Home AGENDA Kritik

Kritik

0

Loading

Oleh AENDRA M KARTADIPURA *)  

Dalam hal ini saya hanya ini sampaikan sebuah pandangan soal yang namanya kritik. Kritik ya..kini jadi kegelisahan bagi dan sekaligus yang kini sedang saya alami tentang memaknai, kata kritik dan sebuah upaya koreksi.  

Dalam beberapa bulan ini, terlebih dalam empat bulan terakhir soal kritik ini mengitari pikiran saya. Tapi baru tersadar kembali saat saya membaca buku Mochtar Lubis -Wartawan Jihad.  

Mochtar Lubis adalah sosok seorang jurnalis dan pemimpin redaksi Indonesia Raya. Ia juga pengarang sekaligus budayawan terdepan. Namun kini saya teringat kisahnya peran sebagai seorang pemimpin redaksi.   Mochtar jadi simbol kebebasan pers.

la kerjanya bisa dikatakan mempunyai kebijakan kuat dalam redaksional Indonesia Raya. Mochtar berkali-kali melakukan kritik terhadap pemerintah. Gaya jurnalisme Mochtar berani, tajam, dan tidak dapat digoyahkan oleh siapapun dan menjadi inspirasi bagi banyak media lain di era itu, demikian David T.Hill menyebutnya Mochtar Lubis adalah prisma dalam buku Jurnalisme dan Politik di Indonesia (Yayasan Pustaka Obor Indonesia – Juli 2011).  

Hill juga kemudian menyebutkan bahwa melaluinya, kita bisa melihat pergulatan sebuah bangsa yang sedang mencari jatidiri pasca kemerdekaan. Pergulatan yang merentang di bidang politik, ideologi, jurnalisme, sampai kebudayaaan ketika dunia masih dilanda perang dingin. Dan Hill mengungkapkan perjalanan Mochtar tentu saja gaya jurnalisme jihad bukan tanpa resiko.  

Kembali ke soal Kritik. Kritik Mochtar yang kuat dari sebuah harga mahal harus ditanggung Indonesia Raya. Media yang dipimpin Mochtar dibredel sampai dua kali. Pertama 1958 setelah serangkaian berita yang antikomunis dan anti Soekarno. Mochtar dan Indonesia Raya bertarung dalam pertempuran yang tidak berimbang. Mochtar ditangkap dan dijadikan sebagai tahanan rumah. Surat kabar ini terbit kembali setelah gonjang-ganjing politik 1965 yang meruntuhkan kekuasaan Soekarno.   Pembredelan kedua pasca Malari 1974.

Awalnya, Indonesia Raya dengan sikapnya yang anti-komunis dan anti-Soekarno adalah partner yang pas untuk Orde Baru dalam menjalankan stabilitas pembangunan.

Sayangnya, bulan madu keduanya berjalan singkat. Mochtar Lubis yang sekaligus menjadi simbol Indonesia Raya kembali menjadi pembangkang yang teguh dengan terus memberitakan penetrasi modal asing, isu korupsi, dan berbagai kebobrokan pemerintah.

Mochtar kembali kalah. Selain surat kabarnya dibredel, ia kembali ditangkap tanpa melalui pemeriksaan. Karier sebagai seorang pemimpin redaksi surat kabar harian selesai sampai di sini.   Meskipun surat kabarnya berakhir dengan tragis, Indonesia Raya sampai saat ini tetap dianggap sebagai pelopor bagi berkembangnya jurnalisme investigasi di Indonesia.  

Keberaniannya mengungkap kasus korupsi di Pertamina patut mendapat apresiasi. Apalagi kasus ini melibatkan Ibnu Sutowo, salah satu orang dekat dalam kekuasaan Soeharto. Keberanian dalam meliput ini memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan jurnalisme di Indonesia sampai saat ini.   Setelah keluar dari penjara Nirbaya, Mochtar lebih banyak menghabiskan waktunya di bidang kebudayaan.

Selain mengelola majalah sastra Horison, ia sering menyampaikan pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki. Pidatonya yang paling fenomenal sekaligus kontroversial terjadi pada 6 April 1977. Mochtar mengungkapkan karakteristik manusia Indonesia yang sarat dengan kritikan pedas. Dengan gaya yang provokatif dan meluap-luap, Mochtar menelanjangi manusia Indonesia sebagai sosok yang munafik, feodal, percaya tahayul, tidak bisa mengambil keputusan, dan enggan bertanggung jawab.  

Pidato ini kemudian memicu perdebatan intelektual di media yang seru dan berlangsung selama berminggu-minggu. Banyak yang memuji sikap terus terang Mochtar tersebut. Tapi tak sedikit juga yang mencacinya terutama kalangan intelektual Jawa yang menganggapnya tidak paham alam pikiran Jawa.  

