadi pewaris aktif dengan memelihara dan memupuk energi itu, hingga akan lahir buah dan biji yang mendorong pertumbuhan budaya seterusnya.

Endo Suanda, Dewan Artistik Panggung Maestro memaparkan, sajian total Maestro yang ditampilkan: 40 personal dengan total pendukung pertunjukan: 380 orang dan disaksikan 3.690 penonton.

Yayasan Bali Purnati yang didirikan pada 1999 sebagai yayasan budaya nirlaba internasional yang didedikasikan untuk pelestarian, promosi, presentasi, dan penciptaan arah baru dalam seni pertunjukan, seni visual, dan seni desain. Kegiatannya meliputi dokumentasi teks, gambar dan lm, baik karya seni tradisional maupun karya baru.
Pusat kesenian yang indah dan tenang ini terletak sangat strategis di Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali adalah yang sangat punya komitmen jadi patut diberikan apresiasi yang tinggi.

Berikut adalah detail pergelaran yang disajikan Yayasan Bali Purnati bekerja sama dengan Yayasan Taut Seni dan Bumi Purnati Indonesia:

SAJIAN MAESTRO JABAR

Irawati Durban Ardjo (81 tahun). Maestro Tari Badaya Rancaekek (Jawa Barat). Photo courtesy of Purnati Indonesia.

Tari Badaya Rancaekek (1924)

Tari Badaya Rancaekek adalah tari gubahan Raden Sambas Wirakoesoemah yang memiliki sejarah nama yang panjang. Pada 1920 Raden Sambas mendirikan perkumpulan tari Wirahmasari di Rancaekek. Dalam perkumpulan itu ia menggubah beberapa karya tari yang kemudian disebut sebagai Tari Keurseus. Ia juga merancang pertunjukan wayang orang yang seluruh pemainnya adalah laki-laki. Belakangan, ia merancang karya tari baru yang bisa ditarikan oleh perempuan, maka terciptalah Tari Roromendut yang penariannya mesti diiringi seperangkat gamelan degung. Penari pertamanya adalah kerabat dan saudaranya sendiri. Setahun kemudian Tari Roromendut berubah menjadi Tari Karawitan Istri yang dirancang khusus untuk tari putri rampak (kelompok). Baru pada 1930-an tarian ini dikembangkan menjadi Tari Badaya.

Pada 1957 Raden Sambas Wirakoesoemah mengajarkan Tari Badaya kepada Raden Nugraha Soediredja. Tarian ini kemudian disebut sebagai Tari Badaya Roromendut dan diajarkan di perkumpulan Wirahmasari Sunda yang saat itu dipimpin oleh Raden Nugraha Soediredja. Baru pada 1980, Raden Nugraha Soediredja mengajarkan tarian ini kepada Irawati Durban Ardjo dan dipentaskan dalam acara Lions Club. Di tangan Irawati Tari Badaya mengalami perubahan pada kostumnya, terutama berdasarkan foto kostum yang digunakan para penari Sirimpi Wirahmasari dalam koran Parahiangan yang terbit sekitar 1930-an. Namanya pun berubah, dari Badaya Roromendut menjadi Tari Badaya Rancaekek, atau Tari Badaya Wirahmasari Rancaekek karena bersumber dari perkumpulan tari Wirahmasari di Rancaekek.

Irawati Durban Ardjo (81 tahun), Maestro Tari Badaya Rancaekek

Dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, pada 22 Mei 1943, Irawati Jogasuria atau yang kemudian dikenal dengan nama Irawati Durban Ardjo adalah salah satu maestro khazanah tari Sunda. Pada awalnya ia belajar menari karena sering melihat kakaknya menari. Tari Arab adalah tarian yang pertama Ira pelajari dari kakak iparnya bernama Kusumah, tarian ini ditarikan di Gedung Concordia Bandung sekitar 1949 dalam pesta samen SMA kakaknya. Namun, ia juga belajar menari karena menonton lm balet Red Shoes di bioskop Majestic Bandung. Akhirnya ia belajar balet secara sungguh-sungguh kepada Gina Mellonceli, tetapi hanya selama empat bulan.

Pada 1956 Irawati belajar tari Sunda di Badan Kesenian Indonesia (BKI) yang didirikan oleh Tubagus Oemay Martakusuma dengan guru Raden Rusdi Somantri alias Tjetje Somantri. Bakat Irawati rupanya memikat guru-gurunya. Dari penari di barisan belakang menjadi penari di barisan depan. Setahun kemudian Presiden Sukarno mengirimkan misi kesenian ke Cekoslovakia, Hongaria, Polandia, Rusia, dan Mesir. Rombongan dari Jawa Barat diwakili oleh Irawati, Indrawati Lukman, Karmilah, Raden Dida Hasanudin, dan Kandi (pengendang) bersama dengan Ibu Poerwo sebagai ibu asuh para remaja dalam rombongan ini.

