Home OPINI KOLOM PROYEK PUISI AYAM GORENG WARALABA

PROYEK PUISI AYAM GORENG WARALABA

kasus puisi esai

0
Hikmat Gumelar

Loading

Pengantar

Polemik puisi esai berlangsung terus. Kisruhnya tak bisa dibendung. Namun apakah ini akan memberhentikan satu sama lain. Tulisan yang kami angkat dari Hikmat Gumelar kali ini snagat integrated. Selamat menyimak.

REDAKSI

PROYEK PUISI AYAM GORENG WARALABA
Oleh Hikmat Gumelar *)

Denny Januar Ali (DJA) menulis puisi esai, membuka rubrik puisi esai di sebuah jurnal puisi, mengadakan lomba menulis puisi esai, mengadakan lomba kritik puisi esai, meminta para penulis menulis puisi esai, menerbitkan buku-buku puisi esai dan kritik puisi esai, mengadakan gerakan puisi esai, dan menasbihkan kelahiran angkatan puisi esai tak lain tak bukan adalah usaha membawa puisi ke tengah pasar.

Kalau ke tengah pasar Cicadas, ke tengah pasar Kosambi, atau ke tengah pasar Ciroyom, itu bukan masalah. Itu malah bisa bermakna menjadikan puisi kembali ke khitah.

Dahulu kala, kata sahibul hikayat, puisi bukanlah karya individual, melainkan komunal. Keberadaannya menandai ritus-ritus penting komunitas-komunitas seperti antara lain ritus-ritus daur ulang hidup yang keruan merupakan upaya komunitas-komunitas untuk memungkinkan hidup dan kehidupan mereka selamat, sejahtera, dan berkelanjutan. Puisi juga merupakan upaya penyelerasan dengan cuaca, mahluk-mahluk gaib, alam, dan semesta. Puisi juga sebagai “tombak ajaib” untuk mengusir atau menjinakkan binatang-binatang buas yang tengah mengalami sesuatu yang lain dari biasanya. Puisi juga serupa ”perangkap” untuk menangkap hewan-hewan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari.

Masih banyak lagi fungsi puisi di berbagai penjuru dunia pada zaman dahulu kala. Namun, itu saja rasa saya cukup sudah menunjukkan betapa penting puisi bagi kehidupan orang-orang dan komunitas-komunitas.

Bahkan keberadaan puisi, kata si sahibul hikayat lagi,berbanding lurus dengan keberadaan orang-orang dan komunitas-komunitas. Bila puisi berkembang, orang-orang dan komunitas pun berkembang. Bila puisi hilang, orang-orang dan komunitas pun hilang. Konsekuensianya, setiap orang dan setiap komunitas pada dahulu kala itu wajib memungkinkan puisi berkembang.

Kewajiban yang utama dari mengembangkan puisi, yang pula berarti mengembangkan diri dan komunitas, ini, kata Frank Stewart, adalah terus memungkinkan udara berkualitas. Hal ini karena ketika itu puisi tidak lahir dengan ditulis, apalagi diketik dengan komputer. Ketika itu, puisi dilisankan dan pelisanannya berbentuk nyanyian. Maka kesehatan udara menjadi sangat penting. Dan ternyata, tambah Stewart yang adalah keturunan Indian Cherokee, memungkinkan kualitas kesehatan udara terus terjaga itu berarti juga menjadikan hewan-hewan dan tanaman-tanaman, bahkan juga tanah dan air, semua sehat. Hal ini karena semua itu juga keberadaannya membutuhkan udara. Maka solidaritas sosial komunitas pun makin sehat, makin kuat. Berarti, simpul Stewart, peran puisi pun semakin besar dalam masyarakat.

Oleh sebab itulah, tadi saya katakan bahwawa memba puisi ke tengah pasar Cicadas, ke tengah pasar Kosambi, atau ke tengah pasar Ciroyom, adalah membawa puisi kembali ke khitah, kembali ke muasalnya: komunitas yang akrab, bahkan satu sama lain merasa sebagai sesama, sebagai saudara. Dan ini bisa berimplikasi pada penguatan solidaritas sosial yang terjadi dalam usaha bersama mengupayakan kesehatan udara, kesehatan apa yang merupakan penentu kehidupan kita bersama.

Akan tetapi, yang dilakukan DJA bukan membawa puisi ke tengah pasar Cicadas, ke tengah pasar Kosambi, atau ke tengah pasar Ciroyom, melainkan ke tengah sistem pasar. Beda tentu pasar dan sistem pasar.

Mengenai ini, di jurnal DISKURSUS Vol.2 No.2, Oktober 2003, B. Herry Priyono menulis, “Pasar hanya berarti mekanisme tukar-menukar (dengan barter, cash, atau surat berharga) yang sudah dikenal serta dipakai jauh sebelum munculnya kapitalisme… ‘Sistem pasar’ adalah hal yang lain. ‘Sistem pasar’ bukan hanya sarana tukar-menukar barang/jasa, melainkan mekanisme untuk mengorganisir hidup bersama berdasar logika untung-laba dalam transaksi pasar.”

