Home AGENDA LAKON ‘RUMAH BONEKA’ DAN PEMBERONTAKAN PEREMPUAN

LAKON ‘RUMAH BONEKA’ DAN PEMBERONTAKAN PEREMPUAN

0
Sebuah adegan Lakon ‘Rumah Boneka’ saat tampil di Toga Sanbo, Toga Art Park, Jepang, september 2017./NEO

SENI.CO.ID – NEO Theatre Indonesia akan menampilkan lakon RUMAH BONEKA (A Doll’s House) karya dramawan Realisme, Henrik Ibsen.

Pertunjukan akan tetap menggunakan nama-nama tokoh dan latar peristiwa sesuai dengan lakon aslinya. Konsep pertunjukannya lebih menekankan pada penerapan prinsip-prinsip Selected Realism atau Suggestive Realism; set dan properti pentas yang ditampilkan hanya dipilih dari yang paling mewakili potensi dan kekuatan dramatiknya beserta pemahaman terhadap kandungan makna-makna simbolisnya.

Garis, warna, dan tekstur pertunjukan akan terasa sangat sederhana namun tetap mengekspresikan kedalaman aspek-aspek rupawi. Musiknya terutama diaransir berlandaskan pada penghayatan beberapa nomor repertoar piano Frederic Chopin yang sangat menyentuh hati, tentu lantaran NEO Theatre adalah kelompok teater yang menekankan pada pencapaian kekuatan dramatik.

Pertunjukan ini merupakan kelanjutan dari program SCOT Summer Season 2017: Asian Director’s Festival, di Toga Art Park (Suzuki Company of Toga/SCOT), yang berlangsung pada 4-10 September 2017 lalu, yang diikuti oleh perwakilan 5 negara, yakni Indonesia, Tiongkok, Taiwan, Korea, dan Jepang. Dalam festival tersebut, Indonesia diwakili oleh NEO Theatre.

‘RUMAH BONEKA’ DAN PEMBERONTAKAN PEREMPUAN

Lakon ‘Rumah Boneka’ (A Doll’s House/Et dukkehjem, 1879) karya dramawan tonggak Realisme, Henrik Ibsen mengungkap secara pelik, tajam dan tak terduga, tentang kodrat seorang istri (pada zaman itu, dalam konteks lakon) yang dibuat tak berdaya.

Ketidakberdayaan kaum perempuan dalam menggapai kesempatan-kesempatan yang beralasan dan masuk akal untuk pemenuhan dirinya dan kewajiban-kewajibannya sebagai perempuan dalam sebuah dunia yang sepenuhnya didominasi dan dikonstruksi oleh standar nilai kaum laki-laki. Nora adalah representasi kaum perempuan kala itu, menggenggam alasan yang kuat manakala dirinya merasa hanyalah ‘boneka mainan’ sang suami (Torvald) di dalam rumah tangganya sendiri, sama seperti dulu dia juga merasa hanyalah ‘boneka mainan’ sang ayah di rumah orang tuanya sendiri. Kondisi-kondisi zaman yang tak memungkinkan bagi seorang istri, atau anak perempuan, menggenggam hasrat, selera, dan pendapatnya sendiri, kecuali sekedar ‘menyesuaikan’ atau mengikuti saja apa yang menjadi kemauan dan pikiran kaum laki-laki. Bahkan agama, hukum, moral, dan konvensi-konvensi kehidupan sosial hanyalah cerminan dari hasrat dan pembenaran kaum laki-laki.

Menyimak Nora, kita bisa paham ketika dirinya merasa hanyalah personifikasi dari dekorasi cantik sekedar untuk memicu hasrat keindahan dan obyek mungil yang penuh pesona dan daya pikat hiburan.

Bahkan peran krusialnya di masa lalu saat harus merawat ayahnya yang sakit dan bahkan menyelamatkan nyawa suaminya dari ancaman maut lantaran sakit dan peruntuhan semangat hidup, kendati harus ditempuhnya dengan menyembunyikan kebohongan terkait rahasia pinjaman bank selama bertahun-tahun, namun di mata suami pada akhirnya malah menjadikan dirinya tak lebih sebagai obyek kesalahan dan pembangkangan terhadap norma-norma patriarkhi kaum laki-laki.

Sementara sang suami yang sesungguhnya sangat dicintai oleh Nora, sama-sekali tak bisa dijadikan sandaran bahkan sekedar untuk memahami pikiran dan perasaan kritis Nora (baca: pemberontakan Nora), tentu karena sang suami merupakan produk tulen dari konstruksi normatif sebuah dunia yang didominasi kaum laki-laki.

Alhasil, Nora adalah manifestasi dari figur kaum Hawa yang memberontak dan merindu pembebaan diri dari kerangkeng-kerangkeng normatif sosial, moral, hingga agama, yang semuanya dibangun melalui kepentingan dan perspektif laki-laki. Inilah, mengapa pada zamannya lakon ini benar-benar mengagetkan bak geledek di siang bolong dan telah menjadi kontroversi dunia. Pertanyaannya kini: bagaimana dengan zaman ini?