Sekembalinya dari misi kesenian tersebut, Irawati, Indrawati, dan Karmilah sering berpentas dan menjadi penari di Istana Negara, Istana Bogor, Gedung Pakuan, atau di hotel-hotel besar di Bandung seperti Bumi Sangkuriang, Hotel Orient, atau di Savoy Homann. Karena seringnya menari bersama, Irawati, Indra, dan Karmilah sering dijuluki sebagai “Tritunggal” terutama saat menarikan Tari Sulintang. Pada 1960-an Irawati mulai bergabung dengan Viatikara sebagai penari bersama Indrawati dan Karmilah. Berbeda dari tarian yang dipelajari di BKI tarian ini lebih kontemporer karena dibuat berdasarkan keinginan Presiden Sukarno untuk menciptakan tari nasional.

Setelah itu, Irawati masih ikut dalam misi kesenian ke luar negeri, semisal Thailand dan Amerika Serikat, terutama New York World’s Fair 1964. Sepulang dari Amerika Serikat, Irawati diminta menyiapkan penari yang akan diberangkatkan ke New York World’s Fair 1965. Irawati kemudian menggubah ulang kembali Tari Merak karya Raden Tjetje Somantri. Namun, misi ini batal karena peristiwa Gerakan 30 September yang membuat Presiden Sukarno jatuh. Di masa pemerintahan Presiden Soeharto, Irawati masih mendapat tugas sebagai penari istana. Bahkan, Irawati sempat mempertunjukkan Tari Kandagan di hadapan Ratu Juliana dan Pangeran Bernard dari Belanda.
Selain sebagai seorang penari dan penggubah tari, Irawati tentu saja adalah seorang guru. Pengalaman mengajarnya, antara lain, di Konservatori Tari Indonesia (KORI) Bandung pada 1967. Lembaga ini kemudian berubah menjadi Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) sebelum akhirnya menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) dan kini Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI). Irawati pensiun dari STSI pada 2008. Pengalaman mengajar tari juga ia dapatkan ketika diminta menjadi dosen tamu di Center for World Music, Berkeley, dan Universitas California Santa Cruz, Amerika Serikat.

Pada 1980, Irawati mempelajari Tari Badaya Rancaekek dari Raden Nugraha Soediredja. Irawati kemudian membentuk wadah Pusat Bina Tari (Pusbitari) di Bandung pada 1986, yang di dalamnya ia melakukan pembinaan dan pertunjukan. Sebagai dosen ia telah menulis sejumlah buku tari, diantaranya Kawit: Teknik Gerak dan Tari Dasar Sunda, Tari Sunda 1880-1990, Tari Sunda 1940-1965, 200 Tahun Seni di Bandung, Teknik Tari Sunda Klasik Putri, dan Tari Merak Sunda. Irawati juga menulis artikel “New Sundanese Dances for New Stages” dalam Heirs to the World Culture: Being Indonesia 1950-1965 yang disunting oleh Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem.

Atas dedikasinya dalam melestarikan tari Sunda, Irawati Durban Ardjo mendapatkan beberapa penghargaan, diantaranya, Tanda Penghargaan dari Panitia Konferensi Internasional Budaya Sunda, Yayasan Kebudayaan Rancage Bandung (2001), Lalayang Salaka Domas dari STSI Bandung (2003), Anugrah Budaya Wali Kota Bandung (2011), Ori Award, Original Rekor Indonesia (2015), Maestro Tari dari Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta (2015), Icon Pancasila (2018), dan Tari Merak Sunda sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2020).
Tari Putri Relati/Kandagan

Lain lagi dengan Tari Kandagan. Pada 1957, Raden Tjetje Somantri menciptakan tari Topeng Wadon yang pertama kali dipertontonkan dalam Kongres Jawatan Pendidikan Masyarakat Pusat di Argamulya, Tugu, Bogor. Rupanya, tari putri baru dengan gerakan yang gagah dan lincah ini disukai oleh penonton. Namun, ada soal dengan namanya. Berdasarkan perundingan sejumlah tokoh di BKI, akhirnya nama tarian itu berubah menjadi Renggarini. Rengga berarti “berlaga atau bertingkah”, sedangkan rini artinya “wanita”. Akan tetapi, Tari Renggarini hanya pernah ditarikan dua kali saja, karena pada sekitar 1958/1959 tarian ini dikembangkan menjadi Tari Kandagan.

Tari Kandagan adalah salah satu tarian yang disukai oleh murid-murid di perkumpulan tari Rinenggasari pimpinan Raden Tjetje Somantri. Geraknya yang gagah dan lincah, serta gerakan menyepak soder hingga melambung ke atas menjadi ciri khas dari tarian ini. Tari Kandagan seolah-olah menjadi representasi wanita modern pada masa itu, karena sebelumnya, tari perempuan lebih banyak menggunakan kain yang dibalut dengan ketat, seolah memberikan batasan ruang untuk bergerak. Kata Kandagan berasal dari kata kandaga yang berarti “wadah atau tempat menyimpan perhiasan”, yang dapat diartikan bahwa tarian ini adalah wadah dari gerak-gerak tari yang indah. Tarian ini menggambarkan tentang tokoh Dewi Anjasmara yang menyamar sebagai pria untuk mencari kekasihnya

Damarwulan ke Blambangan. Selain itu, Tari Kandagan juga sering digambarkan sebagai laku seorang putri bernama Relati dari Keraton Kanoman Cirebon yang menari ketika menyambut para tamu.