Terlepas dari perdebatan tersebut, Hill menyebut pidato ini sebagai tour de force (perolehan gemilang) intelektual Mochtar. Pidato ini sekaligus menunjukkan kepiawaiannya dalam menerjemahkan benturan budaya antara modernisasi barat dan tradisi ketimuran.  

Sosok Mochtar Lubis adalah sosok jarang sekali ditemukan saat ini. Sebagai jurnalis saya melihat sosok sang pembangkang seperti ini kini bukan ditemukan namun sudah tidak ada, karena terlalu banyak kepentingan saat ini menjadikan pisau bedah tinta jurnalisme kita menjadi tumpul karena faktor kepetingan tadi bahkan tak jarang karena faktor ini mengarah ke priuk dapur. Sayang sekali!.  

Saya juga berharap banyak karena publik saat ini sudah cerdas terutama virus media sosial semoga mereka paham mana yang namanya kritik dan mana yang namanya menghina atau bahkan fitnah.  

Dan saya yakin suatu saat hal ini akan muncul kembali apa yang dimanakan kritik yang sebenarnya. Karena kerinduan sebuah kritik itu adalah sebuah upaya membangun, bukan malah orang yang mengkritik itu dibungkam. dan seharusnya kritik itu dijadikan pemantik untuk memberikan eveluasi diri.  

Bukan yang seperti saat ini kalau dilihat kini kritik sudah lagi bergeser ke grey area dan dianggap sebagai upaya menghina, menyerang bahkan ada yang salah kaprah disebut kritik kok disebut fitnah. Dan inilah yang terjadi saat ini. Sungguh Aneh bukan?  

Akhirnya saya ingin mengutip dua tokoh atas keberanian kritik Mochtar Lubis ini pertama saya kutip atas percakaan Moctar Laubis dengan Ramadhan KH dimana saat Ramadahan KH tahun 1991 bertemu dengan Moctar Lubis dirumahnya. Saat itu Ramadhan berseloroh soal pemberani, pelindung istri dengan penuh kasih sayang. (Mochtar Lubis -Wartawan Jihad hal 178).

Pemberani dalam konteks besar dimana Moctar dikenal pada tahun 1957-1958 terasa maju dan kuat ke depan sementara kebanyakan dari kita mulai terkungkung oleh rasa takut.  

Ramadhan atas dasar ini bertanya langsung kepada Mochtar Lubis. Dan jawaban Mochtar Lubis sangat cerdas inilah jawabnya.   “Saya sendiri heran kalau orang berkata bahwa Mochtar Lubis itu pemberani. Betul! apa yang terjadi sesungguhnya kalau saya akan bersikap, saya harus berjuang dulu dari dalam diri saya, melawan rasa takut.

Di zaman orde lama saya melawan terhadap Sukarno. Kalau saya mau menulis kritik-kritik terhadap Sukarno, di belakang kepala saya ada pikiran rasa takut. Seperti ada yang berbisik: Awas lho, kalau kamu mengkritik-kritik begitu kamu bisa ditangkap. ”Jadi ada pergulatan terus dalam diri saya kalau mau melawan terhadap orang-orang besar, terhadap orang-orang berkuasa orang-orang bisa menangkap kita setiap saat. Bukan tidak ada rasa takut . Saya bergulat dengan rasa takut saya itu. Tapi pertahanan saya adalah: “Kenapa kita harus takut kalau kita yakin bahwa yang akan kita kemukakan itu adalah benar, untuk kepentingan masyarakat, untuk kepentingan bangsa.”  

Jawaban ini sangat menyejukan untuk saat ini kepentingan masyakat dan kepentingan bangsa. Itulah yang kita harapkan kini. Dan kutipan penting lainnya adalah dari Atmakusumah tokoh pers Indonesia yang juga sekaligus penyunting Buku Mochtar Lubis -Wartawan Jihad ini menulis secara jelas.   “Mochtar Lubis bagaikan penunjuk arah bagi mereka yang telah kehilangan kompas di tengah samudera dan yang tak mampu lagi memandang mercusuar di tempat gelap”.   

Maka jelas sudah kritik itu perlu dan sangat perlu ditengah tempat mercuasuar yang kini gelap apalagi..agar menjadi terang…..jadi jangan anti kritrik ya..bro……  

*) AENDRA M KARTADIPURA, Pemimpin Redaksi & Penanggungjawab media Kanal budaya – SENI.co.id

sumber tulisan :- Sebuah resensi Perjalanan Sang Wartawan Jihad wisnuprasetya.wordpress.com -Buku “Mochtar Lubis -Wartawan  Jihad” – beberapa sumber lainnya.

Sponsor

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here