Jadi, apa yang dilakukan DJA dengan yang serba berbau puisi esai itu adalah upaya menyambut dan memperluas daerah jarahan globalisasi.

Semula, di paruh dasawarsa 1970-an, globalisasi memang baru berupa tata ekonomi baru. Namun, tulis Herry, “Filsafat ekonomi politiknya neoliberalisme. Jantung neoliberalisme adalah gagasan yang mungkin bisa dipadatkan sebagai berikut. Manusia pertama-tama dan terutama adalah homo economicus (manusia ekonomi). Inilah ontologi (hakikat) manusia. Cara-cara kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomi bukanlah satu dari berbagai hubungan antar manusia, melainkan satu-satunya model yang mendasari semua tindakan dan relasi antar manusia, baik itu persahabatan, keluarga, tata-negara, maupun hubungan internasional.

Dengan kata lain, tindakan dan hubungan antar pribadi maupun tindakan dan hubungan sosial atau politis hanyalah ungkapan dari model hubungan menurut kalkulasi untung-rugi individual yang berlangsung dalam transaksi ekonomi.”

Dengan teropong yang disodorkan Herry tersebut, tak sulit kita melihat bahaya dari apa yang tengah berkeras dilakukan DJA. Dia tengah membius warga dunia puisi Indonesia demi membuatnya menjadi pemeluk teguh iman bahwa manusia adalah mahluk ekonomi. Setiap helaan dan tarikan napasnya mesti ditimbang dengan timbangan ekonomi. Setiap ayunan langkahnya mesti dihitung berdasarkan untung rugi.

Setiap pertaliannya dalam kegiatan perpuisian, dengan sendirinya, mesti pula diukur ada-tidak atau besar-kecil untungnya. Keuntungan ini bisa uang, status, popularitas, kemudahan melakukan itu ini yang dirasa penting, dan lain-lain.

Tulisan-tulisan DJA sekitar puisi esai yang saya baca tak ada satu pun yang bersih dari itu. Semua tulisannya bahkan terang-terangan mengungkap hasratnya yang menggelegak untuk membuat dunia puisi Indonesia menjadi pabrik.

Ketika dia menyamakan puisi esai dengan ayam goreng sebuah waralaba ternama di dunia, ketika itu jelas dia mendefinisikan puisi sebagai komoditas. Juga sekaligus mengikrarkan bahwa puisi mesti seragam seperti ayam goreng waralaba itu. Puisi menjadi barang masal. Untuk ini, dia buatlah apa-apa yang diuar-uarkannya sebagai ciri-ciri baru dan unggul dari puisi esai. Ciri-ciri tersebut mesti dipromosikan, mesti dipasarkan. Kemestian ini diyakini benar oleh DJA. Esainya di sebuah koran tetangga mengungkap, “Ini era ketika marketing sama pentingnya dengan produksi. Ini era ketika marketing sama pentingnya dengan estetika… era ketika marketing menjadi pangeran.”

Oleh karena itu, seperti juru khotbah, DJA menyeru, “Gunakan aneka teknik marketing agar karyamu dilihat orang. Jika tidak, kau akan tenggelam. Menjadi masa silam.”

Namun, meski dari sejak tahun 2012 DJA sudah mempromosikan puisi esai dengan banyak cara dan bisa dipastikan menghabiskan dana amat besar untuk ukuran jumlah uang yang berputar di dunia sastra Indonesia, secara khusus dunia puisi Indonesia, puisi esai tampak hanya berkisar di satu dua lingkaran kecil sekitar DJA.

Memang DJA menyebut, sampai 2017 sudah terbit 40 buku puisi esai. Namun, tak pernah saya mendengar ada satu saja buku puisi esai yang diburu para pembaca buku. Tak pernah pula saya membaca buku puisi esai dibahas di koran atau majalah umum. Dan tak pernah saya membaca satu saja puisi esai terbit di halaman puisi koran. Padahal, hampir semua koran di Indonesia seminggu sekali menerbitkan puisi-puisi. Kenyataan ini membuktikan bahwa puisi esai adalah jenis puisi yang mungkin, seperti tersebar di aneka pembicaraan di komunitas-komunitas sastra, baru ditulis jika sudah lebih dulu dibayar. Wajar kalau banyak yang berkelakar, puisi esai itu puisi prabayar.

DJA mungkin mendengar itu kelakar. Mungkin juga belum. Yang terang, dia sadar sesadar-sedarnya bahwa ”ini era ketika marketing menjadi pangeran”. Maka, dia pun berkeras untuk memenuhi tuntutan sang pangeran. Dia mengharuskan dirinya untuk terus memasarkan puisi esai besar-besaran. Dia pun bisa dipastikan insyaf bahwa pemasaran yang bagus adalah yang tak tampak sebagai pemasaran. Maka dibuatlah apa yang kemudian disebutnya gerakan puisi esai.

