Oleh Saini KM *)
Tulisan ini bertujuan menjelaskan hubungan antara kebudayaan dan pariwisata dalam rangka mencari peluang-peluang yang menguntungkan dan menghindarkan kerugian-kerugian yang tidak perlu. Untuk mencapai tujuannya, tulisan ini berturut-turut akan menjelaskan tentang kebudayaan dipandang dari segi kreativitas, lalu hubungan antara kebudayaan dengan pariwisata yang masih mengandung beberapa sisi gelap. Kesimpulan dari penjelasan itu, sudah barang tentu diharapkan akan bermanfaat bagi mereka yang bergerak dalam pariwisata. Khususnya pariwisata budaya.
Kebudayaan pada hakikatnya adalah ungkapan kreativitas atau daya cipta manusia. Yang dimaksud manusia dalam hal ini adalah makhluk berakal budi yang hidup berkelompok, jadi dalam pengertian makhluk budaya. Manusia datang atau hadir ke dunia atau kedalam kehidupan yang merupakan wilayah yang tidak disiapkan untuknya. Ia memasuki suatu lingkungan, yaitu kesatuan lingkungan jasmani-rohani, yang tidak senantiasa sesuai dengan keinginannya. Untuk tubuhnya ia memerlukan makanan, pakaian dan tempat tinggal; untuk hatinya ia memerlukan perhatian, persahabatan dan cinta; untuk akalnya ia memerlukan ilmu dan untuk rohnya ia perlu agama.
Seandainya kebutuhan-kebutuhannya itu tidak dapat dipenuhinya, maka ia akan lenyap atau sedikitnya menjadi gerombolan binatang yang jadi buruan binatang-binatang buas yang lebih kuat, yang dilengkapi cakar dan taring atau cula. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Manusia justru menjadi makhluk yang berjiwa dan mengancam memusnahkan makhluk-makhluk lain, baik yang bergading dan bercula maupun berbisa. Sebabnya ialah bahwa manusia diperlengkapi dengan ‘senjata’ yang jauh lebih ampuh, yaitu akal-budi.
Dengan bantuan akal-budinya ini manusia menciptakan kebudayaan untuk mengendalikan lingkungan jasmani-rohaninya, hingga yang asalnya asing dan penuh ancaman menjadi ‘rumah’ yang memberikannya keamanan dan kenyamanan. Dan kalau dewasa ini manusia tidak punah atau menjadi makhluk ‘inferior’ yang diburu-buru binatang buas, hal itu disebabkan kemampuannya mencipta kebudayaan itu, dengan kata lain karena kreativitas atau daya ciptanya.
Kebudayaan dapat dipandang sebagai sesuatu yang tidak kasat mata, misalnya sebagai ‘tata nilai’. Kebudayaanpun dapat dipandang sebagai yang sebagian kasat mata, sebagian tidak. Misalnya sebagai pola pikiran, pola prilaku dan pola perlengkapan atau peralatan suatu masyarakat. Baik sebagai yang tidak kasat mata maupun yang kasat mata, kebudayaan yang sejati (otentik) senantiasa berbeda dengan kebudayaan lain.
Sebabnya ialah karena (seperti telah dikemukakan) hakikat kebudayaan adalah kreativitas, sedang suatu kelompok masyarakat yang terpisah dari kelompok mesyarakat lain dan tinggal di suatu tempat khusus (misalnya masyarakat Sunda, Minangkabau, Bali, Toraja, dll) menghadapi lingkungan yang khusus pula. Karena tantangan yang dihadapi di lingkungan-lingkungan yang berbeda-beda itu berlain-lainan, maka jawaban (response) terhadap tantangan (challenge) itupun berlainan pula.
Maka tata nilai atau pola pikir, prilaku dan pola peralatan/perlengkapanpun dengan kata lain kebudayaan akan berbeda pula.
Kalau kebudayaan Sunda berbeda dengan kebudayaan Mingkabau atau Toraja, hal itu disebabkan oleh adanya persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah pada akal-budi yang mencipta atau kreativitas. Baik masyarakat Sunda maupun masyarakat Minang dan Toraja telah mengungkapkan kreativitas masing-masing. Buktinya, semua memiliki budaya. Kalau kebudayaan ketiga suku itu berbeda, justru karena mereka menghadapi lingkungan yang berlain-lainan. Lingkungan jasmani daerah Priangan (watak geografis, geologis, iklim dsb) serta lingkungan rohaninya (sejarah, pengaruh budaya dan agama dari luar, dsb) berbeda dengan lingkungan rohani-jasmani Toraja, hingga jawaban terhadapnya harus berbeda.