Tari Kandagan pertama kali ditarikan oleh Setiasih, tetapi kemudian tarian ini sering ditarikan oleh Indrawati Lukman. Pada 1964 saat misi kesenian ke New York World’s Fair 1964, Indrawati menjadi penari Kandagan dan dalam perkembangan selanjutnya Tari Kandagan menjadi identik dengan Indrawati Lukman.

Indrawati Lukman (80 tahun). Maestro Tari Putri Relati_Kandagan (Jawa Barat). Photo courtesy of Purnati Indonesia.

Indrawati Lukman (80 tahun), Maestro Tari Putri Relati/Kandagan

Indrawati Carvacrolia atau yang lebih dikenal dengan nama Indrawati Lukman dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, 1 April 1944. Saat masih muda ia lebih dikenal dengan nama Indrawati Poerwo sebab ia adalah anak dari Soesatio Poerwohadikoesoemo. Indrawati mulai belajar menari secara serius pada 1955 di bawah bimbingan Raden Tjetje Somantri di BKI Bandung. Kepiawaiannya menari Sunda membuat Indrawati terpilih sebagai anggota misi kesenian Indonesia ke Cekoslovakia, Hongaria, Polandia, Rusia, dan Mesir. Setelah itu ia juga terlibat sebagai penari dalam berbagai acara penyambutan tamu negara di Istana Negara, Istana Bogor, Gedung Pakuan Bandung, hingga misi-misi kesenian ke Thailand dan New York World’s Fair, Amerika Serikat, pada 1964.
Setelah misi kesenian New York World’s Fair 1964, Indrawati tidak ikut pulang ke Indonesia, tetapi ia memilih melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah di Stephens College di Broadway.

Sepulangnya ke Indonesia, untuk mengamalkannya Indra mendirikan Studio Tari Indra (STI) pada 1968. Dalam wadah inilah kemudian ia menggubah beberapa karya drama tari dan tari lepas di antaranya: Tari Anom Sari, Tari Rineka Dewi, Tari Rarangganis, Tari Pati Laras, Tari Anggana Laras, Tari Ringkang Topeng, Tari Gentra Pinutri, Tari Lagean Tabuhan, Tari Belibis, Tari Wiragajati, dan Tari Topeng Sasikirana. Sementara dramatari gubahannya adalah Bendrong Sekartaji (1991), Anglingdarma (2003, 2010), Samoja Gugat (2004), Nyai Sumur Bandung (2006), dan terakhir Harisbaya: Prahara Gita Cinta (2019).

Bersama STI Indrawati pernah melawat ke berbagai kota di mancanegara, seperti Expo Vancouver (1986), Expo Hannover (2000), Expo Aichi Nagoya (2006), International Folklore Festival (2008), Portugal (2011), Sabah (2011) dan mendapatkan penghargaan tertinggi The Best Performance Award 2008 dan 2011. Pada 2010 Indrawati mendapatkan penghargaan Anugerah Budaya dari Wali Kota Bandung. Tari Sunda bagi Indrawati adalah sebuah medium untuk menyadari dan merasakan gambaran wanita Sunda yang cantik dan berbudi pekerti luhur. Hingga saat ini Indrawati masih aktif menari dan mendidik banyak penari berbakat di Bandung.

Tari Lenyepan naek Monggawa

Tari Keurseus digubah oleh Raden Sambas Wirakoesoemah pada 1920-an. Istilah “keurseus” muncul setelah tarian ini dipelajari di sekolah-sekolah Belanda, seperti OSVIA, MOSVIA, dan Kweekschool. Kata keurseus berasal cursus (Belanda) yang artinya “dikursuskan” atau “dipelajari dengan cara dikursuskan.” Tarian ini adalah produk budaya yang dihasilkan dari perkawinan antara Tari Tayub Priangan dan Tari Topeng Cirebon. Terdapat lima tarian pokok dalam rumpun Tari Keurseus di antaranya, Tari Lenyepan menggunakan lagu Renggong Bandung, Sulanjana, Banjar Sinom, Udan Mas, dan lagu ageung lainya. Tari Gawil menggunakan lagu Gawil; Tari Karawitan atau Kawitan menggunakan lagu Karawitan atau Kawitan; Tari Gunung Sari menggunakan lagu Gunung Sari; dan Tari Kastawa menggunakan lagu Kastawa.

Menurut maestro tari Raden Abay Subardja, tarian yang pertama kali digubah adalah Tari Lenyepan pada 1910. Setelah itu Raden Sambas menggubah Tari Gawil (1914), Tari Karawitan atau Kawitan dan tari lainnya pada sekitar 1920-an, di bawah naungan perkumpulan tari Wirahmasari. Meski Tari Keurseus memiliki pola atau susunan tertentu, tetapi para penari dapat menarikannya secara acak, asal tidak jauh dari irama lagu. Penguasaan irama lagu sangat penting dalam menarikan Tari Keurseus.
Di Wirahmasari Bandung, Tari Lenyepan dijadikan sebagai tarian dasar saat mempelajari Tari Keurseus. Menurut maestro tari dan tembang Sunda Wigandi Wangsaatmadja, awalnya tari yang ia pelajari adalah Tari Karawitan, tetapi karena tarian dan lagunya dianggap sulit, maka oleh gurunya Raden Rubama Natabradja Tari Karawitan kemudian diganti dengan Tari Lenyepan. Pada umumnya Tari Keurseus dapat dibagi menjadi tiga bagian:
1. Lenyepanbersifatlungguh,halusdanberiramalambat.
2. Monggawa bersifat gagah, kuat dan berirama sedang, atau biasa disebut dengan istilah
Kering Dua.
3. Ngalana menggunakan gending-gending yang sama dengan Tari Monggawa hanya iramanya cepat, atau sering disebut dengan irama Kering Tilu atau gurudugan.