Lakon ‘Rumah Boneka’ saat tampil di Toga Sanbo, Toga Art Park, Jepang, september 2017./NEO

***

Tantangan terbesar dari penggarapan bobot lakon macam ini tentu saja terletak pada upaya penggalian subteks (makna-makna yang tersembunyi di balik teks) berikut relasinya dengan interpretasi simbol dan metafor yang tersedia di dalam kandungan teks. Lalu, bagaimana mentransfer gagasan-gagasan interpretif dari temuan seabrek rahasia pelik itu agar tersampaikan dengan baik kepada seluruh tim pendukung dan akhirnya sanggup menelusup ke kedalaman pikiran dan sanubari penonton?

Terkait lakon ‘Rumah Boneka’, tentu saja spektrum pemberontakan Nora mesti kita bawa jauh melampaui batasan-batasan fenomena tekstualnya; dari sekedar persoalan domestik seorang perempuan yang merasa hanya sebagai hiasan dan harus melarikan diri (bunuh diri?) dari keluarga dengan segenap tanggungjawabnya, lalu kita amplifikasi kontekstualitas tematiknya menjadi gerakan protes beraroma kemartiran dari dunia perempuan untuk meruntuhkan seluruh tatanan yang berlumur kemunafikan, ketidakadilan, dan tabiat merasa benar sendiri kaum laki-laki yang menempatkan perempuan dalam ketidaksetaraan.

Tarian Tarantella yang identik dengan Nora dalam lakon ini, misalnya, adalah simbol dan metafor tertinggi. Ia adalah pusat dari segala simbol yang tersirat di balik lakon. Tarian dan musik Tarantella dengan cerdas dan brilian digunakan oleh Ibsen dalam lakon ini tidak lain untuk merepresentasikan kehendak bebas Nora dari sangkar-sangkar konstruksi normatif yang telah membelenggu dirinya. Ia bahkan tampil sebagai metafor pelepasan diri dan sekaligus penyembuhan diri dari racun-racun histeria zamannya. Dalam pemaknaan yang paling tradisional, Tarantella adalah ritual penyembuhan masyarakat di bagian selatan Italia yang muasalnya berasosiasi dengan ritual penyembuhan dari racun Tarantulla atau Lycosa Tarantulla, jenis laba-laba paling beracun dan paling mematikan di dunia.

Bahkan dalam ranah historisnya, sejak Abad Pertengahan hingga Abad ke-18, sebagian masyarakat di Italia Selatan mengimani Tarantella sebagai dasar dari Tarantisme atau agama minor yang dalam tingkatan tertentu berani berseberangan dengan doktrin gereja, khususnya mengenai ritual penyembuhan. Di sinilah pembacaan cermat Ibsen tentang sejarah dan kosmologi dipertaruhkan; spirit Tarantella sebagai spirit agama murni ‘yang tersembunyi’ digunakan untuk menghajar dan meruntuhkan bangunan norma-norma sosial tertinggi yang mengajarkan dan menerapkan prinsip-prinsip ketidaksetaraan, bahkan tinju Ibsen mengarah kepada agama itu sendiri. Tarantella dan Nora adalah suara parau Ibsen terhadap norma-norma dan agama yang mengerangkeng dan bersikap diskriminatif terhadap jatidiri manusia.

Racun atau histeria dalam lakon ini tidak lain adalah hipokritas, kepalsuan, kebohongan dan penipuan, yang tersembunyi dan menjadi misteri di balik rumah-tangga Nora dan Torvald selama 8 tahun usia perkawinan mereka. Nora menyembunyikan perjanjian utang di bank dan memalsukan tanda-tangan ayahnya yang telah meninggal demi untuk menyelamatkan nyawa Torvald, juga selalu sembunyi-sembunyi makan macaroon (semacam permen cokelat) yang sangat ditentang Torvald karena bisa merusak gigi dan kesehatan.

Sedangkan Torvald sendiri ‘memalsukan’ jatidiri Nora bukan sebagai istri melainkan sekedar ‘boneka mainan’ yang cantik dan mungil seperti burung murai dan tupai, dan oleh karenanya perlu ‘disangkarkan’ saja daripada terbang liar. Torvald lupa, murai dan tupai adalah jenis fauna kecil yang identik dengan hakikat kebebasan dan sama sekali tak bisa dikerangkeng. Torvald membentuk Nora untuk selalu membangkitkan gairah seksualnya dengan mengenakan kostum gadis nelayan Neapolitan (gadis Capri) sebagaimana yang dulu ia kenakan ke tubuh Nora pada masa penyembuhan Torvald di Italia Selatan. Itulah sesungguhnya bawah-sadar Torvald yang senantiasa memperlakukan Nora sebagai obyek ‘pembonekaannya’, dengan kostum yang harus selalu dikenakan saat Nora menari Tarantella. Torvald tidak sadar kalau Tarantella yang ia terapkan kepada Nora pada hakikatnya adalah pemberontakan, pembebasan, dan pelepasan. Juxtaposisi yang keren dan bersifat paradoksal dari Ibsen tentang penyembuhan dan pembebasan/pelepasan sekaligus kecanduan (tak bisa lepas).

