Oleh : Bambang Arayana Sambas
Bahasa Sastrawi menjadi Bahasa Aksi
Sudah sejak lama dunia tulis menulis megenal ada sekat perbedaan antara ‘sastra murni’ (literature) dengan ‘sastra drama’ (play) yang secara pokoknya mungkin bisa dibedakan bentuk ‘goal’ yang ditujunya, dalam artian hasil sastra murni bakal langsung dinikmati oleh para para penikmatnya sebagai apresiasi bacaan, sedangkan untuk sastra drama dapat dikatakan hasil tulisan baru berlangsung ‘setengah jalan’ karena kesejatiannya baru bisa tersaksikan apabila karya tulis tersebut dihadirkan dalam bentuk sebuah pementasan lakon. Bahkan nun di ‘negri kulon’ kreatornya sendiri mendapat julukan berbeda, untuk sastra murni disebut ‘Letters’ sedangkan kreator sastra drama umumnya dikenal dengan sebutan ‘Autor Plays’.
Persekutuan nan arif terjadi dengan adanya transformasi bentuk dan fungsi yakni tatkala sebuah karya sastra murni dirubah/dikembangkan menjadi tulisan skenario untuk kepentingan seni pertunjukan (baca : seni drama). Yang sering terjadi terutama di Indonesia adalah lahirnya berbagai naskah drama yang bersumber dari legenda atau cerita rakyat (sastra lisan) seperti Sangkuriang, Ciung Wanara, Makin Kundang, dll. Bahkan seorang William Shakepeare menulis naskah “King Lear” konon sumbernya berasal dari cerita rakyat Inggris kuno pada jaman Elizabethan.
“Apun Gencay” berada pada posisi ini yakni ‘bahasa sastrawi’ yang dijelmakan menjadi ‘bahasa aksi’! Sebuah karya prosais (Prof. Dr. Yus Rusyana) dikembangkan oleh seorang Autor Plays “Asep Supriatna” menjadi ‘dramatic texs’ yang sangat baik, Asep jugalah pada pementasannya berperan sebagai sutradara bertangan dingin dan menghasilkan sebuah garapan pentas yang cukup memikat untuk dinikmati dan diseksamai. Wilujeng, ki adi!
Tiga Tahap Literatif “Apun Gencay”
Sampai pertunjukan tertanggal 21 Februari 2020 secara literasi telah terjadi ‘tiga tahap’ perjalanan ‘metamorfosa’ lakon Apun Gencay. Sejak dibuat tahun 1973 dalam bentuk ‘carpon’ kemudian ‘didramatisir’ oleh seniman tangguh “Asep Supriatna” teureuh Palabuan Ratu, untuk kemudian kembali disajikan dalam kemasan ‘nasionalis’ berbahasa Indonesia berkat terjemahan “Prof. Dr. Ir. Ganjar Kurnia”. Tiga tahap ‘working the tex’ yang langka terjadi pada dunia literasi seni pertunjukan lakon. Sungguh suatu kiprah prestasi seni yang luar biasa! Wilujeng.
Sumber Cerita
Kisah yang konon pernah terjadi di Cianjur pada masa pemerintahan Dalem Wira Tanu III/Raden Astramanggala (1707 – 1726). Di mana sang Bupati yang kemudian hari juga dikenal dengan sebutan Dalem Condre memaksa menikah dengan gadis cantik dari Cikembar yang bernama “Apun Gentay” (ditulis dengan ‘t’ bukan ‘c’) yang sejatinya telah memiliki kekasih yaitu seorang pemuda dari Citeureup kabupaten Bogor. Tragedi berdarah terjadi tatkala sang pemuda menikam Dalem Cianjur perebut kekasihnya, yang ahirnya sang pembunuh bisa ditaklukan oleh Raden Mas Purwa saudara tiri yang sang Dalem yang maha sakti berkat ilmu ‘kanuragan’ yang dikuasainya. Alkisah selanjutna sang kekasih Apun Gentay diseret ke alun-alun dan raganya dicabik-cabik senjata tajam, ‘dicacag diwalang-walang’….tragis nian!
(Sumber : “Sejarah Cianjur”, Drs. Bayuningrat, Rukun Warga Cianjur. 1982)
Naskah dan Bobot Dramatik
Asep Supriatna sebagai penyusun naskah drama Monolog Apun Gencay sepertinya sedikit ‘diuntungkan’ karena sesungguhnya bentuk asli (carpon) sudah sarat dengan ‘paguneman diri’ yang tidak melibatkan tokoh lain selain sang toko itu sendiri. Carpon yang ditulis 1973 ini betul-betul tersaji dalam bentuk yang sangat naratif dari awal kisah hingga ahir cerita. Sifat ‘monolog’ memang sudah hadir sedemikian rupa pada sumber aslinya yaitu carpon!
“Teu kungsi papanggih heula urang téh, Akang. Éta nu matak sumoréang, nambahan lewang. Tah hayam raong kongkorongok. Ngageuingkeun urang lembur, awéwé ngarélék dulang ka cai, ti dinya kadéngé cékcok- céwoh anu arék ka haruma. Kapan dina handapeun tangkal juar Akang mindeng megat. Ayeuna éta téh hamo kaalaman deui”.
(Versi Carpon)
Disebabkan sudah demikian kuatnya informasi, Asep Supriatna tidak banyak merubahnya demi kepentingan ‘verbalitas’ garapan dramanya.
“Teu kungsi papanggih heula urang téh, Akang. Éta nu matak sumoréang, nambahan lewang. Tah hayam mani raong kongkorongok. Ngageuingkeun urang lembur, awéwé ngarélék dulang ka cai. Tuh, kadengé cékcok aléwoh nu arék ka huma. Ayeuna mah éta téh hamo kaalaman deui”.