Tari Keurseus pada umumnya tidak menggambarkan atau menceritakan tentang suatu cerita atau tokoh, tetapi lebih kepada pengungkapan gerak, dan karakter tarian secara personal. Sesuai dengan namanya, tarian ini sering diidentikkan dengan nilai-nilai kontemplatif, bahkan maestro tari Sunda Oong Abdurrahman mengatakan bahwa Lenyepan artinya adalah ngalenyepan sagala rupa tingkah laku paripolah diri sajeroning lumaku di alam rame (merenungi segala tingkah laku diri selama hidup di dunia). Kostum yang dipakai saat menari Keurseus ialah baju masamoan (pertemuan) atau baju keseharian para bangsawan di masa kolonial seperti; baju takwa atau jas (tutupan atau sentingan), bendo atau iket, sinjang dilepe, dasi kupu-kupu, kewer, sabuk, keris, dan soder.

Muh. Aim Salim (84 tahun). Maestro Tari Lenyepan naek Monggawa (Jawa Barat). Photo courtesy of Purnati Indonesia.

Muh. Aim Salim (84 tahun), Maestro Tari Lenyepan naek Monggawa

Muh. Aim Salim dilahirkan di Cililin, Bandung, 8 November 1939. Aim pertama kali belajar tari dan gamelan Sunda saat ia menginjak kelas 4 Sekolah Rakyat (SR) dari kakak iparnya Raden Popo Gandaatmadja yang berprofesi sebagai guru dan memimpin perkumpulan kesenian Sunda Mitrasejati. Aim belajar Tari Lenyepan, Tari Gawil, Tari Ponggawa, Tari Topeng, Tari Arjuna, Tari Gatot Kaca, Tari Rahwana, Tari Putri Lemesan, dan Tari Putri Lenger. Ia juga belajar gamelan untuk mengiringi tarian yang dipelajarinya, belajar pula menabuh lagu-lagu Kiliningan, belajar tembang Sunda kepada kakaknya yang kedua yakni Muhamad Djafar Tisnawidjaja yang biasa mengajak temannya seorang pemain kecapi. Aim juga ikut serta dalam pementasan Wayang Wong Priyayi dan Ogel.
Sepanjang 1960-1965 Aim kembali belajar tembang Sunda Cianjuran kepada M.D. Tisnawidjaja dan Raden Rachmat Sukmasaputra, dan bergabung dengan Perkumpulan Seni Sunda Setialuyu Bandung di bawah pimpinan Mayor Abdul Kodir Ilyas dan Raden Mustamil Purawinata. Di Setialuyu, Aim belajar Tari Lenyepan, Tari Gawil, Tari Wayang, dan belajar tari-tari putri karya Raden Tjetje Somantri. Setelah itu ia aktif sebagai tenaga ahli seni di Biro Urusan Moril Kodam VI Siliwangi, juga menata tari dan menjadi penari dalam pergelaran Rinenggasari Iblis Minda Wahyu karya Raden Machyar Angga Kusumadinata. Setelah itu Aim masih terus tampil di sejumlah pentas dan festival tari di dalam dan luar negeri. Termasuk terlibat dalam Gending Karesmen Rambut Kasih karya Wahyu Wibisana yang dipentaskan di Istana Negara Bogor dan dihadiri oleh Ibu Tien Soeharto.

Setelah menampilkan tari karya orang lain, Aim kemudian mulai menggubah karya tari sendiri, baik itu untuk anak-anak, remaja, dewasa maupun drama tari seperti, Tari Ucing Peungpeun, Tari Prawestri, Tari Srikandi Yudha, Tari Satria Bambang Arayana, Tari Topeng Tarung, Tari Arumampes Katon, Tari Mayang Katon. Ia juga menulis buku-buku panduan tari. Dengan pengalamannya yang panjang sebagai penari, penata tari, penggagas sendratari, penulis buku tari, Aim menjadi tokoh tari yang disegani di Jawa Barat. Atas dedikasinya ini ia mendapatkan sejumlah penghargaan, seperti Anugerah Budaya Kota Bandung, Anugrah Budaya Kabupaten Bandung, Anugrah Budaya Provinsi Jawa Barat, dan terakhir mendapatkan penghargaan Lansia Berprestasi untuk Bidang Seni Budaya dari pemerintah Jawa Barat 2024.

