Home Bahasa Potret Puisi Atasi Amin

Potret Puisi Atasi Amin

RESENSI ANTOLGi PUISI

0
Identitas Buku Judul : Potret Diri Penulis : Atasi Amin Tahun terbit : 2017 Penerbit : Penerbit Trubadur Tebal : x + 105 halaman ISBN : 978-602-50034-4-8

SENI.CO.ID – Pengantar penerbit pada kumpulan puisi Potret Diri (Penerbit Trubadur, 2017) karya Atasi Amin menjadi pintu masuk saya bersiap menikmati seluruh puisi di dalamnya.

Dijelaskan di sana bahwa Atasi Amin memanfaatkan gaya puisi mbeling di dalam karya puisinya. Dijelaksan pula bahwa ada beberapa puisi bergaya liris dan perpaduan antara gaya mbeling dan gaya liris di dalam buku tersebut. Hal ini cukup menarik sebab sepengetahuan saya kedua gaya tersebut lahir dari tradisi perpusian yang berbeda. Bahkan pada tahun 1970an, keduanya tumbuh di media dan tradisi karya sastra yang berseberangan serta bersitegang.

Dilansir pertama kali di majalah Aktuil, puisi mbeling adalah alternatif serius melawan hegemoni puisi yang mapan semisal majalah Horison atau rubrik Pertemuan Kecil di Pikiran Rakyat. Pada ruang-ruang mapan itu, puisi dikurasi dengan serius sehingga lahir karya yang secara isi dan bentuk membahas persoalan mendalam melalui bahasa yang sastrawi.

Karya diupayakan menuju tonggak-tonggak penting perkembangan sastra. Alhasil, ruang-ruang tersebut menjadi corong pengakuan lahirnya sastrawan. Dari kondisi itu puisi mbeling hadir sebagai upaya bandingan, sindiran, dan pencarian jalan baru. Persoalan besar dan berat dipermainkan dengan nada puisi yang santai dan penggunaan bahasa sehari-hari yang terkadang vulgar.

Dengan keyakinan bahwa setiap puisi mestinya menampilkan diri sesuai apa yang dikehendakinya, akhirnya saya mulai membaca isi buku tersebut. Benar saja, dari mulai puisi pertama di halaman tiga sampai halaman 36, saya menemukan puisi mbeling dengan berbagai varian.

Salah satu varian misalnya permainan kata. Atasi menemukan keunikan kata dan menempatkannya secara nyeleneh pada suatu situasi wacana tertentu. Misalkan pada puisi “Sorak” ia hendak memberitahu bahwa rakyat tengah bersorak sorey mengantar matahari pulang dan bukan bersorak pagi.

Matahari yang pulang merupakan keadaan sore yang secara diksi memiliki kemiripan bunyi dengan diksi sorai. Lantas Atasi menggantinya dengan diksi sorey. Pada puisi “TKW” dimana pahlawan dirombak menjadi pah! lawan!. Diksi tersebut sengaja dirusak untuk menampilkan sudut pandang lain dari potensi bunyi yang dimilikinya.

Membaca secara sekilas dua puisi di atas, saya mengerutkan dahi, sebab puisi itu secara permukaan hanya hendak pamer temuan si penyair pada bunyi kata. Namun saat diperdalam lagi, saya justru masuk pada lapisan makna yang lebih dalam dari puisi itu. Saya jadi bertanya, kenapa rakyat itu mesti bersorak mengantar matahari pulang? Mengantar matahari hilang dari dirinya?

Tidak mengantar pagi yang pasti membuat rakyat berada  pada kondisi terang benderang? Kedalaman gagasan itu juga muncul setelah membaca puisi “TKW”. Di tengah memperihatinkannya TKW Indonesia di luar negeri karena kasus kekerasan dan pelecehan seksual, Atasi ingin menyampaikan bahwa TKW punya potensi untuk melawan dari kata pahlawan yang kerap dielu-elukan kepada mereka.

Selain perombakan kata dan permainannya pada kata itu dari segi bunyi, Atasi juga mempermainkan rima yang juga bersangkut paut pada jalinan makna. Pada puisi “Ruang” Atasi meminjam karmina sebagai gaya puisi paling lama untuk mengoptimalkan permainan bunyinya.

Ruang

ada ruang

ada ac

ada uang

ada acc

Nampak problema pada sampiran dimana setiap ruangan hari ini mesti selalu dipasangi AC. Ruangan semacam ini jelas mengarahkan kita pada situasi ruang yang mewah, atau pura-pura mewah.

Ruang semacam ini tentunya bukan pencapaian ideal dalam ilmu arsitektur yang sangat mempertimbangkan sirkulasi udara alami. Masalah pada sampiran tersebut rupanya disambut larik selanjutnya yang menjadi inti puisi, bahwa kini kita selalu butuh uang sebagai penyegar (seperti AC) demi terbitnya suatu acc atau pengesahan pada proposal yang diajukan. Gelagat ini tentu bicara tentang kasus korupsi di kantor-kantor dimana proposal pengajuan berseliweran. Persoalan kelakuan mereka juga nampak pada salah kaprahnya ruang yang mereka tinggali.