(Versi naskah drama Sunda)
Pada versi naskah bahasa Indonesia terjadi sedikit ‘pergeseran’ yang mungkin bertujuan untuk lebih memberi ‘tekanan’ dramatik secara universal.
“Karena kita tidak bertemu terlebih dahulu, itulah yang membuat diriku sangat tersiksa. Dengar, dengarkan kokok ayam di ujung malam. Membangunkan seisi kampung, untuk kemudian membawa “lodong air” bergegas menuju ke sungai.
……….
Ah, hanyalah kenangan indah, yang tidak akan terlupakan namun tak akan terulang kembali”.
Jadi pekerjaan ‘tekstual’ dari sejak bentuk ‘Carpon’ kemudian ‘naskah lakon bahasa Sunda’ hingga dalam bentuk naskah drama terjemahan naskah dalam bahasa Indonesia tetap terjaga semua informasi dan karakter kisahnya sebagaimana yang ‘tersirat’ dan ‘tersurat’ pada karya tulis muasalnya. Bahkan bobot dramatik dari cerita menjadi semakin menghalayak dan lebih ‘eksfresif’ karena dihadirkan untuk kepentingan ‘bahasa aksi’ atau atau disajikan melalui proses ‘dimanusiakan’ melalui sebuah pentas lakon.
KILAS BIAS ATAS PENTAS
Acting Area
Arena pentas yang menggambarkan ‘stimultan stage’ jelas terpampang demi mendukung tekanan kepentingan motivasi ‘scene’ (pengadegan) serta untuk penajaman ‘dramatic emotion’ kelangsungan pertunjukan lakon. Lokasi pengadegan seperti dibagi 2 secara ‘non-stop review’ yang artinya secara teknik artistik tidak terjadi adanya ‘ in out’ set dan property. Sesuatu yang cukup efektif dan membuat kelangsungan pertunjukan dapat mengalir dengan lancar.
Pembagian dua area tersebut berhasil diimbangi dengan tataan artistik yang cukup membangun daya imajinasi serta memiliki nilai sugestif yang cukup baik dalam menunjang berbagai aspek dramatik yang dituntut untuk sebuah pertunjukan lakon. Terutama pada saat permainan terjadi di bagian kanan dengan set ‘pajuaran’ (tempat tidur) maka perjalanan ‘irama tragis’ sang tokoh terasa lebih ‘menyengat’ karena imajinasi para penikmat seakan dibawa pada situasi ’emosi’ tokoh yang makin meruncing. Loncatan peristiwa sang tokoh bisa langsung menyentuh rasa ’emphasis’ para penonton yang hadir. Bravo untuk Penata Artistik!
Namun penataan ‘light plot’ sedikit terganggu dengan kurangnya aspek kwalitas ‘lighting instuments’. Dengan hanya didominasi oleh lampu ‘parleid’ yang kapasitasnya terbatas akan membatasi aspek plotting dan kontribusi pencahayaan. Semisal, saat ‘stage area’ sudah tidak dipakai pengadegan lagi maka lokasi setting tersebut akan tetap terpampang jelas dan sedikit mengganggu pandangan dan fokus perhatian, ditambah dengan persoalan cukup lebarnya arena pentas. Namun itu semua dapat dimaklumi alasannya. Hapunten.
Hakikat Estetika Pentas
“Apun Gencay” garapan sutradara Asep Supriatna prinsipnya telah mampu tersaji sebagai sebuah tontonan lakon yang baik serta berkelas. Dimulai secara pokok dari hal pemeranan, yakni seorang aktris lakon “Fani Hatinda” yang telah mampu memainkannya dengan cukup baik menghayati sosok karakter Apun Gencay dalam format ‘monolog’, sedangkan memainkan monolog yang sering disebut sebagai jenjang peristiwa ‘puncak keaktoran’ nan tidak mudah, dan Fani telah berhasil melewatinya dengan cukup baik. Dalam dunia seni peran bukan hanya sutradara sebagai kreator namun aktor adalah ‘kreator’ bagi dirinya sendiri. Potensi seorang aktris muda yang bernama Fani Hatinda sangat menjanjikan, tinggal mengasah penguasaan ‘elemen keaktoran’ serta memperdalam ‘pengalaman batin’ yang akan menentukan kwalitas pemeranannya di masa datang.
Aspek musikalitas sedemikian penting untuk sebuah pertunjukan lakon, dan itu tergambar betapa kerja keras seorang “Tjepi Goldmem” (penata musik) untuk mengerahkan segala daya ciptanya demi menghadirkan ‘tataan bunyi’ demi meruncingkan bobot adegan dari pertunjukan. Perpaduan visual dan audio telah mampu membangun keselarasan kedalaman rasa bagi para penyaksinya. Namun entah apa, secara subjektif saya merindukan bunyi-bunyi ‘exotic’ dari perangkat musik tradisi terutama dalam alunan bunyian pengusung alur damatik yang cenderung ‘minimalis sound’. Mohon maaf.
Epilog
Sekalipun hanya 1 orang pemeran sebagai hakikat drama Monolog, TEATER adalah TEATER yang mutlak memerlukan ‘jabatan sukma’ atau ‘koalisi hati’ dari berbagai manusia yang memiliki tanggung jawab dan tujuan yang sama. Dan anda-anda semua seluruh pendukung “Apun Gencay” telah melakukannya dengan sangat baik dan kompak. Tabik hormat! Selamat untuk saudara-sadaraku sepenanggungan. Salam Teater! Rahayu!**