SAJIAN MAESTRO SUMUT

Tari Serampang Dua Belas
Tari Serampang Dua Belas adalah tarian muda-mudi yang berasal dari Sumatra Utara dan diciptakan oleh Guru Sauti pada awal kemerdekaan Republik Indonesia. Tidak ada catatan pasti mengenai saat kelahiran tarian ini, yang ada hanya catatan mengenai kapan tarian ini mulai diajarkan, yaitu pada 1950-an. Pada awal kemunculannya tarian ini bernama Tari Pulau Sari, sebab ditarikan oleh dua lelaki yang secara mana suka mengikuti irama musik berjudul “Pulau Sari”. Dalam perkembangan selanjutnya tarian ini berganti nama menjadi Serampang Dua Belas. Penari yang pertama kali menarikan Serampang Dua Belas adalah Oka Adram dan Guru Sauti. Karena sambutan khalayak yang cukup baik, Guru Sauti akhirnya menyusun pola-pola gerakan yang lebih pasti untuk tarian ini. Akhirnya, terciptalah gerak-gerak tetap Serampang Dua Belas yang diambil ragam gerak tari Melayu dan tari-tari lain yang dikuasai oleh Guru Sauti.

Tari Serampang Dua Belas pada awalnya hanya berkembang dalam masyarakat Melayu di Sumatra Utara, tetapi kemudian berkembang menjadi salah satu tarian nasional. Presiden Sukarno menjadikan tarian ini sebagai tarian resmi kenegaraan dan dipertunjukkan di Istana Kepresidenan maupun untuk menemani lawatan Presiden ke mancanegara. Untuk itu Presiden Sukarno mengirim Guru Sauti ke berbagai daerah untuk mengajarkan tari gubahannya itu dan Presiden juga sempat mewajibkan setiap penari dari berbagai daerah untuk menghafal dan menguasai tarian ini.

Hingga saat ini formulasi gerak dan makna Tari Serampang Dua Belas ini masih dilestarikan oleh keluarga besar Kesultanan Serdang di Sumatra Utara, tempat tarian ini berasal. Meskipun belakangan Tari Serampang Dua Belas memiliki sejumlah gerakan baru dari para penggubah setelah Guru Sauti, Kesultanan Serdang tetap memilih untuk berpegang teguh kepada panduan utama yang mereka lestarikan selama ini. Meskipun sekarang ini Tari Serampang Dua Belas tidak sepopuler pada masa kejayaannya dahulu, ia tetap menjadi kebanggaan masyarakat Sumatra Utara. Ia adalah bagian yang sah dari khazanah tari tradisi Indonesia. Di Panggung Maestro VI tahun 2024 Serampang Dua Belas ditarikan oleh Putri Sultan Serdang VIII.

Ada dua belas gerak dalam Tari Serampang Dua Belas, yaitu:
● Gerak tari permulaan adalah gerakan awal pada tarian ini berupa gerakan putaran dan lompatan kecil. Pasangan penari berjalan dengan lambat dan mengelilingi satu sama lain. Gerakan ini menceritakan bagaimana sikap seorang pemuda dan seorang gadis ketika pertama kali bertemu. Gerakan mereka menampilkan perasaan canggung sang gadis dan rasa penasaran sang pemuda.
● Gerak tari berjalan adalah ketika pasangan penari berjalan dengan lambat, berputar mengelilingi satu sama lain dengan diselingi lompatan kecil. Gerakan-gerakan ini menggambarkan tumbuhnya rasa di antara pemuda dan gadis. Mereka mulai merasakan berseminya cinta, akan tetapi masih tetap ada perasaan canggung untuk mengungkapkannya.
● Gerak tari pusing adalah gerak yang melambangkan cinta yang kian membuncah di antara dua sejoli. Juga, perasaan gundah gulana. Walaupun begitu, mereka masih memendam perasaan mereka. Selain gundah gulana, mereka menginginkan pertemuan yang lebih kerap.
● Gerak tari gila adalah gerak ketika pasangan penari berjalan berlenggak-lenggok
● Gerak tari sipat adalah gerakan yang menggambarkan perasaan sang gadis terhadap sang pemuda yang mendekatinya. Ia memberi isyarat melalui gerakan lenggak-lenggok dan permainan mata. Gerakan ini menunjukkan bahwa sang gadis mempunyai keinginan yang sama dengan sang pemuda.
● Gerak tari goncat-goncet adalah gerakan yang menggambarkan pasangan penari melangkah seirama. Ini menjelaskan bahwa sang pemuda sudah menerima isyarat sang gadis agar segera menuturkan isi hatinya.
● Gerak tari sebelah kaki adalah gerakan yang menggambarkan keyakinan menyatakan cinta, atau, sebaliknya, mengurungkannya. Sang pemuda dan sang gadis saling menduga perasaan. Hingga akhirnya, mereka mengetahui bahwa mereka memiliki perasaan yang sama dan mereka dapat memulai sebuah hubungan asmara.
● Gerak tari langkah tiga adalah gerak melompat tiga kali ke depan atau ke belakang. Ini bermakna bahwa memang sudah jalannya sang pemuda dan sang gadis hidup bersama. Gerakan tersebut juga menceritakan perasaan gembira keduanya karena telah saling memperkenalkan diri dan kepada masing-masing keluarga.
● Gerak tari melonjak adalah gerakan tari yang dilakukan dengan melonjak ke atas. Ini dimaksudkan dengan menunjukkan perasaan berdebar sepasang kekasih dalam menunggu restu orang tua masing-masing.
● Gerak tari datang-mendatangi adalah gerak yang menyiratkan proses pinangan sang pemuda terhadap sang gadis. Mereka saling mendekat dengan diikuti dua kelompok penari.
● Gerak tari rupa adalah gerakan yang memperlihatkan sebuah proses mengantar kedua mempelai menuju pelaminan. Menyiratkan perasaan sukacita yang begitu besar.
● Gerak tari sapu tangan adalah gerakan terakhir ketika sang pemuda dan sang gadis masing-masing mengeluarkan sapu tangan, dan menyilangkan sapu tangan tersebut yang telah saling berkaitan. Dengan sapu tangan berwarna cerah, mereka menari bersama seakan-akan tidak akan terpisahkan.

