Oleh: Peri Sandi huizche
Berbagi Ruang Bunyi
Terkadang bekerja sama dengan orang lain bisa berarti tantangan, kendala bahkan untuk sebagian yang lain menganggapnya beresiko konfliks. Perbedaan minat, selera, kebiasaan, dan latar belakang budaya seringkali menjadi penyebab keengganan melakukannya. Terlebih dalam lingkup penciptaan sebuah karya.
Namun, di kelas Kata Bunyi Forum, pola kerja sama antar komposer tampaknya unik. Para komposer yang akan bekerja sama dalam menciptakan satu komposisi musik itu adalah Catur (Catur Fredy Wiyogo), Setya (Setya Rahdiyatmi Kurnia Jatilinuar), Gutami (Gutami Hayu Pangastuti), Irta (Irta Amalia), dan Zain (Muhammad Zain Dzaky Amas). Mereka adalah peserta undangan yang akan melakukan kegiatan Kamp Komposer dari tanggal 4 sampai 7 Desember 2024, di Kota Solo, inisiasi Kandhang – Art Hybrid Space.
Kecakapan tersebut dirasakan dari cara mereka memulai diskusi, yakni dengan menceritakan latar belakang dan pencapaian karya yang telah diraih. Tujuannya tidak lain untuk memetakan kebiasaan, instrumen yang dipakai, dan harapan penciptaan yang terpatri dalam benak masing-masing komposer. Cara ini terbilang efektif untuk memelihara hubungan satu sama lain, nampak dari sikap mereka yang sesekali merespon keintiman itu dengan gelak tawa, sikap antusias, bahkan apresiasi yang berbentuk puja-puji.
Keintiman tersebut rupanya berlanjut ketika Setya, seorang Peneliti, Komposer, dan berbetulan sebagai Dosen Karawitan ISI Jogja, menawarkan pilihan-pilihan dasar untuk menentukan komposisi. Seperti isu sosial, latar belakang sebuah karya musik seseorang, visi atau filosofi tertentu, atau bisa juga dengan mencoba bertukar instrumen, atau jam session sehingga membentuk komposisi tertentu.
Pilihan-pilihan itu kemudian direspon oleh Gutami yang, lebih senang disebut Spesialis Pesuara dibandingkan penyanyi, ia sepertinya tertarik dengan instrumen yang dibuat oleh Catur, seorang Organolog, Komposer sekaligus Dosen di STKW Surabaya, instrumen yang dimaksud adalah suling yang terbuat dari pipa PVC.
Lebih lanjut Catur memperlihatkan instrumen lain yang diberi nama Gong Angin, sebuah alat musik yang memanfaatkan sedemikian rupa produksi angin dalam membunyikannya. Gutami yang, juga lulusan Pascasarjana PSPSR UGM, makin tertarik pada latar belakang kenapa alat tersebut diciptakan.
Pendeknya, alasan itu terjawab karena ketersediaan bahan bambu khusus suling (istilah Jawa: Wuluh; Sunda: Tamiang) yang kian hari kian sulit sekali didapatkan Catur di Surabaya. Lalu Catur mengakhiri ceritanya dengan selorohan, bahwa di Kota yang grasah-grusuh lebih mudah menjumpai tumbuhan beton tinimbang bambu Wuluh.
Obrolan tersebut cukup memancing antusiasme kelima komposer untuk membicarakan perilaku diri sendiri dan orang-orang yang semena-mena pada alam, buang sampah sembarangan, kebijakan kota tak berpihak pada keberlanjutan dan lain sebagainya. Akhirnya mereka bersepakat untuk menggali lebih dalam isu Ekologi yang saat ini menjadi persoalan bersama.
Agaknya cara mereka menenun keragaman latar masing-masing dapat dibayangkan sebagai akor yang berhasil menciptakan nada harmoni. Dan boleh jadi cara mereka menjahit pengalaman sosial, politik, serta budaya seperti perilaku manusia semena-mena kepada alam, ke sesama manusia bahkan kerap kali pada diri sendiri, adalah bagian dari cara mereka menguraikan ide kolektif dan rujukan untuk menyusun struktur dan tekstur komposisi yang akan diciptakannya.