Perbedaan ini menggaris-bawahi kreativitas suku-suku tersebut. Kalau suku Sunda menciptakan kebudayaan lain, maka suku Sunda akan menderita, karena berarti memberikan jawaban yang tidak cocok dengan tantangan lingkungannya. Kalau kebudayaan dari Afrika yang panas dijadikan jawaban terhadap lingkungan Kutub oleh bangsa Eskimo, maka bangsa Eskimo akan musnah.
Uraian diatas kiranya menjelaskan beberapa hal. Pertama bahwa hakikat kebudayaan adalah kreativitas, kreativitas sejati akan menciptakan yang berbeda-beda bagi setiap bangsa atau kelompok masyarakat yang menghadapi tantangan yang lain-lain. Kedua, bahwa pada dasarnya setiap bangsa atau masyarakat berbudaya untuk kepentingan bangsa atau masyarakat itu sendiri. Kebudayaan bangsa atau masyarakat itu, dengan demikian secara alamiah tumbuh dan berkembang berdasarkan tuntutan lingkungan rohani dan jasmani yang dihadapinya.
Dari pandangan kepentingan pariwisata, kebudayaan yang sejati, jadi yang berbeda dengan kebudayaan lain, merupakan daya tarik yang potensial. Hal ini didasarkan pada pengandaian bahwa para wisatawan (khususnya wisatawan luar negeri) datang ke Indonesia karena ingin melihat dan menghayati perbedaan itu. Untuk mempertahankan potensial ini dan mengaktualisasikannya, tidaklah ada cara lain kecuali bahwa masyarakat harus mempertahankan cara berbudaya yang sejati (otentik), yaitu tetap menjawab tantangan lingkungannya secara kreatif. Dengan kata lain, cara berbudaya yang tidak sejatilah yang akan merusak potensi ‘wisata budaya’ yang kita miliki.
Apakah dengan demikian kita tidak boleh berubah ? Apakah pola pikir, pola perilaku dan pola peralatan/perlengkapan tidak boleh berubah ? Tidak. Perubahan adalah sesuatu yang wajar dari kebudayaan. Perubahan adalah hakikat lain daripada kebudayaan. Hal itu disebabkan oleh lingkungan rohani dan jasmani yang senantiasa berubah. Manusia sebagai makhluk budaya dinasibkan seperti Odysseus di dalam mitos Yunani. Ia adalah makhluk banyak akal yang senantiasa dihadapkan pada tantangan-tantangan. Setiap kali satu tantangan dijawab, tantangan akan segera muncul dan harus dijawab lagi. Ambilah contoh dari sejarah bangsa Eropah.
Tahun 1850 ditemukan ilmu kedokteran modern. Hasilnya adalah terkendalinya penyakit. Akibatnya, kelebihan penduduk yang menimbulkan masalah pengangguran dan kejahatan. Jawabnya adalah industri. Akibatnya adalah perebutan pasar dan sumber bahan mentah di negeri Asia dan Afrika. Timbul peperangan dan kolonialisme, dan seterusnya.
Pariwisata merupakan salah satu jawaban untuk menjawab tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu pengangguran dan kemiskinan. Jelas, pariwisata akan mengakibatkan munculnya berbagai masalah, baik di bidang rohani maupun jasmani. Mungkin akan muncul masalah erosi nilai dan pencemaran lingkungan, dll. Akan tetapi itu wajar saja, karena seperti telah diuraikan, manusia budaya bersifat Odyssean. Persoalan sebenarnya terletak pada kreativitas kembali. Apakah masalah yang timbul itu akan kita hadapi secara kreatif, dengan kerja akal-budi pada tingkat yang setinggi-tingginya, atau kita menyerah diri pada faktor-faktor di luar maupun di dalam diri kita yang desstruktif.
Bahwa suatu bangsa atau suatu kelompok masyarakat dapat musnah secara budaya, adalah suatu yang biasa dalam sejarah. Kemanakah bangsa dan peradaban Assyria, Babylonia, Etruscan, Maya, Aztek, dll. Bangsa-bangsa itu lenyap karena tantangan yang dihadapi mereka terlalu berat atau sebaliknya, karena mereka memberikan jawaban tidak kratif terhadap tantangan yang sebenarnya wajar. Didalam era globalisasi dimana Bangsa Indonesia terlibat, peluang dan resiko itu ada dan sama besarnya.
*) bahan Seminar sehari, 01 Mei 1993, diselenggarakan oleh BPT OWIS SEBU ASTI Bandung)
Catatan Redaksi: Ini tulisan yang masih kontekstual dan kami naikan kembali di redaksi SENI.CO.ID