Tari Serampang Dua Belas (Sumatra Utara). Photo courtesy of Purnati Indonesia.

Hj. Anita Chairunnisa (81 tahun), Maestro Tari Serampang Dua Belas
Hj. Anita Chairunnisa adalah maestro Tari Serampang Dua Belas yang merupakan murid langsung Guru Sauti. Meskipun sejak kecil telah belajar aneka tarian, ia baru belajar Serampang Dua Belas kepada Guru Sauti di Gedung Kesenian Medan, 1957. Tekun belajar menari Serampang Dua Belas, Anita kemudian mengikuti sejumlah perlombaan tari, sampai akhirnya ia terpilih sebagai penari dari Sumatra Utara untuk misi kesenian Indonesia selama tiga bulan ke Republik Rakyat Tiongkok. Setelah misi kesenian itu, sepanjang 1962-1963, ia makin aktif mempertunjukan Serampang Dua Belas di depan para tamu kenegaraan di Istana Kepresidenan. Pada 1964, selama delapan bulan, ia juga memperkuat Indonesia dalam misi kebudayaan Indonesia dalam acara New York World’s Fair, Amerika Serikat—selanjutnya ke Prancis dan Belanda.

Tari Serampang Dua Belas (Sumatra Utara). Photo courtesy of Purnati Indonesia.

Lawatan-lawatan kesenian itu membuat Anita menyerap banyak sekali pengalaman akan ragam seni Indonesia dan mancanegara. Setelah banyak memperkuat Indonesia dalam lawatan-lawatan seni tersebut, ia mendarmabaktikan dirinya sebagai Ketua Dewan Kesenian Medan selama 17 tahun. Kini ia memang sudah tidak lagi aktif menari, tetapi tetap mengikuti perkembangan kesenian di Medan dan sekitarnya. Ia berharap generasi muda sekarang ini lebih peduli kepada adat dan tradisi yang tumbuh di sekitar mereka sebab dari situlah tumbuh jatidiri dan peradaban bangsa.

Jelasmen Sitanggang (61 tahun). Maestro Tari Toping-toping Huda-huda (Sumatra Utara). Photo courtesy of Purnati Indonesia.

Tari Tortor Panisumbah

Tortor Panisumbah dari Simalungun, Sumatra Utara, adalah tarian penghormatan kepada Naibata (Tuhan) atau sebagai persembahan kepada leluhur, yang biasa dilakukan di Dolok Parsinumbah atau Bukit Persembahan. Pada dasarnya ritual-ritual yang tertuang dalam Pustaha Laklak (tulisan-tulisan di atas kulit kayu) selalu dinamakan “tortor”, peruntukan ritualnya didasarkan pada doa (togo) dan mantra (tabas) yang dilantunkan dalam setiap ritusnya. Sampai sekarang tarian ini masih dipersembahkan di bukit-bukit tinggi yang menjadi tempat persembahan penganut Parhabonaron, salah satu kepercayaan atau religi orang Simalungun.

Pada Panggung Maestro kali ini kami akan menampilkan tortor yang mengandung tabas (mantra) kepada leluhur. Tarian ini sekaligus menjadi bagian dari upacara bersih desa, pengobatan dan penanggulangan wabah (sampar) di masa lalu. Istilah “panisumbah” itu sendiri dicetuskan kembali oleh Muhar Omtatok, budayawan Simalungun-Melayu, dalam pertunjukan Tortor Hasombahon Panisumbah Parsimagotan dalam Temu Karya Taman Budaya se-Indonesia di Jambi 2013. Kini, Raminah Garingging, Muhar Omtatok dan Sultan Saragih (pegiat budaya Simalungun), mencoba menguatkan kembali keberadaan Tortor Panisumbah dalam tradisi ritus di masyarakat Simalungun.
Tortor Panisumbah terbagi ke dalam empat:
Bersih/Pamuka Parsinumbah. Parhuta (penduduk) bersama-sama membersihkan tempat pemujaan (dengan cara berjongkok dan merunduk), lalu menyusun kelengkapan persembahan (batang dan daun enau, dan lain-lain).
Pemujaan/Panisumbah. Dengan bersimpuh pemuja meletakkan tikar sesajian di batu panggalangan, membakar ratus atau kemenyan. Selanjutnya, Sibotoh Surat melantunkan inggou (nyanyian doa).
Permohonan/Mamuhun bersih desa, atau untuk penyembuhan, kesuburan, penyelesaian masalah di huta.