Pola Susun Struktur dan Tekstur Komposisi
Keadaan compang-camping berpikir dan bertindak dalam menjaga alam, yang telah didiskusikan oleh Catur, Setya, Gutami, Irta dan Zain kemudian mengerucut pada tiga kata kunci yaitu chaos, merenung, dan selaras, serta satu pertanyaan “siapa yang akan menjaga bumiku (kita)?”
Irta yang dikenal sebagai influencer musik di platform media sosial dan Zain yang akrab disapa Pengrawit dan gemar musik Keroncong coba merespon tiga kata kunci yang disepakati dengan memainkan instrumennya masing-masing, sesekali bebunyian yang dihasilkan seperti dialog dalam kerangka interaksi sosial.
Di ruang Gamelan Ghadon Jurusan Etnomusikologi ISI SKA yang digunakan Kamp Komposer Kata Bunyi Forum itu terasa semakin riuh, ketika satu sama lain saling membunyikan instrumennya. Bebunyian itu keluar dari suling yang ditiup Catur, gambang yang ditabuh Setya dan Gutami, gitar elektrik oleh Irta, dan rebab oleh Zain. Bebunyian lainnya seperti senandung dan tangisan sesekali keluar dari Setya dan Gutami, begitu juga dengan Gong Komodong, Waterphone, Kendang Ageung, Kendang Ketipung dan Lonceng kecil tak luput memberikan aksen dalam keriuhan yang seakan menata dirinya sendiri secara otomatis.
Istilah “makan secukupnya sisakan untuk yang lain” nampaknya bisa menjelaskan keadaaan cara penyusunan Struktur dan Tekstur musik yang tengah diciptakan kelompok Manisrenggo, “berbunyi secukupnya, sisakan untuk yang lain!”.
Hal serupa juga disampaikan kedua pendamping karya, Sean (Sean Hayward), pemusik asal Amerika yang akrab disapa Mas Seno, dan Mas Aga (Sri Hanuraga) yang dikenal sebagai Komposer, Peneliti dan Dosen UPH. Mereka kerap memberikan insight-insight untuk selalu mencari kemungkinan dari cara memainkan instrumen dan menghasilkan bebunyian.
Rasa puas diri dalam menentukan struktur dan tekstur bunyi komposisi, imbuh Sean: “seperti hasrat yang selalu ingin menerima makanan cepat saji. Kita makan, lalu kenyang. Dan ya…” dia tidak melanjutkan. Masukan itu kiranya ditangkap sebagai tanda untuk kembali memeriksa ulang tekstur yang telah tercipta. Lanjut Sean “pencarian tekstur itu bukan hanya sekedar loncatan ke berbagai skill dalam memainkan instrumen, namun upaya meniatkan diri dalam meraih harmoni”.
Susunan struktur dan tekstur bebunyian itu kira-kira secara naratif dapat dituliskan seperti ini: Bunyi alat tiup harmonik keluar dari seorang lelaki yang sedari awal tengah duduk di antara alat-alat musik, diikuti oleh keempat orang lain masuk dari luar dengan satu nada, gong menjadi tanda untuk mengakhiri bagian part yang begitu ringkih.
Beberapa pemain mengganti instrumennya, rebab, pautan gitar, waterphone, gambang, suling dan gong, bunyi itu semakin tak beraturan namun tetap dalam jejalin bunyi yang dapat dinikmati, lalu bunyi bel perunggu seperti menandai komposisi yang lebih mengalun namun terasa menyayat ditambah senandung dan terkadang terdengar seperti hamming yang juga tersakiti, namun seketika bebunyian itu terdengar keras dan menghentak keluar dari gitar elektrik, gambang, kendang, triangle, dan beberapa teriakan dan tangisan, kembali bunyi gong seakan selalu menjadi bunyi untuk mengakhiri part.
Lalu bunyi nafas keluar tersengal-sengal dari seorang perempuan (Setya), lamat-lamat terdengar nyanyian lirih “Who will be protecting my world, sopo seng jaga jagat ku, siapa yang menjaga bumiku” dalam berbagai variasi vokal. Lalu kembali gong mengakhirinya.*