MONOLOG
REMPEYEK
Karya Wahyu H.
ROMLAH MELANTUNKAN LAGU DANGDUT LAYAKNYA SEPERTI PENYANYI DANGDUT.
Romlah! Romlah! Romlah! Setiap hari kamu bernyanyi dan bernyanyi. Ibu tidak mau kamu menjadi penyanyi. Ibu bukan tidak senang pada lagu dangdut yang sering kamu lantunkan. Sekarang waktunya belajar yang bener, bukannya waktu malammu itu habis oleh teriakan nyanyian yang keras hingga mengganggu tetangga sebelah yang sedang istirahat. Kalau kamu tidak mau belajar, ya sudah berhenti sekolah dan bekerja jadi buruh pabrik. Pabrik tempat anak tetangga kita berkerja sedang membuka lowongan pekerjaan untuk wanita seusiamu. Kalau tidak mau menjadi buruh pabrik, pergi kesana jadi TKW di luar negeri biar hidup kita tidak begini-begini terus.
Ibuku memang cerewet, selalu bicara seperti itu. Kalau sudah begitu aku berdiam diri. Aku tahu ibu bicara seperti itu bagian dari tanda sayang padaku. Sebenarnya aku tidak punya cita-cita ingin mejadi penyanyi dangdut. Tapi lagu dangdut itu mampu menyegarkan kembali kepenatan dikepalaku dan membuat hatiku senang setelah seharian belajar di sekolah dan selepas salat isa seperti malam ini dipaksa harus belajar lagi untuk persiapan sekolah besok pagi hingga sore.
Romlah, ibu tidak ingin kamu bernasib seperti ibu, kurang ilmu dan mudah dibohingi orang lain. Kamu harus pintar dan mampu merUbah nasib kita. Ayahmu pasti senang di alam baka sana, jika kamu menjadi orang sukses, tidak menjadi orang yang serba kekurangan seperti sekarang ini. Menjadi orang sukses itu harus mau bekerja keras, banyak menimba ilmu dan menimba pengalaman. Katanya kamu mau jadi anak kembanggaan ayah.
DIAM SEJANAK. ROMLAH BERJALAN KE SUDUT RAUNGAN. PANDANGANNYA LURUS SEPERTI MENATAP SATU BENDA YANG MENEMPEL PADA DINDING. WAJAHNYA DIBALUT KESEDIHAN DAN DARI KEDUA KELOPAK MATANYA MENETES AIR MATA.
Ayah. Kalau masih ada, Romlah pasti bisa banyak cerita sama ayah. Tapi kenapa ayah begitu cepat pergi. Romlah rindu belaian ayah. Romlah rindu bermain sama ayah mencari belalang dan kupu-kupu di kebun. Romlah rindu digendong ayah. Romlah rindu dongeng ayah …. Tuhan, berilkanlah kedamaian abadi pada ayah.
Romlah! Jangan lupa besok sembil berangkat sekolah kamu antarkan rempeyek pesanan ibu Kosim ke rumahnya di gang Haji Oding Nomer 10 dan pesanan Ibu Nia yang rumahnya di ujung gang Ido. Sekarang kamu segera tidur biar besok bangun subuh bantu ibu bungkus rempeyek ke pelastik.
Ya, bu. Setiap hari kami harus banting tulang, mecari rejeki dengan berjulan rempeyek. Hidup ini memang untung-untungan. Rempeyek yang kami buat terkadang habih terjual, kadang tidak laku karena orang-orang tidak setiap hari seneng makan rempeyek. Demi menyambung hidup kami, ibu tidak pernah kapok berjualan rempeyek berkeliling kampung hampir tiap hari, kecuali hari libur sekolah aku yang ganti berjualan.
Tuhan! Aku capek! … Tikak! Aku tidak boloh banyak mengeluh. Aku tidak boleh putus asa. Aku harus hidup. Aku harus menjaga amanat ayah. Membantu dan menjaga ibu hingga akhir hayatnya, dan aku harus bersekolah hingga bisa menjadi orang terhotmat…. Ya, ayah. Apapun yang terjadi Romlah akan menjaga amat ayah. Semangat! Aku harus semangat. Berjuang menyongsong masa depan.
ROMLAH MELANTUNKAN LAGU DANGDUT LAYAKNYA SEPERTI PENYANYI DANGDUT. TIBA-TIBA DI BELAKANG TERDENGAR BARANG DARI KALENG TERJATUH KE LANTAI. ROMLAH BERHENTI BERNYANYI.
Ibu!
ROMLAH SEGERA LARI KE LUAR. DALAM KEPANIKAN ROMLAH MASUK LAGI KE DALAM SAMBIL MEMBAWA BASKOM BERISI REMPEYEK. TIBA-TIBA ROMLAH TERSANDUNG SEHINGGA BASKOM YANG DIBAWANYA JATUH KE LANTAI DAN REMPEYEK BERANTAKAN DI ATAS LANTAI. ROMLAH SEGERA MENGAMBIL BASKOM YANG TERJATUH. MEMUNGUT REMPEYEK YANG BERSERAKAN DI LANTAI DAN DIMASUKAN KEMBALI KE BASKOM.
(MENGGERUTU SAMBIL PUNGUT REMPEYEK) Hari ini kita rugi banyak. Romlah, kamu besok pagi bilang pada ibu Kosim dan ibu Nia. Rempeyeknya tidak bisa diantar pagi. Nanti siang bada dzuhur diantar ibu langsung. Bilang sejujurnya pada mereka terhadap apa yang terjadi, biar mereka tidak kecewa. Karena sekarang sudah menjelang larut malam, toko langganan ibu beli tepung dan kebutuhan untuk membuat rempeyek sudah tutup. Besok subuh kamu harus ke pasar mencari bahan rempeyek. Toko langganan ibu kalau subuh belum buka.