Dengan getir namun berani, akhirnya Nora memutuskan untuk pergi meninggalkan semuanya setelah misteri dan rahasia utangnya dibongkar oleh Krogstad yang balas dendam karena dipecat oleh Torvald dari kedudukannya sebagai kerani bank di mana Torvald berdiri sebagai direksi. Sebuah keputusan yang berlumur simbol yang yang lainnya lagi. Sebelumnya Nora terinspirasi oleh keputusan Dokter Rank, sahabat keluarga yang diam-diam jatuh-hati pada Nora dan Nora tahu kalau dia sangat mengerti dirinya.

Rank bagi Nora adalah manifestasi dari ayah ideal bagi dirinya. Ketika Rank pada akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari kehidupan dan akan mengurung dirinya hingga mati lantaran kanker tulang belakang akut yang dideritanya sebagai ‘warisan’ dari ayahnya yang doyan makanan-makanan enak, Nora memasuki lingkaran cahaya Rank dan menyalakan pemantik api untuk cerutu terakhir Rank berwarna hitam. Cerutu hitam, lingkaran cahaya, dan nyala pemantik api adalah simbol pembebasan atau pelepasan abadi, kematian. “Aku akan mengenakan topi besar berwarna hitam pada pesta topeng berikutnya, dan setiap orang yang mengenakannya tidak akan terlihat lagi…”, cetus Rank.

Topi besar hitam adalah labirin maut. Rank akan mengurung diri dan mati bunuh-diri. Persoalannya, Nora menaruh emphati dan menjadikan kematian Rank sebagai inspirasi. Akankah Nora pergi untuk bunuh-diri juga? Di sinilah ambiguitas multi-tafsir lakon ini. Penonton dibebaskan untuk menentukan simpulan akhirnya sendiri. “Torvald, hal yang sangat luar-biasa seharusnya terjadi kalau kau dan aku sedemikian rupa berubahnya sehingga… hidup kita berdua benar-benar menjadi sebuah perkawinan yang murni. Tapi aku tidak lagi percaya kepada hal-hal yang luar biasa yang dapat terjadi. Selamat tinggal…”, cetus Nora diakhir adegan, menutup semua kemungkinan perubahan dan perbaikan yang mustahil digapai.

Fase pembalikan ‘roda nasib’ (wheel of fortune) pada akhir lakon ini, atau yang dalam irama tragis disebut sebagai anagnorisis (fase penyadaran), justru telah dipancang sejak awal oleh kehadiran pohon natal yang menyimbolkan harapan baru, kehidupan baru, nasib baru. Faktanya, semua tokoh cerita lakon ini mengalami peralihan (transitory) dan pembalikan ‘roda nasib’ dalam caranya masing-masing: Nyonya Linden dan Krogstad kembali kepada cinta dan saling membutuhkan setelah didera oleh ketidaksetiaan dan ketidakmurnian, Rank dan Nora meninggalkan dunia yang tanpa kemurnian demi menuju dunia yang murni dan penuh ‘kebebasan abadi’ (kematian?), sedangkan Torvald sendiri yang di bagian awal penuh kebanggaan diri (hamartia) bahwa apa pun bisa dia pertahankan sesuai kehendaknya, pada akhirnya harus terjungkal oleh kehendak lain yang melawan dirinya (peripeteia). Apa yang selama ini diidealkannya runtuh bersama kepergian Nora. “Kosong. Dia telah pergi. Yang paling luar-biasa dari segalanya…”, pungkasnya mengakhiri seluruh lakon.

Torvald jatuh ke dalam kubangan kesedihan yang sangat mendalam, namun hal itu sekaligus menyadarkannya terhadap makna kemurnian yang berseberangan dengan kepalsuan dan kepura-puraan. Itulah peralihan ‘roda nasib’ untuknya; di awal, kehadiran pohon natal meneguhkan kesuksesan karir namun sekaligus ketidakmurnian dan kepalsuan rumah-tangga, sedangkan di akhir pohon natal melahirkannya sebagai manusia baru untuk menggenggam kesadaran yang kuat demi memberlangsungkan perubahan dan perbaikan kendati harus ditempuhnya dalam keterpurukan psikologis.

Yang ingin menyaksikan drama ini silakan datang pada akhir bulan ini:

PERTUNJUKAN: Rabu & Kamis, 27-28 Maret 2019, Pukul 20.00 WIB, di GK. Dewi Asri ISBI Bandung Jl. Buah Batu 212 Bandung.

DISKUSI: (Tentang “Asian Director’s Festival” dan “Tokyo Performing Arts Meeting”)Kamis, 28 Maret 2019, Pukul 10.00 WIB, di Lobby GK. Dewi Asri ISBI Bandung Jl. Buah Batu 212 Bandung.

(FAH /SENI.CO.ID)

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here