Tukkot Malehat/Pagar Huta/Deisa Nauwaluh. Sibotoh Surat menari memuja leluhur dengan Tukkot Malehat, lantas ia menari bersama penduduk mamagari huta (pagar gaib sekeliling perkampungan) demi melindungi kampung dari ancaman marabahaya.

Raminah Garingging (89 tahun). Maestro Tari Tortor Panisumbah (Sumatra Utara). Photo courtesy of Purnati Indonesia.

Raminah Garingging (89 tahun), Maestro Tari Tortor Panisumbah
Raminah dilahirkan di Sorba Dolog, Silou Kaheyan, Simalungun, Sumatra Utara, 10 Oktober 1934. Ketika masih kanak-kanak ia dibawa neneknya (tutua) untuk belajar menari kepada Tengku Utih di Sorbananti, yang merupakan bagian dari Kerajaan Padang Tebing Tinggi. Bukan hanya belajar menari, ia juga belajar menganyam, menjahit dan lain-lain. Kepada gurunya yang lain, Bu Bakul, ia belajar Tari Payung, Tari Piring, Tari Lancang Kuning, dan lain-lain. Sementara kepada Datuk Bustami ia belajar Tari Simalungun Bagot I Huta Nami.

Pada 1956 Raminah bermain dalam produksi lm Turun Hujan di Tengah Hari besutan P. Ramlee, aktor, penyanyi dan sutradara terkenal dari Malaysia. Setahun kemudian ia menikah dengan Saudin Sinaga dan dikaruniai dua putra dan dua putri.
Pada 1990, atas jasa Kepala Museum Simalungun Mayor Andreas Lingga yang saat itu menjabat Kepala Museum Simalungun, Raminah berkenalan dengan para parsarunei dan panggual (pemain musik tradisi Batak) untuk melatih tari Simalungun. Dari pergaulan itu ia menyerap musik gonrang (gendang) Simalungun dan mendorongnya untuk menarikan tortor-tortor lainnya. Termasuk gubahan tortornya yang terinspirasi dari kehidupan alam perdesaan, Tortor Balang Sahua, Tortor Bodat Na Haudanan, Tortor Makkail, Tortor Sirintak Hotang, Imbou Manibung, Manogu Losung.

Sementara dari pengalaman masa kanaknya, karena ayahnya yang kerap mendongeng, Raminah menguasai khazanah dongeng dan legenda Simalungun, termasuk Pining Anjei, Rottagan (kisah putra Tuan Jorlang Hataran), Sae Sae (pesan perang), Dolok Simarsulpit Simarsolpah (raksasa membuang sopah atau ampas sirih), Kisah Tuan Bandar Pulou, Gasing Tuan Mortiha (asal mula Saragih Dasalak), Jambak Malayur (raja beristri dua), Tanduk Murlei Urlei (kisah gadis bertujuh), Kisah Kerbau dan Kera Bertukar Suara. Raminah juga menguasai sastra lisan Simalungun Inggou turi turian (dongeng dalam bentuk nyanyian).

Selain menggubah tari dan sastra lisan, Raminah juga menguasai khazanah pengobatan tradisional Simalungun yang banyak menggunakan rempah-rempah setempat. Bersama Muhar Omtatok dan Sultan Saragih ia menghidupkan kembali Tortor Panisumbah yang ditampilkan dalam Pekan Maestro kali ini. Bersama Sanggar Budaya Rayantara, Raminah tengah menggali dan mengajarkan kembali Tortor Ilah Panakboru Uou (Burung Merak Simalungun) yang sudah lama tidak pernah dipertunjukkan lagi.

Raminah Garingging (89 tahun). Maestro Tari Tortor Panisumbah (Sumatra Utara). Photo courtesy of Purnati Indonesia.

Tari Toping-toping Huda-huda

Toping-toping Huda-huda adalah sastra lisan sekaligus tarian. Tidak diketahui persis kapan kemunculannya di Simalungun. Yang jelas, ia berkisah tentang kesedihan seorang permaisuri karena kematian anak tunggalnya. Dalam kesedihan dirangkulnya terus jasad anak terkasih itu, tidak mau ia lepaskan untuk dimakamkan. Raja dan rakyat ikut bersedih tersebab permaisuri yang larut dalam dukacita.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghibur hati permaisuri agar jasad anaknya dapat segera dimakamkan. Ada beberapa versi mengenai kelanjutan tarian ini. Salah satunya adalah turunnya burung enggang yang mematuki rumput di halaman kerajaan. Permaisuri yang berduka terpikat oleh burung enggang itu, dan dia berusaha menangkap burung tersebut dengan menunggang seekor kuda. Tetapi burung itu terbang begitu cepat, entah ke mana.

