CATATAN Taufan S. Chandranegara, praktisi seni, penulis
KETIKA malam itu kabar berita dari saudara senyawa di blantika Teater Indonesia-Bandung; saya memanggilanya, Kakanda, sebab usianya terpaut dua tahun lebih mulia dari hamba.
Kelompok Teater Payung Hitam, di gembok, dilarang pentas di ISBI Bandung; setelah almamater tersebut banyak mendapat kiprah estetika dari Kelompok Teater Payung Hitam, Pimpinan Kakanda Rachman Sabur.
“Hidup ada batasnya. Ya Allah…” Hanya sebersit seterang itu tersebut nama-Mu, di sukma hamba. “Kakanda sabar. Saya turut prihatin…” Hanya itu pula meluncur dari keprihatinan hamba mendalam.
Lantas tak seberapa lama, Kakanda Rachman Sabur, mengabarkan kepada saya akan pentas di Gedung Tempo. “Alahamdulih…” Rasa syukur. Tafakur hamba menerima kabar baik itu. Lantas berlangsunglah pentas Kelompok Payung Hitam-Bandung Lautan Api. Menggelegak di Gedung Tempo “Wawancara Dengan Mulyono.”
Mulyono, bukan siapa-siapa. Bukan pula apa-apanya dong. Di ranah pikir, Dr. Rachman Sabur, tapi dia ada di antara sosok masif anonim simpang siur. Lantas jadilah karya pentas, hanya itu. Sebagai ide natural muncul kepermukaan nalar estetika Rachman Sabur.

Melihat. Mengamati, pertunjukan pentas Kelompok Payung Hitam, baru kali ini terasa aneh. Tampil lelaki berkopiah berdiri tegak ngoceh melulu lantas pertunjukan itu diberi judul “Wawancara Dengan Mulyono” Saya melihatnya. Apaan sih tuh.
Mime kontemporer kah. Saya amati lagi. Oh ini dramaturgi bisu. Tapi ngoceh tak jelas. Lantas semena-mena seseorang di kursi memanggil sosok berkopiah bermuka putih dengan sesuka hati, sekeras suara sesuka hati.
Sejumlah Adegan pentas Teater “Wawancara Dengan Mulyono” di TEMPO (FOTO TANGKAPAN LAYAR TVTEMPO)
Sosok berdiri baik-baik memakai kopiah bermuka putih diteriaki “Mulyono!” Si sosok berdiri bermuka putih itu ngoceh lagi. Diteriaki lagi “Mulyono!” Baru saya sadar oh ini mungkin bentuk pementasannya. Berteriak lagi “Mulyono!” Oh ternyata seseorang di kursi itu memanggil sosok berwajah putih itu, mungkin dia bernama, Mulyono, tokoh di pentas tengah saya saksikan ini.
Hahaha saya ngakak terpingkal-pingkal, ternyata ada dua tokoh, satu sosok berdiri selalu di panggil, Mulyono, oleh sosok di kursi, oh okeh. Lantas perempuan mencuci sesuatu tak henti-henti. Oh! Itu! Hahaha. Ngakak lagi, teringat sesuatu ternyata mudah di cuci kalau kuasa tangan memegang sabun cuci, wkwkw, satire-isme ada di tangan sang pencuci.
Tapi, kenapa Mulyono sih, wkwkwk. Enggak ada nama lain apa biar keren-an dikit gitu. Agak berbau nama asing gituloh, misalnya John atau Michael atau apalah, asal jangan memakai nama “Mulyono!” Hahaha. Lagi suara itu, saya ngakak lagi, wkwkwk Mulyono, lama-lama mengganggu estetika berpikir nih.
Wkwkwk Mul.yo.no; saya mengeja di hati perlahan. Hahaha ngakak lagi di benak saya. Tak habis pikir di nalar saya, namanya Mulyono, kok bisa di panggil-panggil seperti itu; laiknya majikan memanggil orang-orang suruhannya. Oh, mungkin ini cerita majikan versus pesuruhnya bernama Mulyono.
Oh Hahaha, saya ngakak lagi. Kok mau ya, sosok itu berperan sebagai, Mulyono, jadi pesuruh pula. Lantas siapa sosok di kursi itu. Sangat brutal memanggil-manggil “Mulyono!” Dengan berteriak. Padahal sosok Mulyono wajahnya lebih putih dari tokoh di kursi itu loh.
Artinya ada misteri. Kemungkinan juga kontra indikasi di balik nama si tokoh Mulyono. Siapa sesungguhnya dia. Apakah dia seorang tokoh sekaligus majikan, atau dia majikan, berpura-pura menjadi pesuruh. Wow! Oh! Wow! Saya penasaran dong. Paling krusial sepanjang adegan itu ketika uang banyak di hambur-hamburkan ke udara.
Wow! Mencoba membaca adegan. Ini realitasnya mungkin, dari suatu misteri tak diketahui penontonnya. Siapa sesungguhnya si Mulyono itu. Bah! Logika terbalik menjadi jungkir balik. Dalam kisah di otak saya mungkin saja si Mulyono itu, biangkeladi dari semua misteri, sampai menjadi angin lesus sas sis sus. Gong!
Hahaha pandirnya saya, baru menangkap clue dari daya ucap pementasan itu. Mulyono bisa menjadi apa saja, tergantung kebutuhan estetika di otaknya, bisa hitam kapan saja sasuka hati, bisa putih pula.
Oh! Hahaha. Akhirnya saya berkesimpulan dari pentas “Wawancara Dengan Mulyono” bahwa dia memang tokoh bunglon di balik scene by scene, serupa sinetron di ruang waktu. Jreng! ***
Jakarta-Indonesia, April 19, 2025.
Sponsor