Ya, bu. Maafkan Romlah telah membuat ibu capek.
Tidak perlu minta maaf. Ini bukan kesalahan kamu. Ibu yang teledor. Sudah, kamu tidur duluan agar bisa bangun lebih subuh. Biarkan saja, ibu yang bersihkan.
Sama Romlah saja. Ibu kecapaian. Ibu harus segera istirahat. Biar Romlah yang membereskan.
ROMLAH MENGAMBIL SAPU DAN MEMBERSIKAN REMAH-REMAH REMPEYEK YANG MASIH BERSERAKAN DI LANTAI.
Ibu adalah satu-satunya orang yang menjadi tulang punggung hidup aku. Kami tidak punya sanak saudara yang dekat di sini. Kami pendatang yang mencoba mengadu nasib di kota ini. Aku dan ibu dibawa ayah merantau ke kota ini karena ayah memdapat pekerjaan menjadi buruh pabrik di sini. Namun takdir berkendak. Mejelang empat tahun ayah bekerja, ayah kecelakaan di tempat kerjanya dan meninggal dunia. Jadi untuk memenuhi segala kebutuhan hidupku, ibu yang harus bekerja keras. Selain itu, kami pun tiap bulan harus membayar rumah kotrakan tempat kami tinggal. Jika tidak segera dibayar kami bisa terusir dari rumah ini.
Aku kehilangan waktu bermain. Sisa waktu sekolah dan belajar di rumah malam hari habis untuk membatu ibu membuat dan jualan rempeyek. Teman-temanku tahu itu sehingga tidak pernah mengajak aku bermain di luar sekolah. Ya, rempeyeklah menjadi teman bermain keseharianku, sehingga aku tahu sifat rempeyek. Begitu rapuh. Saking rapuhnya rempeyek tidak bisa kembali ke wujud semula jika terjatuh dan pecah. Tapi yang aku suka dari rempeyek adalah renyah. Murah meriah, bisa jadi cemilan dan teman makan. Karena itu membuat banyak orang yang suka.
Ada satu keluarga langganan kami terbilang sangat suka pada rempeyek. Tiga hari sekali mereka pesan banyak rempeyek pada kami. Aku senang sekali jika disuruh ibu mengantarkan pesanan rempeyek pada keluarga itu. Aku menemukan sepercik kebahagiaan jika bertemu dengan mereka. Apalagi yang menerimanya pak Burhan. Pak Burhan sangat baik padaku, walau hanya sebentar aku suka diajak ngobrol. Pak Burhan selalu memeberi semangat agar aku tidak patah arang dalam mengarungi hidup, dan aku harus rajin belajar, Terakhir paling sunang jika bertumu dengannya, yaitu suka memberi uang lebih untuk aku jajan. Bahkan menjelang hari raya idul fitri suka memberi aku baju baru, sepatu dan seragam sekolah. Bertemu pak Burhan, aku seperti menemukan sosok ayah.
Aku ditinggal ayah sejak aku masuk SMP kelas 7. Sepeninggalan ayah ibu tidak mau menikah lagi dan tidak mau pulang kampung karena dikampunya tidak ada yang bisa diharapkan. Orang tua ibu sudah pada meninggal dan saudara-saudaranya hidup paspasan. Tidak ada yang mampu membantu hidup kami. Jadi kami membulatkan tekad untuk hidup bersama di kota ini, karena kami sudah merasa betah. Kami berdua bahu-membahu, bekerja keras, saling menjaga, saling mengigatkan agar bisa hidup tanpa ketergatungan pada belas kasih orang lain. Sekarang aku sudah menginjak bangku sekolah SMA kelas dua belas. Tidak terasa sudah 5 tahun ayah tidak bersama kami. Tuhan, tempatkan ayahku di SurgaMu.
TERDENGAT ADA YANG MEMANGGIL ROMLAH.
Ibu!
ROMLAH SEGERA LARI KE LUAR. DALAM SEKEJAP ROMLAH MASUK LAGI KE DALAM SAMBIL MEMBAWA KAIN SAMPING BATIK. BERSAMA KEPANIKANNYA ROMLAH GELAR KAIN SAMPING BATIK DI LANTAI.
Ibu! Kenapa ibu? Ibu jangan sakit! Ibu harus sehat! Ibu mesti minum obat…. Ya obat. Di mana obat? (PANIK MENCARI OBAT) Aduh tidak ada obot. Besok pagi kita ke Puskesmas…. Romlah pijit badannya ya bu…. Tinang saja, ibu jangan pikirkan lagi pesanan rempeyek dari ibu-ibu langganan ibu. Lupakan dulu rempeyek biar Romlah nanti yang urus semuanya. Sekarang ibu harus banyak istirahat.…. Ibu! Ibu! Ibu! Ibu bangun! Ibu kuat! Bangun ibu! Bangun bu! Tidak! Tidak! Tidak! Tidaaaaaak! Perjalanan kita masih Panjang. Kita akan hidup penuh kebagian. Romlah berjaji pada ayah juga pada ibu. Romlah harus jadi orang sukses. Menjadi anak kebanggaan ayah dan ibu. Tidak! Ibu tidak meninggal. Ibu masih hidup! Ibu tidak meninggal! Ibu masih hidup. Ibu tidak meninggal. Ibu masih hiduuuuuuuup!
TAMAT