Versi lain mengatakan untuk menghibur permaisuri yang berduka raja mengadakan sayembara agar rakyat bisa membuat permaisuri lupa akan kesedihannya. Karena itu rakyat berkumpul dan menampilkan berbagai atraksi yang menarik. Atraksi yang berhasil menarik hati permaisuri adalah tampilan sekelompok orang yang salah satunya adalah menutup wajah dengan menggunakan topeng yang terbuat dari paruh burung enggang. Gerakannya melompat-lompat seperti kuda. Melihat aksi ini permaisuri menjadi girang dan lupa akan kesedihannya.

Pada saat itulah raja berhasil mengambil jasad putra tunggal kesayangan mereka dan langsung dikuburkan. Sejak saat itu tarian ini ditampilkan dalam upacara kematian. Pada perkembangannya tarian ini diperuntukan bagi orang yang meninggal setelah beranak cucu, atau kematian yang sayur matua.

Toping-toping Huda-huda juga adalah salah satu bentuk tortor. Ditampilkan biasanya untuk menghibur keluarga yang berduka. Adalah pantang untuk menampilkan Toping-toping Huda-huda ini pada acara keriaan, misalnya acara perkawinan atau pada saat memasuki rumah baru. Sekarang ini tarian ini sudah jarang ditampilkan walaupun dalam suatu keadaan kedukaan dan nilai-nilai sakralnya sudah kurang dihayati.
Beberapa hal yang menarik dan perlu diperhatikan dalam pertunjukan tari Toping-toping Huda-huda adalah:

● Pinar bunga bongbong yang diletakkan di atas kepala enggang, memiliki fungsi sebagai penangkal marabahaya atas niat jahat, dan menjaga agar pemain tidak kesurupan.● Ritus di akhir pertunjukan, marangir (mandi jeruk purut) dan prosesi penanggalan
Toping-toping Huda-huda, sudah lama ditiadakan.
● Selama pertunjukan, penonton anak-anak harus mendapat penjagaan atau pendampingan orang tua agar tidak terkejut, takut atau terbawa oleh dinamika pertunjukan.
Jelasmen Sitanggang (61 tahun), Maestro Tari Toping-toping Huda-huda
Jelasmen Sitanggang dilahirkan di Durian Banggal, Raya Kahean, Simalungun, Sumatra Utara, 21 Oktober 1962. Karena kerap menyaksikan Huda-huda sejak kecil, Jelasmen kemudian belajar tarian tersebut kepada Rajialam Sipayung, Jamalim Sipayung dan Piter Damanik. Sebagai maestro Huda-huda, Jelasmen juga kerap diundang dalam sejumlah perhelatan dan lokakarya adat, seperti Pesta Rondang Bintang (festival tahunan di Parapat) dan pelatihan gonrang si dua-dua. Selain menarikan Toping-toping Huda-huda, Jelasmen juga ahli meniup serunai, gonrang si dua-dua dan membuat topeng serta busana untuk kesenian ini dan sering mendapatkan pesanan. Di desanya, sehari-hari, ia adalah seorang pembuat pisau.

Sebuah Perjalanan perjuangan

Jika kita melihat dan menyaksikan  pertunjukan para maestro nampak para maestro itu paham betul bahwa panggung baginya Baik dari awal tampil sampai usai dibalik panggung mereka punya aura dan karakteristik yang sublim, mereka telah melakukan perjalanan dan perjuangan hidupnya yang konsisten menepaki dan mampu hidup  mempertahankan kesenian tradisi di daerahnya yaitu kekuatan lokal jeniusnya di tanah nusantara ini.

Para Maestro sebagai penjaga dan pewaris budaya Indonesia yang kaya dan karya-karya mereka akan membuka wawasan kita tentang keberagaman seni tradisional di Indonesia.
Langkah Yayasab Bali Purnati adalah legacy, dan sajian penghargaan ini mencerminkan pentingnya pelestarian seni tradisional Indonesia yang jadi bagian integrated (terpadu) dari identitas bangsa.

Dengan sajian ini adalah penghargaan pada para Maestro, kita memperkuat landasan ekonomi dan sosial budaya Indonesia yang berkeadilan dan berkelanjutan (sustainablity).
Untuk masa depan dan inspirasi Generasi Muda pun inilah penghormatan yang dapat menjadi roda penggerak bagi generasi muda untuk menghargai dan melestarikan warisan budaya Indonesia serta inspirasi kreatif dalam berkarya. Secara kolaborasi panggung Maestro juga menggalang dukungan lintas sektor untuk melestarikan dan mengembangkan seni tradisional, menciptakan kesempatan kerja kolaboratif yang lebih luas dan dalan related Global Panggung Maestro bisa jadi pelestarian seni tradisional Indonesia memiliki relevansi global dalam memelihara keragaman legacy budaya luhur.

Inilah sebuah kado paling indah dalam kenduri dirgahayu ke 79 bangsa ini. Dan ini juga yang jadi potret besar nilai luhur karakter bangsa asli Indonesia yang utuh tanpa kepalsuan. Alangkah elok bahwa kami sebut Panggung Maestro ini adalah sajian wajah originalitas bangsa Indonesia yang punya nilai luhur dan martabat yang agung. (aendra medita/ed-seni.co.id)

 

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here