Proyek ini, seperti sudah kita ketahui, adalah penerbitan 34 buku kumpulan puisi esai. Jumlah buku itu sesuai jumlah provinsi di Indonesia. Ini bukan kebetulan, tetapi disengaja. Dari setiap provinsi, terbit satu buku puisi esai. Isi setiap buku adalah lima puisi esai. Kelima penulis yang karyanya terbit dalam satu buku adalah penduduk atau pemukim satu provinsi.

Kelimanya mesti mengangkat isu sosial dari peristiwa atau tempat historis di provinsinya. Kelimanya juga mesti menegaskan keberangkatan puisinya dari peristiwa atau tempat historis dengan catatan kaki-catatan kaki. Kelimanya juga mesti menandatangi kontrak yang antara lain berisi perkara apa saja yang harus ada dalam puisi esai dan bagaimana penulisannya, kapan tenggat, serta besaran dan cara pembayan apa yang disebut honorarium sebesar Rp 5 juta.

Dari para penulisnya yang disebut-sebut DJA dari Sabang sampai Merauke, dari tema yang disebut-sebut DJA isu sosial dari kejadian-kejadian nyata di setiap provinsi, dan ditambah dari klaim-klaim DJA, mudah diduga bahwa yang disebut-sebut sebagai gerakan puisi esai ini merupakan usaha menggoreng isu sosial di Indonesia menjadi komoditas seperti ayam goreng waralaba itu.

Terlebih jika mengingat bahwa tahun 2018, tahun di mana 34 buku itu (akan) terbit, adalah tahun yang riuh disebut tahun politik. Dan tahun 2019 adalah tahun serempak pemilihan presiden, legislatif, dan Dewan Perwakilan Daerah.

Saya belum membaca puisi-puisi esai dari 34 buku itu. Tapi dari adanya patokan-patokan penulisannya dan dari pendapat-pendapat DJA di tulisan-tulisannya, teks-teks itu dituntut untuk ditulis dengan mengandalkan rasio. Dan rasionya rasio yang mengimani konsep kebenaran korespondensi. Sesuatu benar karena berkorespondensi dengan kenyataan. Maka si kenyataan mesti ditampilkan dan teridentifikasi sebagai kenyataan. Jadilah, puisi-puisi esai itu bisa dipastikan membangun makna bukan dengan kerja elemen-elemennya sendiri (tekstual), tetapi dengan mengacu keluar dirinya (referensial). Dan kenyataan-kenyataan yang ditampilkan itu bukanlah kenyataan-kenyataan yang hidup, yang karenanya menjadi kompleks, menyimpan misteri, pesona, dan ambigu, melainkan kenyataan-kenyataan yang dibekukan, yang didistorsi menjadi objek rasio instrumental. Tangkapan seperti ini galibnya tak menuntut pergulatan dengan bahasa untuk menemukan bahasa yang mampu mengungkapnya. Bahasa yang sudah umum pun bisa dipastikan mampu mengungkap apa-apa yang umum pula.

Kalau puisi mengungkap hal umum dan dengan cara yang pula umum, lantas apa kelebihannya dari teks-teks lain? Apa yang baru dan bermutu darinya? Apa sumbangannya untuk perpuisian,keusastraan dan kebudayaan yang telah memberinya ruang untuk hidup?

DJA tampak tak peduli terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti itu. DJA, yang entah bagaimana ceritanya disebut sebagai salah satu dari 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh karena menemukan puisi esai, memang tampak tak berkepentingan terhadap perkembangan perpuisian, kesusastraan, dan kebudayaan yang sehat. Kepentingannya membawa puisi Indonesia ke tengah sistem pasar. Untuk ini, puisi Indonesia mesti digorengnya hingga menjadi ayam goreng waralaba global.

Oleh karena itu, sepatutnya kita semua tegas berseru, ”Cukup!” Kita semua patut begitu karena gerak DJA dan sekutunya terang gerak ekspansi modal finansial ke dunia puisi yang mencemari udara yang bukan saja sangat dibutuhkan paru-paru perpuisian, tapi pun tanah dan air, tanaman-tanaman dan hewan-hewan.

Bahkan ekspansi modal finansial itu kini terbukti sudah, seperti dahulu kaum penjajah, telah memecah belah masyarakat sastra.***

*) Ketua Institut Nalar Jatinangor

BACA JUGA :

PENGGELAPAN SEJARAH PUISI INDONESIA (Denny JA Tidak pula Insyaf)

GERAKAN PUISI TERPIMPIN (Skandal Puisi Esai DJA)

Aliansi Sastrawan Indonesia Anti Puisi-Esai #POLEMIKPUISIESAI

GERAKAN PUISI TERPIMPIN (Skandal Puisi Esai DJA)

NAFSU BESAR TENAGA KURANG #POLEMIKPUISIESAI

Gerakan Sastra, Jabar Tolak Denny 

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here