Puisi yang coba saya dalami adalah puisi “Potret Diri”. Selain karena telah menjadi judul buku, puisi itu nampaknya memiliki suatu konsep yang erat kaitannya dengan persoalan ke-diri-an pengarang itu sendiri. Seperti pelukis melakukan dokumentasi pada lukisan potret dirinya sendiri. Konsep semacam ini biasanya menghadirikan suatu refleksi, dimana pelukis mesti pencari ekspresi wajah, nuansa warna, atau menunjukan karakter garis paling tepat untuk mewakili dirinya sendiri. Boleh dikatakan, konsep potret diri di dalam lukisan atau puisi seperti yang dilakukan Atasi Amin, bukan perkara main-main.

Potret Diri

di atas mimbar aku bicara,

tentang keadilan, kemiskinan dan resesi

dunia terkutuk diurai paparkan

 

orang orang bawah menyambut,

mari atasi bersama,

mari bersama atasi

 

amin

Secara sekilas, puisi tersebut hendak memperlihatkan posisi kata atasi dan amin sebagai yang juga nama pengarang di dalam puisi yang ditulisnya. Dua kata tersebut memiliki makna positif, tetapi di dalam puisi di atas disimpan dalam kondisi situasi negatif terutama pada diksi atasi. Situasi yang mengingatkan kita pada gelagat para pemimpin hari ini, mengumbar janji di atas podium kampanye.

Kata atasi di dalam puisi “Potret Diri” merupakan kata kerja sekaligus kata benda (nama) dalam situasi politik yang dibangun dalam puisinya. Kata amin menjadi akhir puisi yang menandai, segala digdaya politis pada bait di atasnya mesti pula dibarengi doa.

Saya salut pada Atasi Amin yang berani mempermainkan dirinya sendiri di dalam puisi. Nama sebagai identitas pengarang (sebagaimana juga pelukis misalnya) diinterpretasi, didalami, dalam puisi sebagai sesuatu yang bertentangan, antara upaya dan doa, optimisme atau kesombongan menghadapi dunia dan harapan atau ketidakberdayaan pada sikapnya sendiri.

Dari pendalaman sajak di atas, saya menemukan suatu kekhasan lain dari puisi-puisi Atasi Amin, yakni puisi yang situasional. Situasi umum yang terjadi di kehidupan sehari-hari oleh Atasi dicari momen paling sederhana, atau situasi khususnya untuk menyasar inti persoalan. Perhatikan puisi “Seperti Biasa” berikut ini.

Seperti Biasa 

pagi ini aku hanyutkan bebanku

di cikapundung

medeka!

Puisi sependek itu tentu saja hanya mampu memotret satu peristiwa dari sekian banyak peristiwa di sungai Cikapundung. Aku lirik sajak itu menampilkan suatu situasi seseorang menghanyutkan bebannya di sungai sehingga ia merasa merdeka setelah melepaskan bebannya. Tidak dijelaskan apa beban itu, hal ini hanya dapat kita telusuri secara objektif ketika kita merunut berbagai situasi yang terjadi di sungai. Satu situasi semisal buang air besar dimana beban manusia salah satunya adalah kotorannya sendiri, mengarahkan sajak ini pada nadanya yang menggelitik. Namun situasi spesifik yang dihadirkan dalam puisi itu melalui diksi beban yang umum, kemudian menciptakan ruang untuk situasi-situasi lain.

Hal menarik lainnya dari puisi tersebut adalah baris terakhir puisi yang menjadi kunci penting dari bait sebelumnya. Pekikan merdeka! seperti halnya dialog drama, menempatkan kita pada suatu situasi ujaran. Seperti membaca naskah drama, ujaran tersebut membawa kita pada imaji keadaan (situasi). Selain itu, karakter kejutan di akhir semacam ini banyak terjadi pada puisi-puisi Atasi lainnya. Salah satu yang cukup berhasil misalnya puisi berjudul “Kota”.

Karakter  puisi mbeling yang main-main tentu akan terkesan main-main jika dibaca secara sekilas. Perlu pendalaman lanjutan sehingga kita menemukan kesenangan filosofis di dalamnya. Tetapi kemudian banyak juga puisi yang terlalu permukaan, seperti puisi “CInta 1”, “Cinta 2”, “Cinta3”, dimana persoalan terlalu dipaparkan begitu saja tanpa suatu ketegangan. Kekuatan puisi Atasi Amin menurut saya adalah ketika ia mampu meringkus peristiwa umum secara spesifik, dengan bahasa yang sederhana tetapi esensial, berpotensi simbolik, dan kemudian kesederhanaan itu menjadi pintu yang luas bagi segala peristiwa besar yang terjadi. Peristiwa itu betapa tegang dan identik di dalam benak pembaca semisal kampanye politik pada sajak “Potrer Diri” misalnya.

Pada beberapa puisi lirisnya saya melihat suatu kejernihan bahasa tetapi pada beberapa sajak persoalan yang diangkatnya hanya terkesan lanskap  saja. Selain itu upaya pencampuran dua karakter puisi semacam ini cenderung mengganggu karena puisi mbeling sendiri merupakan gaya puisi yang jelas konsepnya.

Begitupun tradisi puisi liris. Saya tidak tahu, apakah upaya penggabungan ini adalah eksperimen penulis mengaburkan batas antara tradisi kesusasteraan arus utama dan alternatif pada zamannya, atau sekedar rangkuman dari potret karya Atasi Amin dalam geliat sastra selama ini.

Terlepas dari itu semua, permainan dan keseriusan puisi Atasi Amin dalam buku ini menantang untuk dibaca.

 

| Zulfa Nasrulloh Aktif bergiat di ASAS UPI dan pendiri Sekber Institute. Menulis cerpen, esai, dan naskah drama.

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here