Oleh: Peri Sandi Huizche
Menyimak Yang Tersaji
Dalam suasana lampu temaram, seorang lelaki tengah duduk di antara alat-alat musik, membunyikan suling yang terdengar memekik. Tak lama suara suling itu berlipat menjadi lima.
Penonton teralihkan pandang kepada empat orang yang membunyikan suling dari arah mereka, adegan ini seperti membawa perasaan penonton ke panggung untuk sama-sama larut menyimak bebunyian selanjutnya. Suara Gong menjadi akhir dari part yang begitu ringkih.
Perlahan para pemain mengganti instrumennya. Suara rebab yang dibunyikan Zain, pautan gitar dari Irta, waterphone oleh Setya, gambang dibunyikan Gutami, dan suling yang sedari awal dibunyikan Catur seakan susul-menyusul mencapai bunyi tak beraturan. Lalu bunyi bel perunggu menandai transisi komposisi.
Suasana ketika itu dirasa lebih mengalun dari sebelumnya, sesekali senandung yang terdengar seperti hamming tersakiti menjadi wahana yang membawa penonton pada imaji luka. Tak lama dipecahkan oleh hentakan suara gitar elektrik yang disusul kendang, triangle, gambang, dan beberapa teriakan serta tangisan. Kembali bunyi gong seakan selalu menjadi bunyi untuk mengakhiri part.
Lalu bunyi helaan nafas seorang perempuan menambah alamat pasrah dan berserah, lamat-lamat terdengar nyanyian lirih “Who will be protecting my world, sopo seng jaga jagat ku, siapa yang menjaga bumiku” dalam berbagai variasi vokal. Lalu kembali gong mengakhirinya.
Panggung Katabunyi Forum
Di malam yang bertajuk Panggung Katabunyi Forum tanggal, 07 Desember 2024 di Gedung Teater Besar ISI SKA, kelompok yang menamai dirinya Manisrenggo, coba mendialogkan komposisinya dengan khidmat.
Seorang penonton sekaligus dramaturg yang tidak mau disebutkan namanya, memberikan komentarnya. Ia menyebut sajian yang berjudul SSJJ 2+3 memiliki komposisi yang potensial, hal itu terasa dari pilihan bunyi, seperti rintihan vokal arkais yang bercitra mantra/sastra lama dan alat-alat yang dibunyikan dengan dinamika variatif, serta aksen yang bernas melingkupi sajiannya.
Sajian yang dibawakan oleh Catur (Catur Fredy Wiyogo), Setya (Setya Rahdiyatmi Kurnia Jatilinuar), Gutami (Gutami Hayu Pangastuti), Irta (Irta Amalia), dan Zain (Muhammad Zain Dzaky Amas) adalah bagian dari rangkain acara Kamp Komposer dan penulisan yang dimulai dari tanggal 4 sampai 7 Desember 2024, di Kota Solo, inisiasi Kandhang – Art Hybrid Space.
Isu ekologi yang dibacakan di awal pertunjukan, seakan menguatkan keberpihak karya tersebut pada permasalahan yang juga sedang didengungkan bersama, meski untuk sebagai acara, narasi ekologi terasa begitu naif-tempelan dan antroposentris.
Isu Ekologi Untuk Siapa?
Sajian SSJJ sejatinya hendak merepresentasikan jagat semua penonton, jagat kita!. Pertanyaannya, jika penonton itu jagat, apakah mereka rela direpresentasi oleh karya SSJJ 2+3, dan apa yang akan dikatakannya pada sajian komposisi ini?.
Pertanyaan itu keluar bukan tanpa alasan, tujuannya sebagai input data atas opini Gutami (salah satu komposer SSJJ 2+3) terkait posisi diri yang menjadi bagian dari jagat ageung dan diri juga memiliki jagat alit.
Pertanyaan ini berbetulan keluar dari penulis, yang diberi kesempatan untuk memberikan sedikit catatan proses dan pemanggungan kelompok Manisrenggo ketika itu. Penulis yang tengah berada di atas panggung mengajak mereka yang hadir untuk ikut bicara, meski hanya satu kata kunci.
Rupanya penonton tak menjawab. Keadaan di dalam Gedung begitu senyap, mungkinkah mereka canggung, mungkinkah tak enak hati, mungkinkah merasa tak terwakili. Entahlah.
Namun jika karya ini hendak dipilin-teruskan menjadi dramaturgi sebagai ekologi, rasanya perlu mengutip statement Peter Eckersall: “Dramaturgi sebagai ekologi menekankan pentingnya hubungan antara manusia, objek, kekuatan alam, dan interaksi mereka dalam lingkungan manusia/alami. Sebagaimana ditunjukkan oleh Una Chaudhuri, ekologi menawarkan metafora yang kuat untuk pertunjukan. Namun, kami melihat dramaturgi sebagai ekologi tidak hanya pada tingkat metaforis atau kesadaran tematik, tetapi juga sebagai praktik ekologis yang membuka bentuk-bentuk konektivitas yang mendekonstruksi batas” Dalam Buku New Dramaturgy International Perspectives on Theory and Practice yang dieditori Katalin Trencsényi dan Bernadette 2014.
Peristiwa silang gagasan dan dialog ide inilah yang sepertinya diinginkan oleh kerangka konseptual Art Hybrid Space yang hendak didesentralisasikan kelompok Kandhang ke penjuru negeri.*